Navia berguling-guling di ranjangnya. Hari mulai malam, mengiringi hati Navia yang tengah gelisah. Gadis itu merindukan kamarnya yang biasa, yang penuh pernak pernik BT21 di dalamnya.
Kamar itu adalah hasil desain dari mamanya, sebelum akhirnya kedua orangtua Navia bercerai dan hal itu menempatkan gadis itu pada ruang sepi. Di rumahnya, ia jarang bicara, baik dengan kakak ataupun ayahnya.
Seandainya bisa, Navia ingin melihat kembali kedua orangtuanya bersama, meskipun kenyataan yang terjadi , keduanya telah bahagia dengan jalan mereka masing-masing.
Sebelum Navia tinggal di rumah Hiro, di rumahnya, gadis itu sering menghabiskan waktunya seorang diri. Berbicara pada boneka-bonekanya, seolah mereka dapat bicara dan mendengar.
Tok...tok...
"Navia, keluarlah. Kita harus bicara." suara Hiro terdengar dari balik daun pintu kamar yang ditempati Navia.
"Baik. Sebentar lagi aku menyusul." sahut Navia perlahan. Ia bangkit dengan sedikit malas. Hal apa yang harus dibicarakan dengannya? Pertanyaan itu muncul begitu saja di dalam otak Navia.
Perlahan gadis itu berjalan gontai. Keluar dari kamarnya dan turun. Di ruang tamu, Hiro telah menunggu kedatangannya.
"Duduk." perintah pria itu, Navia menurut. Ia duduk di sofa yang terletak di hadapan Hiro. Gadis itu sengaja, agar dirinya tidak harus duduk di samping Hiro.
"Tadi siang, aku bertemu dengan ayahmu." Hiro membuka pembicaraan terlebih dahulu. Ia tidak ingin membuat Navia menunggu apa yang ingin ia bicarakan.
"Lalu?" reaksi Navia datar. Dia yakin, pertemuan Hiro dan ayahnya pasti membahas tentang kelangsungan perjodohan mereka.
"Ayahmu bilang, aku harus menjagamu dengan baik. Pernikahan kita akan dilaksanakan dua minggu lagi." mendengar penuturan Hiro, tenggorokan Navia tiba-tiba terasa kering.
Masa mudanya, masa lajangnya, kenapa harus berakhir secepat ini? Penolakan itu timbul di dalam hatinya. Ia ingin berontak dan menolak keras, tetapi ia hanyalah seorang gadis muda yang tidak berani melawan kehendak ayahnya.
"Apa kamu benar-benar tidak ingin berubah pikiran? Aku pastikan, langkahmu menikahiku adalah hal yang salah. Kita hanya dua orang asing, lucu rasanya, dua orang yang tidak saling mengenal satu sama lain tiba-tiba menikah." Navia memalingkan pandangannya, sekuat tenaga berusaha untuk terlihat tegar dan tidak menitikkan air mata. Sungguh, ia tidak ingin menikah dengan Hiro.
"Seiring waktu, tidak ada kata orang lain di antara kita. Navia, aku melakukan ini hanya untuk kebebasanmu. Kamu tidak perlu takut, aku tidak akan menuntut apapun. Setelah menikah pun, kita masih bisa berhubungan layaknya orang asing." ucap pria itu pasti. Hiro berkata jujur, dia tidak akan mengambil keuntungan dari pernikahannya dan Navia.
"Untuk apa kamu memikirkan kebebasanku? Siapa kamu memangnya?! Selama ini aku bebas dan baik-baik saja. Aku tidak merasa butuh pertolongan dari pahlawan kesiangan sepertimu." jelas saja Navia berbohong dan Hiro tahu itu. Pria itu menyunggingkan senyum sekilas.
"Jangan berbohong padaku, kamu tidak berbakat melakukannya. Kamu tanya aku siapa? Sepertinya jawabanku saat ini tidak akan penting untukmu. Sekarang aku mau dengar darimu, apa yang tidak boleh aku lakukan setelah menjadi suamimu, aku mau dengar." Hiro berusaha setenang mungkin, ia ingin menunjukkan pada Navia, kalau dirinya mampu menjadi tempat gadis itu berlindung.
"Kamu yakin ingin mendengarnya?" Navia justru mengajukan pertanyaan pada Hiro, gadis itu memaksakan dirinya agar tersenyum supaya tidak tampak terlalu tegang.
"Tentu saja. Cepat katakan..." Hiro membimbing Navia untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan.
"Kita akan tetap menjadi orang asing. Tinggal di kamar masing-masing,tidak ada kontak fisik dan tidak ada hak dan kewajiban suami istri." jawaban Navia sesuai dengan apa yang ada di pikiran Hiro, gadis itu pasti menolak untuk lebih dekat dengannya. Wajar saja, bagi Navia, Hiro hanyalah pria asing yang tiba-tiba merangsek masuk ke dalam kehidupannya.
"Baik, aku setuju." Hiro langsung menyetujui permintaan Navia.
"Kenapa kamu menerima begitu saja?" entah mengapa mendadak muncul kalimat itu dari bibir Navia.
"Kamu ingin aku protes? Lagipula, kamu tidak akan mengabulkan apa yang menjadi keinginanku. Tapi, sebelum itu, aku mau minta satu hal padamu." Hiro menatap Navia dengan serius, membuat Navia seolah sesak nafas. Ia kesal harus salah tingkah di saat yang seperti ini.
"A-apa?" Navia tergagap, pikirannya sedikit kacau, membayangkan permintaan apa yang Hiro inginkan darinya.
"Panggil aku Mas." jawaban Hiro membuat Navia tertawa. Hal itu sangat konyol menurutnya.
"Kenapa aku harus memanggilmu dengan sebutan Mas?" Navia justru tertarik untuk meminta alasan, kenapa ia harus memanggil Hiro dengan embel-embel 'Mas'.
"Tidak ada. Ini adalah mahar dari permintaanmu, jika kamu mengabulkan permintaanku, aku juga akan mengabulkan permintaanmu, bagaimana?" Hiro meminta Navia mempertimbangkan permintaannya. Sejenak, gadis itu terdiam dan berpikir.
"Baiklah, aku akan menerima kesepakatan ini. Mulai hari ini aku akan memanggilmu Mas Hiro." Navia memantapkan diri untuk mengambil keputusan itu. Menurutnya tuntutan Hiro hanya sederhana jika di bandingkan dengan permintaannya yang sangat banyak.
"Bagus, kalau begitu aku mau dengar sekarang, panggil aku dengan sebutan itu." Hiro tampak memasang telinga, ia ingin mendengar Navia memanggilnya dengan panggilan yang ia tentukan
"Mas Hiro ...," panggil Navia pelan, gadis itu merasakan sesuatu yang aneh terasa saat ia memanggil pria di hadapannya dengan sebutan itu.
Hiro tersenyum, panggilan Navia terdengar sangat merdu di telinganya. ia sangat senang karena Navia mau menuruti keinginannya.
"Merdu sekali, aku suka. Terima kasih, Navia."
"Kalau tidak ada lagi yang harus di bicarakan, aku akan kembali ke kamar." Navia bangkit dari duduknya lalu secepatnya melarikan diri dari Hiro. Pria itu hanya mengamati tingkah gadis itu, tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Navia, cepat atau lambat, kamu pasti akan jatuh cinta padaku. Aku akan membuat kamu jatuh cinta tanpa batas kepadaku, Hiro Bramana." gumam lelaki itu pelan.
***
Navia memukul-mukul guling yang saaat ini ada di dalam pangkuannya. Di pelupuk matanya, bayangan cara Hiro menatap dan berbicara padanya kembali hadir. Jantungnya berdetak tak beraturan, Navia bertanya-tanya apa yang terjadi pada dirinya.
"Pria dewasa seperti Hiro mungkin hanya akan mempermainkan aku. Aku harus menunjukkan padanya kalau aku tidak mudah untuk dia dapatkan." sekali lagi, Navia masih belum mempercayai Hiro. Dimatanya, lelaki itu selalu salah.
"Aku yang akan memimpin dan menaklukan hatinya. Suatu hari, dia akan jatuh cinta padaku dan memohon agar aku juga mencintainya." Navia menyeringai.
***
Hiro masih berada,di ruang tamu dengan bibir terus menampilkan senyum, seolah ia baru saja melihat seorang bidadari yang benar-benar cantik. Tapi itu tidak salah, ia baru saja melihat bidadarinya, siapa lagi kalau bukan Navia. Wanita yang telah ditakdirkan untuk menjadi jodoh masa depannya.
"Kalau begini terus, aku bisa benar-benar gila."