Faith menghentikan jeep-nya di halaman rumah beberapa jam kemudian. Ia berusaha mengatur nafasnya sembari menyandarkan kening pada setir. Jari-jarinya mencengkram setir kuat-kuat dan Faith merasakan tenggorokannya tercekat. Butuh waktu beberapa menit bagi Faith untuk mengendalikan pikirannya. Ia tidak pernah merasa tenang ketika semua pemikiran buruk akan kejadian yang harus dilewati Ian kala itu menyerbu otaknya.
Dalam keheningan, Faith mencoba mengangkat wajahnya. Ia masih terus berpikir tentang fakta yang terkuak. Mrs. Brooklyn mengatakan bahwa Ian menjadi bagian dari pelajar yang terpilih dan itu sudah berarti bahwa Ian telah melewati masa sulit yang mengerikan. Siapa yang berharap akan menjadi b***k seks demi keuntungan orang? Siapa yang mau jadi pelayan? Mendengarnya saja membuat Faith merasa muak. Namun, apa yang dialami Ian kali itu, penyiksaannya, tidak sanggup ia bayangkan tanpa menjadi lebih buruk lagi.
Faith merasa kedua tangannya bergetar dan ia butuh waktu untuk menjernihkan pikiran. Jadi, ia putuskan untuk turun dan beranjak masuk. Langkahnya terhenti begitu Faith melihat sebuah kotak berukuran sedang yang ditinggalkan seseorang di depan pintu rumah.
Faith menatap sekitar, mencoba mencari seseorang yang berkeliaran disana, namun ketika ia tidak mendapati siapapun, ia segera meraih kotak itu dan membuka bungkusnya.
Di dalam kotak terdapat secarik kertas dan sebuah kotak kecil lainnya. Faith meraihnya, meletakkan kotak yang lebih besar di atas meja dan mulai membaca isi pesannya.
Aku berpikir mungkin aku dapat memberi hadiah kecil untuk ulang tahunmu. Aku harap kau menyukainya.
Smaragdine?
Ian
Faith beralih pada kotak kecil dalam genggamannya. Ia membuka penutup kotak itu dan terpukau ketika melihat sebuah kalung perak dengan batu permata berwarna hitam yang indah. Sambil tersenyum, Faith berusaha mengendalikan emosinya. Niat untuk berbaring dan menenangkan diri segera sirna begitu ia memutuskan untuk kembali ke dalam jeep dan mulai mengendarai jeep-nya menjauh dari rumah.
Jeep-nya tiba di halaman parkir sebuah klinik ketika hari menjelang malam. Dari sudut pandangnya, Faith melihat SUV milik Ian di sudut sana dan segera menyimpulkan bahwa ia mengunjungi tempat yang benar. Turun dari mobil, Faith beranjak masuk ke dalam. Ia segera disambut oleh petugas resepsionis wanita yang sedang bertugas.
"Permisi ma'am, ada yang bisa ku bantu?"
"Aku ingin bertemu dengan Ian."
Petugas itu mengerutkan dahinya. "Maaf?"
Faith memejamkan mata saat membenahi ucapannya. "Mr. Landon. Dokter ahli bedah yang berkerja disini."
"Maaf, tapi ada pasien yang harus ditanganinya di ruang operasi dan beberapa pasien lagi. Mungkin akan memakan waktu lama. Jika berkenan, Anda bisa meninggalkan pesan."
"Aku akan menunggu kalau begitu."
Petugas itu menatap Faith dengan serius. "Operasinya akan selesai beberapa jam lagi."
"Aku akan tetap menunggu. Katakan saja padanya Faith ingin bertemu ketika dia sudah selesai dengan pekerjaannya."
Petugas itu mengangguk kemudian mengangkat gagang telepon, menghubungi seseorang kemudian menutupnya kembali. Petugas itu kemudian mempersilakan Faith masuk ke ruang tunggu.
Langit di luar sana telah gelap, beberapa pasien yang datang mulai berkurang dan arlojinya mengatakan bahwa sudah dua jam Faith hanya duduk berdiam diri di ruang tunggu. Disela itu Faith mencoba menjernihkan otaknya, di tangannya ia sudah menggengam kotak dan hadiah pemberian Ian. Mata Faith menatap lurus ke arah lantai dan pikirannya kosong.
Dalam hitungan menit, pintu ruang operasi dibuka, indra-indra Faith mulai terjaga dan pandangannya terarah kesana. Ian beranjak keluar dibuntuti oleh seorang perawat yang berbicara sebentar padanya kemudian pergi ke haluan yang berbeda.
Faith berdiri ketika bertemu tatap dengan Ian yang berada tak jauh disana. Lelaki itu masih mengenakan jas putih, sarung tangan dan masker pasca operasi. Begitu menatap Faith, Ian melepas peralatannya dan mulai beranjak mendekat. Tatapannya serius, tidak ada senyum memesona seperti biasa yang tampak di wajahnya.
Ian berhenti tepat di hadapan Faith. Ia meraih pundak Faith dan dengan segera menjauhkan tangannya ketika Faith menjauh. Mencoba mengabaikan sikap itu, Ian bicara, "Faith,
"Aku harus bicara dengamu," kata Faith sambil menatap Ian.
Ian mengangguk namun beberapa detik setelahnya, seorang perawat kembali menyerukan namanya dan meminta ia untuk menangani pasien lain yang sudah menunggu.
Ian memberi anggukan pada perawat itu dan Faith segera mengerti.
"Mungkin aku bisa menunggu beberapa menit lagi."
Ian memberi anggukan lemah sebelum beranjak pergi menjumpai pasien di ruang rawatnya. Faith kembali duduk, dari sana ia bisa menatap Ian. Lelaki itu memberi senyuman hangat ketika menjumpai pasiennya yang merupakan seorang wanita tua rentan berkulit pucat dengan sebuah kursi roda.
Ian menjulurkan tangannya dan dengan senang, wanita itu menyambut uluran itu. Membiarkan Ian memeriksa nadinya dan menjawab semua pertanyaan yang diajukan Ian.
Faith terenyuh ketika melihat bagaimana Ian menangani pasiennya dengan sabar dan terlatih. Setiap pergerakannya menunjukkan kecerdasan dan dedikasinya yang tinggi sebagai seorang dokter. Ian mengeluarkan sebuah senter kecil dari jas putihnya kemudian meminta wanita itu membuka mata lebar sebelum menyinari korneanya kemudian bergerak untuk menyiapkan suntikan dengan dosis obat yang sesuai.
"Hai, Rose!" panggil Ian. Ia segera mendapat perhatian wanita itu. "Coba kau tatap bahuku dan letakkan tanganmu di lenganku!"
Rose segera menurut dan Ian tidak mengambil waktu banyak untuk menyuntikkan dosis obat pada pergelangannya. Ketika Rose merasa takut, cengkramannya di bahu Ian mengerat dan pekikannya tertahan di tenggorokan begitu jarum suntikan menancap ke dalam dagingnya.
Ian melakukannya dengan cepat kemudian meletakkan alat suntik itu kembali ke tempat semua. Ia beralih pada buku pasien di meja dan mulai menulis resepnya tanpa mengihindari pertanyaan Rose yang dihanturkan secara bergiliran.
"Kau ingat saat kau mengajakku pergi ke taman dan menikamti teh dan biskuit, Tom?"
Ian mengangguk, berusaha membagi fokus pada tulisannya juga pasiennya. "Ya. Aku ingat sekali."
"Ketika itu kau memberi aku hadiah yang sangat indah. Kau mengingatnya?"
"Tentu saja."
"Kau sungguh masih mengingatnya?"
Ian mengangkat pandangannya untuk mentap wanita tua yang duduk disana sambil tersenyum padanya. "Bisa dipastikan aku masih mengingatnya."
Rose tertawa. "Mutiara itu masih kusimpan hingga sekarang."
"Aku percaya itu," kata Ian sembari mengambil alat kedokterannya yang lain dan membuka perban di lengan Rose.
"Oh, kau yang terbaik Tom."
"Tentu." Meletakkan alat kedokterannya, Ian berbalik dan melambaikan tangannya pada seorang pria muda berpakaian kasual yang menunggu tak jauh disana. Pria itu kemudian bergabung dan Ian mengatakan semua yang perlu dikatakannya terkait kondisi Rose, ibunya.
"Dia akan baik-baik saja. Semuanya sudah lebih baik sejak sepekan terakhir. Dia hanya perlu menjalani terapi secara runtin. Denyut nadinya sudah baik dan tekanan darah darahnya normal."
"Aku berterima kasih banyak padamu," kata pria itu sambil berdiri di belakang kursi roda ibunya.
"Itu tidak masalah. Dia akan segera sembuh."
"Aku yakin itu."
Rose menarik lengan jas Ian dan berusaha mendapat perhatian Ian sepenuhnya. Wanita itu tersenyum ketika Ian mencium punggung tangannya dengan lembut. Rose kemudian berbisik, "izinkan aku mencium wajahmu!"
Ian tersenyum dan tidak berpikir panjang ketika ia menundukan wajahnya dan menerima kecupan singkat Rose di rahangnya. Ia kemudian menangkup wajah wanita itu dan bicara dengan lembut.
"Selalu atur nafasmu dan jangan lakukan hal gegabah!"
"Aku akan mengingatnya," kata Rose.
Ian kemudian memberi anggukan pada putra dari pasiennya kemudian kembali berdiri tegap. Pria itu segera membawa ibunya keluar dari ruang rawat dan pergi meninggalkan klinik.
Pasien yang berkunjung telah berbubaran pergi ketika Faith memutuskan untuk beranjak masuk ke dalam ruangan. Faith menunggu Ian membenahi alat kedokterannya, di ambang pintu. Ketika Ian berbalik dan menatapnya, ia melangkah maju lebih dekat kemudian menutup pintu di belakangnya. Senyum tulus tanpa sadar terpancar di wajahnya dan hal serupa membuat Ian ikut tersenyum.
Ian menatap ke dalam mata Faith ketika wanita itu tiba tepat di hadapannya. Awalnya Ian berniat menunggu Faith yang memulai perbincangan mereka, namun melihat kotak yang ada dalam genggaman Faith membuatnya angkat bicara.
"Kau datang."
Faith mengabaikan ungkapan itu dan mencoba menanyakan hal yang sedari tadi terlintas dalam benaknya. "Apa yang terjadi padanya?"
Dahi Ian berkerut, kedua matanya menyipit dan alisnya bertaut. "Maaf?"
Faith mempertegas ucapannya. "Pasien yang baru saja kau tangani."
"Oh. Namanya Rose. Gejala amnesia sementara. Kanker pada jaringan otaknya membuat dia menjadi pelupa. Efeknya juga berdampak pada kelumpuhan kaki dan terkadang ia menjadi sulit bernafas. Sekarang kondisinya sudah mulai membaik, tapi dia tetap harus menjalani terapi rutin."
Faith melihat bagaimana cara Ian menangani pasiennya dengan lembut. Ian akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membantu pasiennya tidak peduli seburuk apapun kondisi pasien itu. Faith menyadarinya dan hal serupa membuat terenyuh.
Ia menunduk ketika Ian memerhatikannya. Faith membuka kotak hadiah itu dan mengeluarkan kalung di dalamnya. Ian segera meraih kalung itu dan mengerahkan tangan untuk mengenakannya ke seputar leher Faith.
"Biar kubantu!"
Faith tidak menolak ketika Ian menyusupkan kedua tangannya ke dalam rambutnya yang tergerai dan memasang pengait kalung hingga kalung itu menggantung sempurna melingkari lehernya.
Nafas Ian tercekat etelah melihat keanggunan yang tampak di wajah Faith, terlebih dengan kalung pemberiannya sebagai pelangkap. Ian berusaha meraih tepian meja di belakangnya dan mengendalikan diri dengan mencengkram kuat tepian itu.
Ketika Faith tertawa kecil, Ian merasa lebih baik.
"Terima kasih," ujar Faith sementara Ian tidak sanggup menemukan kata-katanya. Sebagai respons, ia hanya mengangguk.
Ian kemudian memerhatikan ketika Faith membuka lembaran kertas itu dan menunjukkan warna yang tertulis disana.
"Apa ini?" tanya Faith.
"Pilihan warnaku."
Faith mencoba mengejanya. "Smaragdine?"
Ian menggeleng dan memperbaiki nada suara Faith. "Tidak. Bukan seperti itu cara menyebutnya. Kau hanya perlu mengucapkan smaragdine."
Faith tertawa rendah, tawanya lebih mirip dengusan. "Apapun itu. Aku tidak pernah mendengar yang seperti ini. Warna apa ini?"
Mata Ian terbelalak, lebih terkejut pada fakta bahwa tebakannya masih salah. "Kau tidak tahu?"
Faith tersenyum sambil menggeleng dan Ian memejamkan matanya dengan putus asa.
"Artinya hijau permata."
Faith mengangguk paham. "Mengapa kau memilih warna-warna yang sulit? Aku bahkan tidak pernah mengenal sebutannya."
"Kau tidak menyukai warna-warna yang umum disebut orang, jadi Joseph berpikir bahwa mungkin kau menyukai warna-warna yang rumit."
Kali ini Faith membeliakkan matanya. "Joseph juga berperan?"
Ian mengutuk dirinya dalam diam, tapi ia mencoba menganggukkan kepalanya dan mengatakan semua dengan sejujur-jujurnya. "Dia meminjamkanku buku tafsiran warna."
Saat Faith tertawa keras Ian merasakan suatu kesenangan hanya dengan melihatnya. Senyumnya bertambah lebar ketika Faith balik menatapnya dengan kedua mata yang nyaris berair.
"Kau melakukannya hanya untuk memuhi ambisimu?"
"Begitulah."
"Kenapa kau tidak menyerah saja?"
Ian menolak gagasan itu. "Aku sudah sampai sejauh ini."
Faith tersenyum dan selama itu mereka hanya saling bertatapan. Hingga suara ketukan pintu mengejutkan keduanya. Seorang pria muncul dari balik pintu. Pria itu bertubuh kurus dengan tinggi mencapai seratus tujuh puluh, mengenakan jaket abu-abu dan berambut hitam. Senyumnya yang lebar menggambarkan sosoknya yang ramah. Hal itu segera terbukti ketika pria bernama Michael itu menyapa Faith sebelum bicara dengan Ian.
"Maaf mengganggu kalian. Aku hanya ingin menyerahkan ini padamu!" pria itu menjulurkan sebuah map bersampul hijau dan Ian menerimanya.
"Semua data pasien yang kau butuhkan telah kucantumkan, berikut keterangan-keterangan penyertanya."
Ian memeriksa kelengapan data itu lebih dulu sebelum mengangguk setuju. "Aku tidak menyangka akan menerimanya secepat ini. Kerja bagus, terima kasih."
Michael tersenyum bangga. "Sudah kukatakan padamu bahwa aku akan sangat membantu."
Ian tertawa sembari menggeleng. "Kontraknya masih berlaku."
Michael merengut sebelum beranjak kembali ke ambang pintu. "Terserah padamu, yang terpenting aku telah menyelesaikan tugasku. Dengar, aku akan mengambil cuti untuk semalaman penuh."
"Apa yang terjadi?"
"Aku harus menemani ibuku dihari ulang tahunnya."
"Bukan berkencan dengan gadis barumu?" goda Ian dan wajah Michael merona sepenuhnya. Lelaki itu berusaha menutupi kecanggungannya dengan segera beranjak menjauh.
"Mungkin itu salah satunya. Aku harus pergi."
Michael tersenyum pada Faith sementara Faith memberinya anggukan. Ia beranjak keluar dari ruangan kemudian menutup pintu di belakangnya.
Faith kembali menatap Ian. Ia belum sempat bicara ketika ketukan berikutnya membuat mereka terkejut. Berbalik, mereka mendapati wajah Michael muncul dari balik pintu.
"Sebaiknya kalian cepat kembali. Petugas keamanan akan mematikan listrik dan mengunci semua ruangan."
Ian menatap Michael dengan jengkel. "Ya, terima kasih.” Hal terakhir yang dilihat Faith, Michael pergi dengan santai meninggalkan mereka.
Menatap Faith, Ian sanggup membaca pertanyaan yang melintas dalam benaknya. Ia tidak menunggu Faith menyuarakan pertanyaan itu dan segera menjelaskan.
"Michael karyawan baruku. Dia terikat kontrak. Dia masih dalam pelatihan."
"Dia kelihatan baik dan menyenangkan."
Ian menyetujuinya. "Benar. Kerjanya juga bagus. Dia masih sangat muda dan aku berniat menjadikannya karyawan tetap. Bagaimana menurutmu?"
Faith melangkah ke samping Ian dan bersandar pada tepian meja. "Jika kau bertanya aku akan segera meyetujuinya."
Keheningan kembali melanda. Mereka diam dan bertemu tatap. Di matanya yang gelap, Faith melihat ketulusan Ian disana. Tidak peduli bagaimana buruknya latar belakang lelaki itu, Faith hanya sanggup melihat sosok pria sempurna dengan hati lembut yang dinikahinya. Cara Ian menangani pasiennya telah menunjukkan sikap aslinya. Lelaki itu tidak pernah bicara kasar pada Faith dan demikian pula pada pasiennya. Ian menurut ketika pasiennya meminta ia melakukan sesuatu dan sudah sangat jelas bahwa Ian tidak pernah berniat mengecewakan orang-orang di sekitarnya. Hal serupa membuat hati yang membeku mulai cair kembali.
Faith menatap dan terus begitu sampai ia mengerahkan dirinya lebih dekat dengan Ian. Tangannya menangkup lengan Ian dengan keputusasaan pada godaan, Faith berjinjit, menarik wajah Ian dan mencium bibirnya tanpa tergesa-gesa.
Ian tidak bereaksi sedikitpun. Hal itu membuat Faith menjauhkan dirinya untuk menatap mata Ian secara langsung. Ketika Ian tidak bicara, keheranan Faith semakin menjadi-jadi. Lelaki itu tampak sangat kaku sementara Faith berusaha membuat situasi mencair kembali dengan menjauh. Namun, sebelum ia melangkah lebih jauh, tangan Ian yang kuat sudah menahannya di tempat. Lelaki itu tertawa lembut dan menarik wajah Faith lebih dekat.
"Querida.."
Ian membisikannya dengan kesan posesif yang besar dan hal serupa membuat senyum Faith terpancar. Faith sempat terkejut ketika lelaki itu menarik pinggulnya lebih dekat kemudian menghunjami rahangnya dengan ciuman.
Keterkejutannya sirna saat Faith merasakan sensasi memabukkan menggelitik sekujur tubuhnya. Faith bahkan tidak sadar saat ia menyusupkan jemarinya ke dalam rambut gelap Ian sementara lelaki itu menangkup wajahnya kemudian menciumnya.
Satu tangan Ian yang bebas melingkar di pinggul Faith satu yang lain mencoba menopang tubuh Faith yang akan ambruk jika tidak ditahan. Ian melepaskan Faith hanya untuk menatap langsung ke dalam mata almond itu. Gairahnya memburu, matanya semakin gelap dan ketika ia tidak sanggup untuk mengendalikannya lagi, Ian membawa Faith ke sofa tunggu disana. Membaringkan wanita itu dan mulai menciuminya lagi.
Faith merasakan ketika Ian berusaha melepas mantel yang ia kenakan, kemudian memeluknya erat. Sementara itu, Faith melingkarkan kedua tangannya ke seputar tengkuk Ian, ia mendekatkan dirinya dengan sengaja, merasa perlu untuk berada sedekat itu dengan Ian.
Tepat Ketika Ian merasakan keinginan kuat untuk bertindak lebih, saat itu pula ia menghentikan aksinya. Ian bangkit dari atas sofa, diikuti oleh Faith kemudian. Nafas mereka memburu dan tubuhnya masih bergetar.
Ian menatap Faith, melihat bagaimana wanita itu menginginkannya.
"Aku menginginkanmu, tapi tidak disini," ungkap Ian dan Faith segera mengangguk paham. Faith juga tidak berniat melakukannya disana, jadi ketika Ian menyerahkan kembali mantelnya, Faith segera mengenakan mantel itu.
Faith tidak mengambil waktu lama untuk mengenakannya, ia menerima juluran tangan Ian saat lelaki itu membimbingnya keluar dari ruangan menuju SUV mereka yang terparkir.
Begitu teringat akan sesuatu, Faith menghentikan langkah mereka yang tergesa-gesa kemudian mengatakan, "aku membawa mobil juga."
Ian tidak mau memusingkan hal itu ketika yang diinginkannya hanyalah meredakan sesuatu di tubuhnya yang terasa nyeri. Jadi ia menjawab dengan enteng, "akan kuhubungi petugas keamananku untuk mengantarnya kembali."
Faith mengangguk dan tanpa menunggu lebih lama lagi, Ian membimbing wanita itu masuk ke dalam SUV-nya kemudian mengendara kembali dengan cepat. Disepanjang perjalanan, tidak satupun dari mereka berniat untuk memulai perbincangan. Semuanya berlangsung dengan tegang dan mencekam.
Malam semakin gelap dan sunyi ketika SUV-nya tiba di halaman rumah. Mereka beranjak turun dan segera masuk ke halaman rumah tanpa berbicara apapun. Ian menyalakan semua lampu di ruangan kemudian membimbing Faith menaiki tangga menuju kamar pribadi wanita itu. Faith berjalan lebih depan darinya dan Ian menunggu ketika Faith mengeledah seisi tasnya di depan pintu untuk menemukan kunci.
Semenit mereka habiskan untuk mencari kunci itu dan hal serupa membuat Ian jengkel.
"Coba ingat dimana kau meletakkannya?"
Faith juga kelihatan sama frustrasinya, terutama ketika Ian tidak bisa menjauh tangannya dari tubuh Faith.
"Aku yakin aku meletakkannya disini."
Ian membalikkan tubuh Faith, mendesak wanita itu ke pintu dan mulai menciumi rahangnya. Disela itu ia bergumam, "cepat temukan, Querida, atau kau lebih suka kita berakhir disini."
Pikiran Faith melayang dan tubuhnya menerima Ian sepenuhnya, namun tangannya berusaha menemukan kunci dalam tasnya. Ketika beban tubuh mereka menekan pintu, kenopnya berputar dan pintu terbuka lebar.
Faith memekik, mereka akan jatuh seandainya Ian tidak sigap meraih tepian pintu. Dalam sekejap seuasana menjadi hening. Mata Faith yang terbuka bertemu dengan tatapan Ian dan dalam hitungan detik tawa mereka pecah.
Ian yang menarik Faith lebih dulu, memberi kesempatan bagi Faith untuk menyeimbangkan tubuhnya sebelum beranjak masuk dan menutup rapat pintu di belakangnya.
Begitu tiba di dalam, kegelapan menyelimuti. Hanya cahaya rembulan yang menembus masuk lewat jendela. Ian melepas jasnya, bergerak untuk menahan Faith dan melepas mantel wanita itu di waktu yang bersamaan. Dari belakang Ian membantu Faith melepas pakaiannya. Faith segera menghentikan pergerakan Ian dan mengangkat tangan Ian ke atas wajahnya. Ia berbalik untuk menciumi rahang Ian kemudian menjauh dengan mengatakan.
"Biarkan aku!"
Ian menurut ketika Faith menariknya untuk duduk di atas ranjang sementara wanita itu menjauh untuk menanggalkan pakaiannya. Pemandangan tubuh Faith membuat Ian semakin sulit menelan liurnya. Kedua tangannya mencengram erat tepian ranjang dan matanya terjerat oleh pemandangan di hadapannya.
Faith menanggalkan pakaiannya hingga menyisakan dalaman berwana hitam pekat yang kontras di kulit putihnya. Wanita itu menunjukkan perutnya yang rata dan pinggulnya yang langsing. Kedua kaki Faith jenjang dan dadanya terbentuk sempurna. Ketika Faith mendekat dan memposisikan dirinya duduk di pangkuan Ian, Ian sudah tidak bisa menyentuh akal sehatnya lagi.
Faith tersenyum sembari berbisik di telinga Ian. "Biarkan kita menikmati malam ini."
Sebelum Faith menurunkan wajah untuk mencium Ian, Ian lebih dulu menghentikannya dan mengatakan satu-satunya kata yang sanggup ia pikirkan.
"Hitam?"
Faith tertawa bebas dan Ian tersenyum ketika mencium aroma mawar yang melekat pada tubuh Faith.
Faith mengangguk penuh dan membuat Ian merasa puas dengan tebakannya.
"Hitam adalah warna terakhir yang bisa kupikirkan, Querida." Kemudian dunia Ian runtuh ketika Faith menciumnya lagi.
Sepanjang waktu Ian telah menghabiskan waktu untuk berselibat dan berusaha membuat dirinya terlihat normal dengan semua pencapaian terbaiknya sebagai seorang dokter. Sekarang, Faith telah membuka segalanya. Faith membuat Ian merasa hampa sekaligus kosong. Faith mampu meruntuhkan benteng pertahanan yang dibangun Ian selama bertahun-tahun.
Ian selalu berbohong soal wanita. Ia hanya berharap dirinya tetap dianggap wajar meski pada kenyataannya, Ian terlalu takut berhubungan secara intim. Tapi hal itu tidak dirasakannya ketika ia ada bersama Faith. Faith membuatnya merasakan hasrat yang dalam. Sejak pertama kali ia menatap Faith, Ian tahu bahwa yang diinginkannya hanyalah bercinta dengan Faith. Meski trauma besar selalu mengusik hidupnya, Ian tidak merasa demikian ketika bersama Faith.
Sekarang wanita itu telah mewujudkan hasrat terpendamnya dan Ian memuja setiap jengkal tubuh Faith seperti mentari memuja sinarnya. Keterbukaan wanita itu, reaksinya, membuat Ian tidak ragu-ragu untuk melakukan semua yang diinginkannya.
Menatap bagaimana Faith terpejam membuat ingatan akan masa lalunya kembali melanda. Ian segera menarik tangannya menjauh dari genggaman Faith saat ia berusaha meredam ingatan yang membuat otaknya sakit.
"Buka matamu!" pinta Ian dan Faith segera menurut. Senyum Faith pudar ketika melihat bagaimana kerasnya Ian berusaha mengendalikan emosinya.
Faith sedikit memiringkan tubuhnya dan menangkup wajah Ian. Raut wajahnya menampakkan kecemasan. "Ian? Apa yang terjadi?"
Kepala Ian semakin berdenyut-denyut dan sudah sangat jelas bahwa Ian berusaha mengendalikan tubuhnya lebih keras. Faith semakin resah saja.
"Apa semuanya baik-baik saja? Hei, Ian!"
Ian memejamkan matanya, menggeleng sembari menarik nafasnya. Hawa panas di sekitar mereka membuat keringat jatuh di dahinya.
Baru setelah beberapa detik Ian kembali membuka matanya. Ia menatap Faith dan merasa lebih baik. Sikap Ian membuat Faith heran. Pria itu menjadi lebih posesif setelahnya hingga pertanyaan semakin banyak bermunculan.
"Apa yang terjadi?"
Ian menggeleng sekali lagi. Senyum lemah tersungging di bibirnya. "Bukan apapun. Kau hanya perlu berjanji untuk terus membuka matamu."
Faith semakin heran. "Kenapa aku harus membuka mata?"
Karena kau mengingatkan aku pada seseorang. Namun, Ian menolak untuk mengatakannya dan hanya memilih untuk tersenyum dengan jawaban sederhana. "Karena aku ingin kau melihatku."
Faith menganggap itu sebagai godaan jadi ia mencium rahang Ian dan seperti yang diminta Ian, ia terus membuka matanya.
Ian menatap Faith yang terbaring di sampingnya. Satu tangannya berusaha menyibak helai ikal rambut Faith dan menyikap keanggunan wajah Faith di bawah cahaya rembulan. Ketika Faith tersenyum padanya, Ian menghela nafas. Jemarinya bermain di wajah anggun kekasihnya.
"Faith, kau tahu betapa aku menginginkanmu seperti ini sejak pertama melihatmu."
Faith mendongakkan kepalanya dan menatap pria tampan yang berbaring di sampingnya. Faith tidak pernah merasakan hatinya lebih tenang dari saat ini. Tidak bersama pri-pria yang pernah singgah untuk hubungan panjang atau hubungan singkat bersamanya, bahkan tidak dengan Mike. Cara Mike memang jauh lebih kasar namun kelembutan Ian membuat Faith terkesima akan cara lelaki itu memujanya: seakan Faith adalah barang berharga yang harus diperlakukan dengan lembut.
"Aku sudah tahu ketika melihat bagaimana kau menatapku."
Ian tertawa rendah. "Apa kau juga tahu apa isi di kepalaku?"
Faith mengeluarkan suara dengusan. "Ya. Itu aku juga tahu."
Kemudian Ian meraih helai rambut Faith dan menyentuhnya dengan dengan lembut. "Termasuk keinginanku untuk membuatmu berbaring di sampingku?"
Dahi Faith berkerut saat ia merasa semakin jengkel. "Haruskah kau menyebutkannya satu persatu?!"
"Aku juga berniat mewujudkannya malam ini."
Faith menggoda rahang Ian dengan ciuman kecil. "Kau punya banyak malam untuk melakukannya."
"Itu tidak memberiku jaminan."
Senyuman Faith lebar dan mengundang. "Kau tidak perlu khawatir. Sepertinya aku juga mulai menyukaimu. Kau kelihatan mengundang."
Ian tertawa dan seketika itu juga ia merasa Faith telah melengkapi dunianya.