NAVIA POV
Miko mengajakku masuk ke area wahana yang berada di taman hiburan itu dengan tangannya yang masih tetap menggandengku. Ini pertama kalinya aku merasakan hangatnya genggaman tangan seorang pria. Selama ini, gerakku terbatas. Jangankan pacaran, sekolahku juga di sekolah khusus putri.Terlebih lagi, jika pergi kemanapun, aku selalu di kawal oleh anak buah papa.
"Kapan terakhir kali kamu ke taman hiburan?" tanyanya ketika kami telah masuk ke dalam arena. Pengunjung yang lumayan ramai membuat suasana taman semakin meriah.
"Aku hanya pernah melihatnya di dalam film. Kehidupanku tidak semenarik cewek-cewek pada umumnya. Bahkan saat aku kerja, di wajibkan bekerja di perusahaan keluarga dengan penjagaan yang cukup ketat. Aku bosan hidup terkekang, Miko." curhatku, Miko melepaskan gandengannya lalu menepuk-nepuk kepalaku pelan.
"Suatu saat, kamu akan menemukan kebebasan yang kamu inginkan. Semangat Navia!" pria itu menyemangatiku. Ia memberikan senyum manisnya, jujur, aku senang sekali. Padahal hanya senyum, bagaimana kalau Miko memberikan hatinya untukku?
"Terima kasih, Miko. Ketemu kamu seperti sebuah keajaiban. Aku pikir, pas kita ketemu pertama kali, kamu adalah penjahat. Habisnya kamu selalu bilang jaga rahasia terus." protesku, ternyata bukannya pembunuh bayaran, tapi pacar bayaran. Benar-benar profesi yang tak terduga.
"Maaf, kalau di awal pertemuan aku menakutimu. Sebenarnya itu cuma main-main doang," Miko terkekeh. jadi, sebenarnya aku korban 'prank' kah?
"Jadi kamu cuma ngerjain aku? Aish! Jahatnya, aku udah ketakutan tahu nggak, Sih." tanpa sadar aku mencubit lengan Miko.
"Aduh! cubitanmu pedes juga, ya. Maaf kalau bikin kamu takut, tapi itu artinya aku ada bakat jadi artis, kan?" katanya penuh percaya diri, membuatku tertawa kecil. Aku tahu, ia hanya bercanda, tapi manis sekali.
"Pffft, iya, bakat kok, jadi artis papan penggilesan." ejekku, sambil terus tertawa kecil.
Tiba-tiba aku melihat anak buah papa ada di lokasi yang sama denganku dan Hiro, aku tak tahu harus berbuat apa, mendadak aku ada ide untuk memeluknya karena bingung harus pergi kemana. Harapanku, semoga Miko bisa di ajak kerja sama.
"Via, kamu kenapa tiba-tiba..."
"Ssstt, kamu lihat dua orang berbaju serba hitam? itu anak buah ayahku, maaf, aku panik, aku bingung harus kemana." kataku pelan, namun sebenarnya aku di kuasai kepanikan. Aku tidak ingin pulang sekarang. Keinginanku untuk mandiri sudah bulat, suatu hari aku akan pulang bersama seseorang yang aku cintai.
"Ya, aku melihat mereka mengamati sekitar. Tenanglah, terus begini sampai situasi aman." Syukurlah, Miko mau bekerja sama dengan baik.
Harum tubuh Miko menusuk hidungku, lembut dan menenangkan. Tubuhnya ternyata benar-benar atletis. Aku dapat merasakan kekencangan ototnya. Mungkin, bentuk tubuhnya seperti aktor utama di film-film laga. Aduh, kenapa pikiranku kemana-mana, lupakan, lupakan.
Detak jantung Miko tidak beraturan. Mungkin ini akibat pelukanku. Bagaimanapun, dia juga seorang lelaki normal.Kira-kira, apa yang ada di pikiran Miko sekarang, ya?
"Mereka sedah pergi, kamu aman." Miko mengodeku kalau anak buah papa sudah pergi. Aku buru-buru melepaskan Miko dan sedikit memberi jarak di antara kami.
"Maafkan aku, aku melanggar kode etik kerjamu. Maaf sekali lagi." kontan aku merasa tidak enak. Bagaimana pun juga, aku melanggar privasi Miko.
"Santai saja, sekarang kan aku tidak sedang bekerja, aku sedang berjalan-jalan denganmu." ucapnya santai. Melihat caranya berbicara, sepertinya dia sama sekali tidak terganggu dengan perlakuanku.
"Benar juga, terima kasih. Aku takut sekali tertangkap mereka, aku tidak ingin pulang sekarang. Aku masih ingin menghirup udara segar." ungkapku. Aku memang sangat merindukan mama, tapi kehidupan dalam sangkar itu membuatku tidak ingin pulang.
"Semua keputusan ada di tanganmu, Navia. Aku yakin kamu sudah bisa menentukan, mana yang terbaik untukmu." kata Miko perlahan.
"Terima kasih, sekali lagi, Miko. Kalau begitu, ayo kita bermain." Aku menarik tangan Miko mendekat ke area permainan.
"Pertama, kamu mau naik apa dulu? Bagaimana kalau bianglala?" usul Miko saat kami berada di dekat bianglala. Aku menatap ke keranjang yang berputar itu, cukup sempit. Sepertinya romantis kalau di naiki berdua dengan pasangan, tapi sayangnya aku dan Miko bukan pasangan.
"Boleh. Aku juga ingin sekali naik bianglala." kataku semangat.
"Tunggu di sini, aku beli tiketnya."
Miko pergi meninggalkanku untuk membeli tiketnya dan aku menunggu dengan patuh. Kuamati punggung Miko yang menjauh, pria itu memiliki pesona yang luar biasa. Dia benar-benar keren.
Aku tahu, caraku menilai seorang lelaki tentu saja tidak sebaik mereka yang sering berpacaran dan mengenal banyak lelaki. Sedangkan aku, selain ayahku, kemana-mana hanya ditemani dua pria pengawal yang tidak lain adalah anak buah ayahku yang sudah bekerja di keluargaku sejak aku masih kecil. Bisa di bayangkan, berapa usia mereka? tentu saja mereka sudah tua.
"Ini dia tiketnya, yuk." lagi-lagi Miko menggandeng tanganku begitu saja. Itu artinya tindakannya padaku memang bukan tidak sengaja. Seandainya aku bisa membaca apa yang ada di dalam pikiran Miko. Apa mungkin Miko menyukaiku? Tidak, aku tidak boleh terlalu percaya diri.
Kini kami berdua telah berada di dalam keranjang yang mulai berputar perlahan. Aku tanpa sengaja menatap Miko yang tengah memandang keluar. Entah mengapa, di mataku dia sangat tampan.
"Maaf, Navia. Malam ini mungkin kita hanya bisa masuk dua wahana karena kita harus makan malam dulu sebelum pulang ke rumah. Kita tidak bisa pulang terlalu larut karena kamu besok harus bekerja. Di hari pertamamu, kamu tidak boleh sampai terlambat." aku menyimak dengan jelas kalimat yang di ucapkan oleh Miko. Meskipun hanya sepele, tapi menurutku itu adalah bentuk perhatian darinya.
"Tidak apa-apa, Miko. Sudah mengajakku kesini aku juga sudah sangat senang. Menjadi bebas ternyata sangat menyenangkan." ungkapku jujur, meskipun hanya sementara, aku sangat menikmati momen kebebasanku ini.
Aku hanya bisa berharap semoga suamiku kelak tidak sepemikiran dengan papaku. Kalau itu terjadi, sepertinya aku akan terjebak di dalam sangkar seumur hidupku. Hidup dalam situasi yang membosankan.
"Aku tidak bisa membayangkan hidup sepertimu. Sejak dulu aku terlalu bebas. Sampai aku terjebak dalam kebebasanku sendiri. Sejak itu aku berusaha hidup lebih teratur. Tidak ingin mengulangi kesalahan di masalalu." curhat Miko. Ternyata kami kebalikan, dia hidup terlalu bebas sedangkan aku terlalu terkekang.
"Haha. Aku tidak apa di atur, tapi menurutku hidupku terlalu terbatas. Papaku terlalu keras, meskipun menurutnya itu baik, tapi tidak bagiku. Apakah aku bersalah, Miko?" tanyaku padanya. Aku ingin tahu apa pendapatnya tentang reaksi protesku.
"Tidak. Semuanya normal saja, sangat manusiawi jika seseorang menginginkan kehidupan yang sesuai dengan impiannya. Tentu saja itu bukan sebuah kesalahan."
Benar apa kata Miko, aku hanya manusia biasa yang memimpikan kehidupan yang sesuai dengan keinginanku dan itu bukan sebuah kesalahan.