Hari sudah gelap ketika Faith tiba di rumah. Ia memarkir jeep lebih dulu kemudian masuk melalui pintu belakang. Ruangan tampak sunyi dan senyap ketika Faith tiba. Faith melepas mantelnya kemudian membuka ikatan rambut sebelum bergerak untuk menyalakan lampu ruangan.
Ketika tak mendapati Ian disana, Faith segera beranjak ke ruang duduk, namun Ian juga tidak ada disana. Televisinya padam dan ruang duduk tampak rapi dan tertata. Ketika Faith beranjak menuju ruang utama, seklias tatapannya menangkap setitik cahaya keemasan kecil dari sebuah lilin. Faith bergegas untuk memastikannya. Kegelapan seakan telah menyelimutinya. Ia baru akan mengerahkan tangan untuk menyalakan tombol lampu ketika tangan yang besar dan hangat menangkup tangannya.
Cahaya keemasan dari lilin kemudian terangkat di hadapan Faith hingga menampakan sosok maskulin dan sebuah senyum memesona yang mulai dikagumi Faith.
Ia tidak melakukan apapun disana dan hanya berdiri berhadapan dengan Ian. Ketika Faith menjatuhkan pandangannya ke bawah, Faith sadar sepunuhnya bahwa tangan Ian hampir merah sempurna setelah merasakan tetesan lilin panas yang menuai. Faith mentap Ian kemudian kembali pada tangan lelaki itu secara bergiliran. Sementara yang dilakukan Ian hanya diam memandanginya dari dekat.
Segera setelah merasa tidak kuasa lagi, Faith meniup lilin di hadapannya hingga padam, membuat Ian mengernyitkan dahinya dengan jengkel kemudian tanpa berpikir panjang mengerahkan tangan untuk menekan tombol lampu.
Lampu di ruangan menerangi segala yang telah dipersiapkan Ian. Sebuah meja berhias taplak berwarna emas, dua lilin yang siap di atas meja, dua kursi dan dua makanan dengan menu sama yang disusun Ian sedemikian rupa hingga membuat siapapun tertarik begitu melihatnya. Terdapat setangkai mawar yang bediri kokoh dalam sebuah vas dan peralatan porselen yang digunakan, melengkapi segala keindahannya. Faith dibuat terpana akan semua itu.
Faith berusaha keras untuk menatap Ian kembali dan melihat bagaimana pria itu menyingging senyum lebar yang mampu meluluhkannya. Ian meletakkan lilin di atas meja, sedikit memiringkan wajahnya sebelum menarik Faith mendekat.
"Pesta ulang tahunmu."
Faith bahkan melupakan kalau saat itu merupakan hari kelahirannya. Pagi ini Faith menerima banyak panggilan, namun tidak satupun yang terjawab karena pikirannya masih berkecamuk. Bahkan jika yang menghubunginya Juan atau Kylee sekalipun. Namun, Ian mengingatkannya dan membuatnya merasa kembali seperti remaja tujuh belas tahun. Terutama ketika Ian menariknya lebih dekat dan meletakkan kedua tangannya ke seputar pinggul Faith.
Faith baru tersadar dari lamunannya ketika Ian mendaratkan kecupan singkat di wajahnya. Ia menatap lelaki yang tersenyum lebar di hadapannya dan baru sanggup bicara, "bagaimana kau bisa mengetahuinya?"
"Kau sudah menanyakan hal yang sama sebelumnya."
Faith memiringkan wajah, membuat Ian paham bahwa wanita itu sepenuhnya tidak mengerti. Ian menghela nafas sebelum memperjelas ucapannya, "peraturannya: aku tidak menikahi orang asing."
Ingatan membajiri pikiran Faith. Ia tidak berujar ketika Ian pergi dan kembali dalam hitungan detik dengan sebuah kue tar rasberi dan lilin yang menyala di atasnya. Lelaki itu membawanya ke hadapan Faith.
"Ucapakan keinginanmu sebelum kau meniup lilinnya!"
Faith enggan membantah. Ia memejamkan mata dan dalam hitungan detik membukanya kembali kemudian meniup lilin di atas kue tar yang tampak menggoda.
Ian tersenyum lagi. Dengan pembawaannya yang tenang dan anggun, lelaki itu meletakkan kue di atas meja kemudian kembali meraih pinggul Faith dan menuntunnya untuk berdansa kecil.
"Waktunya untuk berdansa!"
Faith tidak piawai melakukannya jadi ia hanya berusaha mengikuti langkah kaki Ian. Dalam keheningan itu, mereka saling beradu tatap. Hingga pada satu titik dimana Ian mulai menghentikan pergerakannya dan menunggu Faith bicara.
"Aku harap kau menyukai pestanya," kata Ian, setengah berharap setelah melihat bagaimana mata almomd Faith membesar.
"Ini hari ulang tahunku," ujar Faith dan Ian mengangguk. Faith kemudian melanjutkan, "apa aku boleh meminta sesuatu sebagai hadiahnya?"
"Apapun yang kau inginkan, Querida."
"Apapun?"
"Ya," senyum Ian semakin lebar ketika mengatakannya. "Apapun. Katakan saja!"
"Bagaimana jika kau katakan kebenarannya sebagai hadiah ulang tahunku?"
Senyum Ian perlahan pudar dan tatapan di matanya yang berbinar menjadi kosong. Seakan Faith telah merenggut hidupnya dalam hitungan detik. Faith bisa merasakan keputusasaan Ian ketika lelaki itu mengendurkan genggamannya di pinggul Faith dan secara perlahan mulai menjauh. Ian tidak bicara dan hanya sanggup menatap Faith dengan gugup. Kedua tangannya berada di belakang pinggul dan lelaki itu kelihatan berusaha keras membuat dirinya terlihat wajar.
"Kau bisa meminta hal lain."
Kekecewaan kembali melintas di mata Faith. Ia menggelengkan kepalanya dengan yakin dan berkata, "yang kuinginkan hanya itu."
"Itu bukan permintaan.”
“Tapi kau bilang apapun?” Faith menegaskan. Dan itu berarti Faith akan memeroleh semua kebenarannya sendiri.
“Maaf aku tidak bisa memenuhinya.”
Faith mengagguk dan hati Ian mencelos.
"Maafkan aku," ujar Ian.
"Aku mengerti."
Ian mencoba mengabaikan situasi mencekam itu dengan menunjuk pada kursi di belakang Faith. "Jika kau berkenan untuk menghabiskan makananmu,,"
Faith segera menarik kursi dan duduk di atasnya. Ia tidak menunggu Ian dan segera meraih sendok untuk mencicipi puding buatan Ian. Ian memerhatikan Faith sebelum menyusul. Dalam benaknya, segala pikiran dan perasaan takut untuk mengecewakan Faith nyaris membunuhnya. Tapi Ian tidak membiarkan semuanya perasaan itu mendominasi dirinya, jadi ia putuskan untuk menghabiskan makanan yang sama.
Malam itu terasa sama seperti malam-malam sebelumnya. Faith tidak banyak bicara dan Ian juga kelihatan bingung untuk memilih topik perbincangan. Kemudian semua berakhir ketika Faith pergi ke dalam ruang pribadinya, meninggalkan Ian yang duduk diam disana, tanpa melakukan apapun selain berusaha memandangi Faith dari jauh dan mengutuki dirinya dalam diam.
Seharusnya Ian mengatakan semua kebenaran itu pada Faith, tapi segalanya terasa sangat sulit untuk diulang kembali dan Ian tidak berniat melakukannya.
***
Pagi, semua terjadi seperti biasanya. Yang membedakan, pagi ini Ian sudah berdiri di depan pintu Faith, ia mengenakan setelan kemeja putih lengkap dan bersiap untuk mengetuk pintu kamar Faith sebelum Faith membukanya lebih dulu.
Kehadiran Ian di depan pintunya membuat Faith hampir melompat saking terkejutnya, namun ia beruntung karena kedua tangan Ian mencengkram lengannya agar tetap berada di tempat. Setelah Faith berhasil mengendalikan dirinya, Ian baru melepas wanita itu dan mulai tersenyum lebar - senyum yang entah bagaimana selalu membuat Faith terpana.
Faith menerihatikan Ian berdiri dengan celana denim dan kemeja putihnya. Beberapa helai rambutnya yang gelap jatuh di atas keningnya dan kulitnya bersih dari cambang. Ketika Ian tersenyum, matanya menjadi semakin cekung dan hidungnya mengerut, namun anehnya hal itu justru menambah sisi maskulin yang tidak mampu dilewati Faith.
"Selamat pagi, Faith."
Faith hanya membalas senyum Ian dengan anggukan lemah. "Selamat pagi, Ian." Matanya beralih pada jam dinding yang mengarah pada pukul sembilan pagi. "Kau tidak pergi ke klinik?"
Ian mengangkat tasnya untuk menunjukkan bahwa ia sudah bersiap untuk pergi, dan Faith memberi anggukan sekali lagi. Ketika pria itu tidak kunjung beranjak dari hadapannya, Faith merasa jengah.
"Ada apa?"
Masalahnya, mata gelap Ian selalu mengunci tatapannya dan Faith merasa terusik karena tidak bisa berpaling dari Ian. Namun, dengan pembawaannya yang santai dan khas, Ian mengatakan, "kau belum memberi jawaban untuk beberapa pertanyaanku terakhir."
Senyum kecil tidak sanggup disembunyikan Faith. Sebagai reaksi, Faith menggeleng dengan yakin. Responsnya membuat Ian merengut dan segera berbalik tanpa harus diminta. Lelaki itu kemudian pergi ke luar mengendarai SUV-nya menuju klinik.
Faith berjalan ke halaman depan beberapa detik setelah kepergian Ian. Yang sanggup dilihatnya hanya cahaya merah kecil sari sorot lampu mobil yang bergerak menjauh. Ia menahan godaan untuk tertawa atas sikap pria itu, namun usahanya gagal.
Pagi ini Faith berencana untuk menghubungi siapapun yang bisa dihubungi agar ia memperoleh infomasi lebih tentang rahasia yang disembunyikan Ian.
Faith telah menghubungi salah seorang temannya dan mereka telah berencana untuk bertemu di kedai dalam waktu dua jam. Sebelum pergi, Faith telah membenahi segalanya kemudian, ia beranjak mengenakan kemeja pitih yanh ditutupi oleh mantel hitam dan levis longgar berwarna gelap miliknya.
Faith pergi menaiki jeep dan tiba di kedai dalam waktu tiga puluh menit. Selagi menunggu, ia memesan dua kopi hangat dan duduk santai memerhatikan jalanan.
Sepuluh menit kemudian seorang wanita dengan postur tinggi mencapai seratus enam puluh delapan, bertubuh sintal, berkulit pucat dan berambut kecokelatan tiba di hadapannya. Wanita itu, seperti yang selalu dikenali Faith, memberinya senyuman lebar dan mendekapnya erat begitu tiba. Dengan setelan gaun bercorak warna pastel dan sepatu berhak tinggi serta tas selempang, mempertegas pribadinya yang hangat dan menyenangkan.
Faith telah mengenal Avery sejak lama. Mereka bertemu disatu sekolah dan satu asrama yang sama. Avery boleh dibilang karibnya. Mereka pernah menghabiskan waktu bersama di Texas ketika perayaan ulang tahun Avery yang ke-19. Setelah lulus kuliah, Avery menjadi lebih sering kembali ke tempat kelahirannya di Texas. Ibu dan ayahnya bercerai karena suatu insiden dan Avery membuat keputusan untuk mengikuti jejak ayahnya di Texas. Meski begitu, sesekali Avery kembali untuk mengunjungi ibunya yang telah hidup bersama pria lain di New York. Namun kali ini berbeda, tujuan Avery kembali bukan hanya untuk itu tapi juga untuk menemui karib yang lama tak dijumpainya. Avery merasa bersalah karena tidak menghadiri perayaan pernikahan Faith dan wanita itu berniat menebusnya dalam perjumpaan mereka kali ini.
Setelah melepas dekapannya, Avery meminta Faith untuk duduk sebelum menyusul di kursi lain dan mulai berceloteh. "Aku mendengar berita pernikahanmu. Maafkan aku tidak bisa hadir. Dan oh, apakah benar kau dijodohkan?"
Mata Avery yang terbeliak sempurna memperlihatkan warnanya yang biru cerah. Wanita itu memiliki dua mata besar yang indah. Faith merunduk dan memberi jawaban.
"Sayangnya begitu."
Wajah Avery kelihatan masam dan kedua alisnya yang panjang saling bertaut. Avery menangkup punggung tangan Faith hingga membuat Faith mengangkat wajah untuk menatapnya.
"Bagaimana dengan Mike?"
Satu sikap yang diketahui Faith tidak pernah berubah dari wanita itu adalah rasa ingin tahunya yang besar. Membicarakan Mike membuat hati Faith terasa pilu, namun ia juga tahu bahwa hal yang mustahil menghindari pertanyaan karibnya.
"Hubungan kami sudah berakhir."
Avery membeliakan matanya kembali dan Faith bisa merasakan cengkraman wanita itu semakin erat di tangannya. "Bagaimana itu bisa terjadi? Kau harus menceritakan semuanya padaku!"
Faith menurut. Avery selalu bisa dipercayai. Sejak dulu, jika Faith merasa butuh seseorang untuk mendengar keluh kesahnya, ia selalu datang pada Avery dan wanita itu juga selalu memberi Faith peluang untuk menenangkan diri hingga merasa lebih baik. Sekarang, Faith berniat menceritakan semuanya pada Avery dan wanita itu selalu menyimak dengan penuh perhatian. Tidak memberi tanggapan atau pertanyaan di tengah penjelasan Faith dan hanya diam memerhatikan.
Begitu sampai di akhir cerita, Faith kembali menatap Avery dan melihat bagaimana wanita itu bereaksi. Avery menyipitkan kedua matanya dan fakta yang tidak bisa dihindari Faith yaitu, bahwa Avery selalu mampu memahami emosi terdalam yang dialaminya. Wanita itu segera membuktikan kemampuannya dengan merespons.
"Kau mencintainya, kan?"
Faith membuka matanya dan berusaha untuk terlihat wajar. "Siapa? Mike?"
"Suamimu.. Siapa namanya?"
"Ian."
"Ya. Ian. Kau mencintainya?"
Faith tidak tahu pasti akan perasaannya terhadap Ian, jadi ia putuskan untuk mengangkat kedua bahunya. "Aku tidak tahu. Hubungan kami biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa."
"Kau juga mengatakan kalau Ian menyembunyikan suatu rahasia darimu."
"Itu yang ingin kubicarakan denganmu. Aku tidak tahu mengapa dia begitu keras kepala untuk menyembunyikan semua faktanya dariku tapi aku berharap tidak ada yang ditutupinya dariku."
"Apa itu sebuah rahasia besar?'
Faith mengangguk. "Kelihatannya begitu karena dia benar-benar tidak ingin bicara."
"Apa yang kau tahu tentang itu?"
"Aku sudah mencoba menyelidikinya secara diam-diam tapi aku belum dapat memastikan apa yang kucari ini benar-benar rahasia yang disembunyikannya dariku." Faith mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Kau tinggal di Texas, kai pasti tahu Akademi Blue Sky?"
Reaksi Avery tampak mengejutkan. Ekspresi di wajahnya mengunjukkan bahwa: merupakan sebuah kesalahan besar jika Faith membicarakan perihal akademi itu.
"Kenapa kau bertanya tentang itu?"
Faith mengangkat kedua bahunya sekali lagi. "Aku hanya penasaran. Ada apa? Kau pasti tahu sesuatu."
Avery mengangguk. "Tidak banyak yang kutahu, tapi akademi itu telah resmi ditutup setelah pihak keamanan lokal di Texas menguak kebenaran pelecehan siswa yang terjadi disana."
"Pelecehan?"
"Ya. Beritanya marak diperbincangkan saat itu. Kau tahu? Lima dari belasan staf yang bekerja terlibat di dalamnya, bahkan termasuk kepala akademi. Aku tidak dapat memastikan kebenarannya, tapi berita mengatakan bahwa di akhir semester belasan siswa yang terpilih akan dikirim untuk mengikuti tur. Akademi itu mengangkut semua anak-anak jalanan yang putus sekolah sehingga memungkinkan kejahatan yang dilakukannya tertutup karena tidak ada pihak orang tua yang terlibat. Namun, tur itu hanya penipuan untuk mengelabui aksi mereka. Para siswa itu dikirim dan dipenjara di tempat p********n. Kebanyakan dari mereka dimanfaatkan oleh orang-orang keji untuk memperoleh keuntungan dengan kekerasa seksual. Hanya sedikit dari beberapa siswa yang berhasil diselamatan ketika terjadi penggerebekan, sementara sebagian yang lain tewas dibunuh oleh para b*****h itu."
Faith terperanjat setelah mendengarnya. Kelopak matanya tidak bergerak dan ia mengalami kesulitan menelan liurnya. Ketika Avery menatapnya, prasangka melintas dalam benak wanita itu.
"Kenapa kau bertanya tentang ini Faith? Apa Ian terlibat disana?"
Faith merasa takut untuk menggerakan bibirnya, namun ia juga tidak bisa berbohong pada karibnya.
"Ya," kata itu diucapkan dengan sangat pelan hingga hampir menyerupai bisikan namun Avery mampu menangkapnya dengan baik.
Avery menegakkan tubuhnya, menghela nafas sebelum kembali mencondongkan tubuh lebih dekat dan meremas lengan Faith untuk memberi penenangan. Avery selalu mengerti situasinya, bahkan ketika Faith sudah tidak sanggup lagi merasakan jemarinya yang mulai kaku, Avery meremasnya dan memberi penenangan.
"Faith, apa yang terjadi?"
Faith tidak menjawab, matanya sudah berkaca-kaca dan tatapannya kosong. Avery mencoba cara lain.
"Kau percaya padaku?"
Baru Faith berani memutar bola matanya untuk menatap Avery secara langsung. Bibirnya serasa bergetar ketika mengatakan. "Seseorang mengatakan padaku kalau Ian menjadi bagian dari pelajar yang terpilih itu."
Sekali lagi mata Avery membeliak sempurna. "Ya Tuhan.."