one : Jane, perempuan yang disakiti
Seorang wanita berjalan melewati lorong di sebuah gedung apartemen. Wanita itu tersenyum semringah dan tangannya kini dengan hati-hati membawa satu kardus berisi kue dengan hiasan angka 2.
Dia sudah ke salon dan berdandan secantik mungkin dengan dress kesukaan kekasihnya. Hari ini adalah hari spesial untuk mereka berdua, karena dua tahun sudah menjalin hubungan. Nama wanita itu Jane Saraswatika Immanuel. Seorang wanita keturunan Inggris dan Bali yang menetap di kota Jakarta sebagai seorang perantauan.
Kini dia sampai di depan sebuah pintu bernomor 302, senyumnya masih merekah. Dia sudah semangat sekali menyambut hari ini dan sudah tidak sabar memberi kejutan untuk kekasihnya yang dia cueki beberapa hari ini. Bukan karena dia ingin menjahili pria itu, namun juga karena kesibukannya dalam hal pekerjaan yang cukup menyita waktu.
Jari-jarinya menyentuh angka-angka yang ada di samping pintu itu. Lalu setelah dia menekan simbol bintang, kemudian pintu itu terbuka dengan bunyi yang menandakan kuncinya terverifikasi. Jane masuk ke dalam apartemen tersebut, dia merasa was-was karena bisa saja kekasihnya mendengar bunyi pintu yang terbuka. Kemudian dia menutup pintu apartemen dengan cara pelan-pelan.
Setelah pintu itu tertutup dengan benar, Jane melangkah dengan kaki menjinjit untuk meredam suara langkah kakinya. Hatinya berdegup kencang juga merasa sangat antusias untuk segera melaksanakan kejutannya ini.
Namun dia sedikit heran dengan keadaan apartemen yang sepi meski lampunya menyala terang. Jane pun mencoba melangkah masuk lebih jauh ke dalam tempat tinggal kekasihnya itu, masih dengan langkah pelan. Namun ketika Jane melintasi ruang tengah yang letaknya berhadapan dengan kamar kekasihnya, Jane menghentikan langkah kakinya saat mendengar sebuah suara.
"Aw! Pelan-pelan, Honey...."
Jane terpaku mendengar suara seorang wanita yang memekik. Dia berdiri terdiam di tempatnya, sebab takut salah mendengar. Tapi dua telinganya jelas-jelas bisa menangkap suara itu. Dan Jane dibuat semakin membeku ketika sebuah suara didengarnya lagi.
"Aku sudah nggak sabar, Sayang."
Tanpa sadar box berisi kue yang dibuat oleh Jane sendiri jatuh dari genggaman wanita itu, meluncur ke atas lantai dan membuat tutup box itu terlepas. Kini kuenya langsung menghantam lantai lalu hancur. Jane tak memedulikan itu, dia lantas melangkahkan lagi kakinya untuk memastikan suara-suara yang membuat degup jantungnya meningkat.
Jane berdiri di depan pintu kamar kekasihnya. Pintu itu tertutup, dan dari jarak ini Jane bisa mendengar suara desahan seorang wanita. Tangan Jane bergetar ketika menyentuh kenop pintu, bukan karena dia takut tapi karena emosi yang kini merasuki dirinya.
CKLEK
Pintu itu terbuka oleh tangan Jane, lalu netra Jane dapat menangkap pemandangan yang tidak pernah dia bayangkan akan dia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Di sana, di sebuah ranjang ada sepasang pria dan wanita yang dia kenali itu adalah kekasihnya, namun si wanitanya entah siapa. Sama-sama dalam keadaan telanjang dan kekasihnya itu mendindih tubuh wanita itu.
Mata Jane sudah berkaca-kaca melihatnya. Hatinya hancur melihat kekasih yang dia percayai justru tengah bermain api di belakangnya dengan wanita lain.
"Ja-jane...."
Jane masih terpaku di tempatnya, ketika si pria dan wanita yang tadi mendengar suara pintu terbuka langsung saling menjauh dan menutupi tubuh mereka. Si pria yang menjadi kekasih Jane lantas dengan buru-buru meraih celana pendeknya dan menghampiri Jane yang masih berdiri di ambang pintu.
"JANGAN MENDEKAT!" teriak Jane. Terdengar emosi di dalam suaranya.
"Jane... aku bisa menjelaskan ini—"
"Aku nggak butuh penjelasanmu, b******k!" potong Jane tajam.
Jane menatap pria yang berstatus pacarnya ini, dia bergerak mendekat ke arah pria itu dan melayangkan sebuah tamparan yang keras pada pipi pria itu hingga si pria mundur kebelakang.
PLAKK
"Tomy!" pekik wanita yang Jane pergoki tengah bergumul dengan kekasihnya ini.
"KITA PUTUS!"
Setelah mengatakan itu Jane langsung berjalan tergesa untuk keluar dari appartemen Tomy, kekasihnya. Namun ketika dia hendak keluar Tomy masih bisa mengerjarnya dan mencekal lengannya membuat dia berhenti.
"Nggak! Kita nggak bisa putus kayak gini!" ujar Tomy, menolak keputusan Jane.
Jane menepis cekalan tangan Tomy dan mundur selangkah. "Terserah apa mau kamu, tapi aku nggak mau punya hubungan sama b******n kaya kamu, Tomy Alfian."
Lalu Jane berlari dari apartemen itu tanpa bisa Tomy kejar karena dia hanya memakai celana pendek dan bertelanjang d**a.
Ketika masuk ke dalam lift, air mata yang Jane tahan sedari tadi akhirnya tumpah juga. Dia memegangi dadanya yang terasa sakit. Air matanya terus berderai tak mau berhenti bahkan ketika dia sudah keluar dari lift, dia kemudian masuk ke dalam mobilnya. Jane melajukan mobilnya keluar dari gedung apartemen yang mulai detik ini tidak akan pernah dia singgahi lagi. Tidak akan.
.
///
.
Di sebuah ruangan yang bernuansa putih dengan beberapa alat penopang sebuah kehidupan, seorang pria tengah memegangi tangan istrinya yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit. Pria itu tak beranjak sedikit pun dari kursi di sebelah ranjang istrinya, dia masih terus berharap bahwa akan ada keajaiban yang mampu membuat istri tercintanya itu bangun dan kembali seperti dulu, untuk mendampinginya hingga mereka tua dan maut yang memisahkan.
Di belakang pria itu ada dokter dan kedua belah keluarga yang tak tega melihat Satya, pria itu yang bersikeras menolak untuk mencabut alat-alat yang selama sebulan ini tetap membuat Prita, istri dari Satya tetap bernafas.
Prita yang diagnosa mengidap kanker p******a sudah berusaha semaksimal mungkin melawannya sejak 4 tahun yang lalu. Mulanya pengobatan yang dilakukan berhasil dengan membuang jaringan kanker yang berada di sebelah kiri p******a Prita. Sehingga wanita itu hanya memiliki 1 p******a yaitu sebelah kanan dan untung saja putrinya dan Satya sudah tidak menyusui lagi, jadi Prita tidak merasa berat untuk melakukan tindakan operasi itu.
Namun satu tahun yang lalu, Prita harus kembali melakukan kemoterapi pada satu payudaranya yang tersisa. Baik dokter dan Prita serta Satya, tidak mengira bahwa ternyata kanker p******a itu sudah menyebar sekalipun sudah diangkat. Prita tidak menyalahkan dokter yang pernah memberitahunya sembuh dari pernyakit mematikan itu, karena manusia memang tidak bisa melawan takdir yang diberikan.
Tapi kali ini keadaan Prita berbeda dari 3 tahun lalu dia menjalani kemoterapi. Tubuhnya semakin lemah, dia sudah botak, bahkan menjadi kurus kering. Satya, suaminya sudah merasa sangat sedih melihat penderitaan yang dialami istrinya. Dia sebagai suami tidak bisa berbuat apa pun demi bisa menyembuhkan rasa sakit yang selalu dirasakan istrinya itu. Satya merasa tidak berguna sama sekali sebagai seorang pria.
Hari demi hari, bulan demi bulan, waktu terus bergulir di tengah Prita berjuang melawan penyakit mematikan yang dia derita. Satya juga terus mendampingi dan menemani istrinya itu dengan sabar. Dia terus berharap bahwa akan ada keajaiban atas semua usaha dan perjuangan yang dilakukan istrinya itu akan berbuah hasil. Dia ingin Prita kembali ke sisinya lagi, bermain bersama putri mereka yang saat ini masih kecil dan butuh Prita sebagai ibunya, kemudian dirinya pun butuh Prita untuk terus membuatnya bisa menjalani hidup dengan baik.
Maka ketika keluarga Prita memintanya untuk melepas alat bantu yang sudah membuat Prita tetap bernafas, Satya marah besar. Karena itu sama saja membunuh Prita karena dia yakin istrinya masih ingin hidup. Walau sebenarnya Prita sudah berpamitan melalui surat yang dituliskan istrinya itu, surat itu dititipkan melalui ibu dari Prita untuk Satya bila waktu dimana keadaan Prita tidak memungkinkan untuk berpamitan sendiri pada Satya.
Tapi suami mana yang bisa dan rela melepaskan alat bantu itu di tubuh wanita yang dia cintai?
Satya tidak bisa.
"Satya... sudah lah, Nak... Ibu dan Bapak juga sudah rela melepas Prita. Meskipun ini sangat berat karena Prita anak kami satu-satunya... kami harus merelakan dia." Sonya, ibu Prita kembali memberikan bujukan pada Satya. "Biarkan Prita hidup damai, tidak lagi merasakan sakit yang selama ini dia rasakan.. Ibu mohon...."
"Prita...." Lalu terdengar suara tangis dari Satya yang menyayat hati siapa pun yang ada di sana. "Prita...." Satya masih menangis dan menggumamkan nama istrinya itu.
.
///
Purwokerto, 13 Agustus 2018
Instagram: gorjesso
.
.