Pagi hari sekali waktu jarum jam masih menunjukkan pukul 7.15 WIB, Jane sudah memasuki ruangan divisinya. Ini berarti masih 45 menit lagi sebelum jam masuk kantornya, tapi dia sudah menghidupkan komputernya dan mencari file surat pengunduran diri dan langsung mencetaknya lewat printer yang ada di ruangan itu.
Setelah mendapat lembaran surat pengunduran dirinya, Jane kemudian mengisi beberapa hal yang harus diisi secara manual yaitu nama dan jabatan serta tanda tangannya. Dalam waktu 10 menit, surat pengunduran diri itu sudah jadi dan tinggal menunggu approve dari manajernya dan juga wakil direktur ke 3, Pak Handoko yang berwenang mengurusi resign dan masuknya pegawai. Untung saja untuk mengurusi resign seperti ini tidak butuh acc dari direktur utama. Jane bersyukur sekali karena dia tidak harus bertemu dengan Satya. Dia pun sudah menetapkan diri untuk terus menghindar dari pria itu sampai waktunya dia keluar 2 minggu lagi tiba.
Mungkin Jane akan dicap bodoh karena menolak seorang yang bertanggung jawab setelah tidur dengannya. tapi Jane sudah trauma, dia tidak ingin lagi dimanfaatkan untuk menjadi pemuas hasrat laki-laki dalam masalah seks hanya karena dia tidak normal seperti wanita kebanyakan.
Jane mandul.
Hal itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh Tomy, mantan pacarnya yang b******k itu untuk bisa menikmati tubuh Jane tanpa mengkhawatirkan bila suatu saat nanti Jane akan hamil dan Tomy harus bertanggung jawab. Jane tidak pernah mengira bahwa orang yang dia percayai rahasia terbesarnya ini malah justru membuatnya terpuruk dan tidak bisa mempercayai laki-laki lagi.
Dadanya terasa sakit hanya dengan mengingat semua yang dilakukan pria itu padanya selama ini. Dan dia baru mengetahui kenyataan bahwa Tomy tidak tidur dengannya saja, mantan kekasihnya itu bermain api dengan banyak perempuan di belakangnya. Lalu selama dua tahun ini dia sudah dibohongi habis-habisan. Entah apa yang tersisa di dalam hati Jane soal Tomy selain kebencian yang tak terkira besarnya.
"Jane, tumben banget lo udah nongol."
Jane mendongakkan kepalanya dan melihat seorang pria berkepala plontos, salah satu rekan kerjanya di divisi HRD. Doni Azkari nama pria itu.
"Iya nih, Mas Don... gue sekalian mampir tempat lain tadi," sahut Jane pada Doni yang 4 tahun lebih tua darinya.
"Udah sarapan belom? Gue bawa sandwich nih.. istri bawain banyak," tawar Doni pada Jane dengan menunjukkan kotak bekalnya.
Jane pun langsung bangkit dari duduknya dan langsung mengambil satu tangkup sandwich yang terlihat menggugah selera. "Duh.. makasih banget ya, mas Don.. baru kali ini gue kebagian lagi masakan istri lo.. sampein makasih ya ke nyonya Azkari," celoteh Jane begitu dia menikmati satu gigit sandwich buatan istri Doni yang memang sudah dikenal enak oleh seluruh pegawai HRD, karena kerap kali mas Doni menawarkan pada pegawai lain bekal yang dibawanya, dan Jane yang lebih sering datang di waktu mepet sebelum jam kantor mulai pun tidak pernah kebagian.
Satu persatu karyawan HRD mulai datang, begitu juga Miss Cleo yang kemudian masuk ke ruangannya dan Jane langsung mengikuti setelah menghabiskan terlebih dahulu sandwichnya dan menghiraukan pertanyaan penuh keheranan rekan kerjanya yang kain karena dirinya yang tidak biasa berangkat di jam seperti ini.
"Masuk."
Setelah mendengar izin dari Miss Cleo untuk masuk ke ruangan bos langsungnya itu, Jane membuka pintu kaca buram dan melihat miss Cleo sudah duduk di singasananya dan mulai menyalakan komputer.
"Ada apa Jane?" tanya miss Cleo.
"Maaf bu, saya ingin menyerahkan ini." Jane langung meletakkan amplop putih di hadapan Miss Cleo.
"Kamu mau resign?" tanya miss Cleo yang sudah hafal betul dengan isi dari amplop yang diserahkan Jane padanya.
Jane mengangguk, "iya, Miss."
"Kenapa?" tanya Miss Cleo lagi, sebenarnya dia hanya basa-basi menanyakan hal itu. Karena dia juga tidak ingin ikut campur urusan orang lain. Tapi karena Jane adalah stafnya sendiri dan mereka sudah bekerja bersama lumayan lama jadi dia penasaran dengan alasan Jane.
"Saya ingin kembali ke Bali, Miss. Menemani ibu saya disana," jawab Jane.
"Baiklah. Saya juga tidak bisa menahanmu, jadi surat ini saya setujui.. dan dua minggu lagi kamu resmi resign dari perusahaan ini," jelas Miss Cleo.
Jane pun mengangguk paham. "Terima kasih, Miss. Saya pamit bekerja kembali."
Jane keluar dari ruangan Miss Cleo dengan hati yang sedikit terasa lega. Setidaknya ada satu masalah yang sudah teratasi dan dia hanya akan menunggu dua minggu kemudian untuk bisa keluar dari perusahaan ini dan tidak akan bertemu dengan Satya lagi. Tapi ketika dia berniat menuju pantri, dari arah lift keluar seorang yang tidak ingin dia temui.
Jane kemudian menundukkan kepalanya menghindari sorot tajam yang dilemparkan Satya padanya.
"Saya sudah memanggilmu beberapa kali, tapi kamu terus mengabaikannya. Jadi terpaksa saya kemari dan menemuimu langsung," ujar Satya di hadapan Jane yang masih berdiri canggung.
Sial. Batin Jane.
Ternyata bos nya ini bisa senekat ini untuk menemuinya langsung di ruang divisinya. Dan itu akan menjadi masalah besar jika karyawan lain tahu, karena meskipun ini masalah pekerjaan, dalam struktur perusahaan Jane tidak ada sangkut pautnya dengan Satya, karena semua pekerjaan Jane diserahkan pada miss Cleo bukan pada Satya langsung. Jelas alasan itu tidak mungkin digunakan untuk berkilah.
"Maaf, pak. Saya hanya sedang melakukan tugas saya sebagai karyawan," kata Jane setelah berpikir dan menggunakan alasan sibuk bekerja.
Satya mengamati Jane dari tempatnya berdiri. "Saya yang menyuruhmu, jadi sekali pun kamu memiliki tugas segunung, kamu harusnya mendahulukan perintah atasanmu," kata Satya mulai menggunakan kuasanya.
Jane hampir saja ingin memutar bola matanya, untung saja belum dan dia tidak ingin dipecat secara tidak hormat dimana seharusnya dia masih bisa resign.
"Tapi apa yang akan bapak bicarakan itu menyangkut masalah pribadi, bukan masalah pekerjaan." Entah keberanian dari mana Jane berkata seperti tadi. Dia merutuki bibirnya yang terlalu lancang.
Satya tersenyum miring. "Memang kamu sudah tahu apa yang saya bicarakan nantinya, nona Jane? Dan kamu sudah berani menentang atasanmu ini?"
Jane meringis. Benar, dia harusnya tidak menghindar, tapi dia juga bisa membaca bahwa memang Satya ingin membicarakan masalah ONS yang mereka lakukan beberapa waktu lalu.
"Ikut saya. Sebelum karyawan lain melihat saya berdiri bersamamu di sini." Satya langsung melangkah kembali masuk ke dalam lift sembari menempelkan ponsel ke telinganya menghubungi seseorang.
Jane mengekori Satya dan ikut masuk ke dalam lift. Kemudian dia tahu siapa yang dihubungi oleh bos besarnya ini, Miss Cleo. Satya berkata ingin meminjam Jane sebentar untuk diskusi soal peraturan perusahaan dan itu diiyakan saja oleh Miss Cleo. Ingin sekali dia berteriak karena Satya menggunakan kekuasaannya untuk memonopoli semua ini.
Baiklah, gue akan segera menyelesaikan semua ini dan pulang ke Bali dengan tenang.
Tapi kemudian tekadnya surut begitu masuk ke dalam ruang kerja Satya yang baru pernah dia jejaki selama bekerja sebagai karyawan pria itu. Dia merasa terintimidasi ketika memasuki ruangan dengan desain warna gelap yang kental seperti coklat, abu-abu, hitam, navy dan hanya ada sedikit warna putih sebagai warna paling terang di ruangan ini. Dan Satya mempersilahkan Jane duduk di sofa yang bisa diduduki oleh 2 orang sedangkan Satya duduk di sofa single dengan posisi 90 derajat dari Jane.
Jane meneguk ludahnya merasa gelisah. Dia duduk dengan tidak tenang karena tatapan Satya yang tidak berubah sejak tadi. Seolah men-scan seluruh tubuh Jane bak barcode pada kemasan makanan.
"Jadi.. jadi apa yang akan bapak bicarakan?" tanya Jane akhirnya setelah mengumpulkan suara dan keberaniannya.
Satya masih menatap Jane intens. "Saya tidak mengerti kenapa kamu tidak ingin saya bertanggung jawab atas kejadian malam itu. Jelas saya tidak menggunakan pengaman dan mungkin akan ada akibat dari semua itu," kata Satya mengutarakan isi pikirannya mengenai Jane.
Jane mendesah gusar. Benar kan? Satya pasti akan membicarakan hal ini. Setelah menarik nafas untuk menenangkan diri, Jane mendongak menatap Satya.
"Karena saya yakin tidak perlu pertanggungjawaban. Dan yang bapak khawatirkan bahwa akan ada akibat dari kejadian malam itu tidak akan pernah ada," ujar Jane tenang dan tegas.
Alis Satya terkenyit. Dia tidak mengerti dengan maksud Jane. "Dari mana kamu tahu bahwa kamu tidak akan hamil? Kamu ingat.. saya tidak menggunakan pengaman dan jelas semua pria lebih menyukai benih mereka masuk ke dalam tempat yang memang seharusnya."
Kini giliran alis Jane yang terkenyit. To much information. Batinnnya.
Dia tidak mengerti kenapa dia justru membicarakan hal seperti ini dengan bosnya. Tidak pernah ada dibayangannya bahwa dia akan duduk di ruangan kerja Satya dan membicarakan hal yang sangat mustahil antara karyawan dan atasan. Karena ketika Jane masuk kerja di perusahaan ini Satya sudah menikah, semua perempuan yang berharap punya kisah cinta bersama bos yang tampan dan kaya pun kandas. Dan Jane pun saat itu sudah bersama dengan Tomy yang ternyata sangat b******k!
Jane mendengus mengingat soal Tomy yang menghancurkan hatinya.
"Apa alasanmu nona Jane? Bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa kamu tidak akan hamil—"
"Karena saya memang tidak bisa hamil," potong Jane dengan tegas, sepertinya memang dia harus segera memberitahukan ini pada Satya sehingga pria ini tidak akan merong-rongnya lagi untuk menawarkan pertanggung jawaban yang sama sekali tidak Jane butuhkan.
Satya terdiam ditempatnya mendengar apa yang baru saja Jane katakan. Dia menegakan posisi duduknya. Rasa tidak enak menyerbunya. Dia merasa bersalah karena harus mendengar hal yang mungkin sangat tidak nyaman untuk dibagi kepada orang lain.
"Maaf—"
"Tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti niat baik Bapak yang ingin mempertanggung jawabkan apa yang terjadi malam itu. Tapi sayangnya saya tidak membutuhkannya, karena setelah malam itu tidak akan ada akibat yang akan timbul. Jadi bapak tenang saja," sela Jane lagi sebelum Satya meminta maaf.
Satya menghela nafasnya, dia masih merasa bersalah karena sudah mendengar soal 'kemandulan' Jane. "Tetap saja saya harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah saya lakukan. Saya tidak ingin menjadi laki-laki b******k karena sudah melakukan hal buruk tanpa memperbaikinya."
Jane tersenyum mendengar perkataan Satya yang terdengar tulus. "Terima kasih. Tapi sepertinya bapak bisa mempertanggungjawabkan malam itu dengan cara lain.. jika bapak tidak keberatan."
"Apa itu?" tanya Satya penasaran.
///
Jane tiba di pintu kedatangan domestik bandara Ngurah Rai, Bali. Jane tersenyum begitu dia merasakan udara yang sudah beberapa bulan tidak dihirupnya. Udara Bali, dia merindukannya. Dan begitu matanya bertemu dengan sorot mata penuh rindu dari seorang yang sangat dia rindukan juga, Jane langsung menghambur dalam pelukan pemilik mata itu.
"Mama!" pekik Jane lalu memeluk mamanya dengan erat.
"Selamat datang di Bali, Sayang...," sambut mamanya.
Sebenarnya Jane tidak pernah lupa untuk pulang ke Bali, tapi karena sekarang ini adalah kepulangannya yang benar-benar pulang, maka secara khusus mama Jane yang menjemputnya di bandara bersama supir sang mama dan asisten rumah tangga yang sudah tinggal bersama keluarganya sejak Jane bayi.
"Selamat datang non Jane.. mbok seneng akhirnya non Jane pulang," kata mbok Darmi menatap penuh haru kedatangan Jane.
"Tentu mbok.. aku udah rindu banget sama Bali, sama Mama, sama mbok Darmi, sama bli Wayan juga." Kata Jane menyebut satu-satu yang dia rindukan selama tinggal di Jakarta.
"Ya sudah, ayo kita pulang.. Mama dan Mbok Darmi sudah masak banyak makanan kesukaan kamu, sayang.."
"Ayo!"
Jane tiba di rumahnya. Tempat tinggal dengan nuansa tradisional Bali. Masih sangat kental dengan berbagai seni Bali yang melekat disetiap sudut rumah. Jane langsung merasa hatinya tenang dan tentram begitu tiba di rumahnya.
Ini dia yang dia inginkan. ternyata setelah lama melalang buana di Jakarta, dia tetap saja merasa bahwa Bali adalah rumahnya yang sebenarnya. Dia masuk ke dalam kamar yang sudah dibersihkan dan diberi pewangi kesukaan Jane oleh mbok Darmi. Semua orang di rumah ini menyambut dengan suka cita kepulangan Jane dan bahkan sangat menantikannya untuk menyegerakannya.
Dan memang Jane bisa pulang 1 minggu lebih cepat dari rencananya. Dia meminta hal itu pada Satya selaku bos besarnya saat mereka tengah membicarakan soal malam yang pernah mereka lewati bersama. Karena harusnya 2 minggu Jane baru bisa angkat kaki dari perusahaan itu namun karena negosiasi itu Satya mengijinkannya dan bahkan menambahkan pesangon yang amat sangat banyak untuk seukuran karyawan biasa seperti Jane.
Pria itu berkata bahwa dia harus melakukan ini dari pada dia akan terus kepikiran dan merasa bersalah telah melakukan hal yang buruk.
Dan akhirnya Jane menerimanya. Baiklah, dia juga suatu saat nanti akan membutuhkan uang itu, entah untuk membuka usaha atau hal lainnya. Dia masih memikirkan kelanjutan hidupnya selama di Bali ini. Yang jelas, dia akan membuka lembaran hidup baru. Dan menjadikan detik dimana dia memasuki pesawat menuju Bali sampai waktu dimana dia dilahirkan ke dunia sebagai pembelajaran dan juga kenangan. Dia akan sesekali menoleh tapi tidak akan berbalik untuk melangkah kembali kesana. Dia akan menjadi Jane yang baru.
///
3 tahun kemudian
"Mamama! Mamamaa...."
Jane meringis ketika dia melihat anaknya yang berada digendongan mamanya menangis karena harus dia tinggal bekerja. Biasanya tidak seperti ini, tapi karena anaknya itu sedang sakit demam jadi sedikit rewel. Dia pun kembali meraih anaknya, Panji dalam gendonganya. Menepuk-nepuk punggung mungil anaknya yang perlahan mampu menghentikan tangis anaknya yang tadi histeris. Jika begini dia tidak tega meninggalkan Panji.
"Izin aja.. Marsha juga pasti mengizinkan kamu nggak bekerja hari ini, Jane...," kata mama Jane melihat cucunya yang sepertinya tidak bisa ditinggal di rumah bersamanya seperti biasa.
"Aku nggak enak, Ma.. karena di kantor lagi banyak yang harus dikerjain." Jane masih menepuk-nepuk punggung anaknya yang kemudian mulai terlihat mengantuk karena sepertinya lelah menangis. "Panji mulai tidur, Ma."
Mama Jane pun mendekat dan melihat cucunya yang sudah memejamkan mata. "Jadi apa kamu tetap mau berangkat kerja?"
"Mm.. kayaknya aku minta izin setengah hari aja deh, Ma.. nanti kita bawa Panji ke dokter setelah aku pulang kerja."
Mama Jane mengangguk menyetujui dan membawa Panji ke gendongannya kembali. Jane mencium pipi mamanya dan pamit pergi dengan mengendarai mobilnya keluar dari kawasan rumahnya yang berada di sebuah perumahan.
Sampai di kantornya yang bernama Marsha Wedding Organizer, Jane masuk dengan tergesa dan melihat orang-orang sudah stay di tempat kerja masing-masing. Dia merasa tidak enak karena harus terlambat bekerja seperti ini.
"Mbak Marsha.. maaf aku telat, ya...," sesal Jane pada seorang yang dia temui ketika dia melewati ruang staf.
Wanita yang dipanggil Jane Marsha itu pun hanya tersenyum maklum karena Jane juga sudah memberitahukan keterlambatannya tadi pagi sekali karena alasan anaknya yang sedang sakit.
"Santai aja, Jane.. aku juga kan udah bilang kamu bisa izin.. anak kamu itu lho dia kan lagi sakit," kata Marsha pemilik WO tempat Jane bekerja.
Jane menggaruk kepalanya merasa tidak enak. "Lagi sibuk mba.. kalo aku ikutan izin pasti bakal berkurang tenaganya."
"Udahlah... kamu kalo gitu masuk setengah hari aja, ya...," kata Marsha yang ingin Jane mengambil izinnya.
Jane pun mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Dia pun lantas duduk di tempat kerjanya dan melihat beberapa hal di meja kerjanya yang harus segera di input ke dalam data milik Marsha WO. Dia yang dulu seorang wanita karir bekerja di perusahaan yang menurut banyak orang berkelas membanting setir untuk bekerja di bidang yang mulanya sama sekali tidak membuatnya tertarik. Namun ketika dia bertemu Marsha yang sedang memilih bunga di sebuah toko bunga langganannya dan mamanya, mereka berkenalan dan berteman baik hingga Marsha mengenalkan pekerjaannya dan menawari Jane untuk bergabung. Mulanya Jane ragu namun kemudian sedikit demi sedikit dia tertarik untuk memasuki dunia kerja yang sangat berbeda dengan pasionnya dulu.
Lagi pula ada alasan lain dia ingin bekerja dalam bidang yang mengurusi segala t***k bengek tentang pernikahan. Hal yang menjadi tabu untuk Jane karena kondisinya. Melihat wajah bahagia, antusias, dan gugup dari calon pengantin dan keluarganya tiap dia mengurusi pernikahan seseorang, membuat Jane ikut larut dalam emosi itu dan membayangkan bahwa dirinya suatu saat nanti juga bisa mengalami hal demikian juga.
Tapi sepertinya bayangan itu harus dikubur dalam-dalam. Kondisinya saat ini tidak memungkinkan dirinya untuk bisa dan pantas mengalami fase ini.
Namun Jane benar-benar menyukai pekerjaannya ini. Dia yang dulu sangat kaku dengan apa pun yang berbau seni, sekarang dia seperti keranjingan dengan apa pun yang berbau seni dan otaknya. Seolah tak pernah kehabisan ide untuk membantu calon pengantin mewujudkan pernikahan impian mereka. Maka dari itu Marsha selaku pemilik WO ini sangat menyayangi Jane karena kerja keras wanita itu sehingga ikut mendorong kemajuan WO-nya ini. Meskipun sudah tersebar di 3 daerah cabang Marsha WO masih belum terlalu dikenal dibanding WO lain. Namun kedatangan Jane 2 tahun lalu membuat WO-nya yang pusatnya berada di Bali ini semakin maju. Dia sangat menghargai kerja keras Jane sehingga menempatkan posisi Jane sebagai orang kepercayaannya selain sekertarisnya Devi.
Pukul 1 siang Jane sudah berada di rumahnya lagi dan dia langsung disambut mamanya yang membawa Panji dalam gendongannya yang menangis dan semakin keras tangisannya begitu melihat sosok Jane yang tengah mencuci tangan di pancuran dekat pintu masuk rumah. Jane pun terburu-buru meraih Panji dalam gedongannya, tidak tega melihat Panji yang sudah memerah wajahnya karena pasti sudah lama menangis.
"Dia nggak mau makan.. dari tadi nangis terus.. mama nggak tega, Jane.. ayo kita langsung berangkat aja periksa."
Jane mengangguk dan memberikan kunci mobilnya pada bli Wayan untuk mengantar mereka menuju klinik anak terdekat dari rumah mereka. Di dalam mobil Jane tidak berhasil menenangkan Panji, anaknya yang berusia 2 tahun ini masih menangis walau tidak sekeras tadi. selain itu Panji juga bergerak gelisah dalam gendongannya membuat Jane kelimpungan. Sang mama yang duduk di sebelahnya juga ikut khawatir melihat keadaan Panji.
Sampai di sebuah klinik yang untungnya sedang sepi, Jane langsung masuk dan menemui dokter perempuan yang langsung mengarahkan Jane untuk membawa Panji ke arah ranjang periksa. Tentu saja Panji tidak mau dan memberontak dalam tangisnya membuat Jane harus berusaha ekstra untuk memegangi Panji ketika sedang diperiksa.
"Tidak apa-apa.. Panji hanya sedang mengalami fase pertumbuhan gigi dan kali ini gigi gerahamnya yang sedang tumbuh sehingga butuh waktu dan kebanyakan anak-anak akan demam karenanya," jelas dokter pada Jane yang langsung menghembuskan nafas lega begitu juga mamanya.
Setelah pemeriksaan itu Jane pulang dengan Panji yang sudah tertidur. Dia pun segera membawa putranya itu ke kamarnya dan membasuh ikut merebahkan diri ketika Panji menggeliat dan merengek akan menangis. Dia akan menemani sebentar hingga Panji benar-benar terlelap dan dia akan segera membersihkan diri.
Namun setelah Panji terlelap, Jane masih berbaring di samping Panji. Dia menatap wajah anaknya itu dengan saksama melihat rupa anaknya yang mirip dengan seorang yang menyumbangkan benihnya ke dalam rahim Jane. sehingga lahirlah Panji 9 bulan kemudian dengan persalinan caesar karena posisi Panji saat itu sedikit susah, tapi pembukaan Jane sudah genap sehingga tim dokter memilih jalan operasi untuk mengeluarkan Panji.
Disaat seperti ini, pikiran Jane kadang menerawang kembali pada 3 tahun yang lalu di mana dia bertemu dengan ayah dari anaknya ini. Seorang yang tidak pernah dia duga akan menjadi ayah dari anaknya. Mereka hanya melakukannya satu kali namun langsung ada hasilnya. Dan Jane yang saat itu mengetahui bahwa dirinya mandul amat sangat terkejut ketika dirinya terus memuntahkan apa saja yang dimakannya, dan itu membuat mamanya curiga dan lantas membelikan test pack pada Jane dan saat itulah langit seperti runtuh diatas kepalanya. Dua garis yang nampak di test pack itu menjawab semuanya.
Mama Jane tidak tahu bahwa Jane mandul. Jane menyembunyikan fakta tersebut dari mamanya karena tidak ingin membuat beliau khawatir. Namun justru kini dirinya membuat kepala mamanya hampir pecah, karena fakta bahwa dia hamil dan Jane yang tidak mau memberitahu siapa pria yang harusnya bertanggung jawab atas kehamilan Jane.
Usia yang ditunjukkan oleh dokter melalui proses USG kala itu adalah 3 minggu. Dan jelas dari situ Jane tahu siapa ayah dari calon bayinya. Karena sudah hampir dua bulan dia tidak berhubungan intim dengan Tomy maka kemudian dia yakin Satya adalah ayah dari calon bayinya. Karena usia calon bayinya dan waktu mereka melakukan ONS sama dan cocok. Jane merasa dilema, apakah dia akan mempertahankan bayi itu atau tidak, dan apakah dia harus memberitahukan kehamilannya ini pada Satya atau tidak.
Tapi kemudian setelah dia puas menangis dan mengurung diri di dalam kamar seharian. Jane mendapatkan jawaban bahwa dia harus mempertahankan bayi itu sebagai suatu keajaiban yang dia dapatkan setelah dia dinyatakan mandul oleh dokter dan juga memutuskan untuk tidak memberitahukannya pada Satya karena dia sudah mengatakan pada pria itu bahwa pria itu tidak perlu bertanggungjawab, maka Jane akan memegang kata-katanya meski membuat mamanya marah.
///
"Mau makan apa, Sayang?" tanya Satya pada seorang bocah kecil dengan rambut di kuncir dua yang duduk di kursi sebelahnya.
"Mau makan bakso boleh, pa?" tanya bocah itu dengan wajah berbinar.
Satya yang gemas melihat wajah bocah itu langsung meraup tubuh bocah itu untuk duduk di pangkuannya. "Baiklah... apa pun untuk princess Jasmine.. tapi tidak boleh pakai saus dan harus dihabiskan, ya?"
Jasmine pun mengangguki nasihat papanya dan mengulurkan jari kelingkingnya pada papanya. "Pingky promise...."
Dan Satya dengan terkekeh menyambut tingkah anaknya itu. "Pingky promise." Dan mencium pipi bulat anaknya dengan gemas sampai anaknya tertawa-tawa.
Tawa yang hanya bisa diciptakan oleh seorang Jasmine di wajah Satya, karena setelah Prita, istrinya pergi meninggalkanya selama-lamanya semua binar kebahagiaan seolah ikut terenggut juga. Pria itu menjadi dingin dan pendiam dan hanya berlaku hangat di depan putri satu-satunya dia dan Prita, Jasmine.
Hari-harinya hanya dipenuhi oleh kerja, kerja dan kerja tanpa kenal waktu tapi ketika putrinya meminta sesuatu, Satya akan melupakan semuanya karena saat ini tujuan hidupnya adalah membahagiakan putrinya dan menyiapkan masa depan yang sangat indah untuk putri kecilnya ini. Dia akan mewujudkan apa yang disampaikan istrinya dalam surat yang ditulis Prita. Dia akan mewujudkannya dengan sekuat tenaga.
Namun ternyata semua itu membuat keluarganya khawatir dengan keadaan Satya yang tidak pernah mau lagi membuka hati untuk wanita manapun. Mama Prita sudah sering menyarankan Satya untuk mencari seorang wanita yang pantas untuknya dan menyayangi Jasmine. Namun Satya selalu menolak dengan halus dan mengatakan bahwa kebahagiaan Jasmine adalah yang terpenting untuk saat ini sebagai alasan penolakan itu. Maka para tetua pun akhirnya menyerah dan menunggu waktu dimana Satya pasti akan membuka diri dan kembali menjadi Satya yang mereka kenal sebelumnya.
.
.
///