Mau, Om

1164 Words
Sementara itu di depan... Said berdiri tegap dari balik kaca lebar yang berada di atas lantai dua rumahnya. Sambil meletakkan dua tangannya di saku celananya, dia memandang nanar rumah Guntur. Perasaan bersalahnya memuncak sejak menerima balasan pesan dari Ayu. Ternyata tidak mudah baginya mendekati Ayu. Pikirannya seakan buntu. Harus dengan jalan apa lagi untuk mendekati Ayu. Selama ini Said merasa hampir semua perempuan yang mengenal atau pernah berjumpa dengannya akan menunjukkan rasa kagum yang luar biasa terhadap dirinya. Bahkan tidak sedikit yang menyatakan bersedia dimilikinya, meski tahu dia sudah beristri. Ayu beda, dia tidak mudah dijangkau. Senyumnya pun susah didapat. Said menghela napas panjang yang disertai kekecewaan. Sepertinya sabar adalah jalan terakhir yang harus dia lewati. *** Rema resah. Sudah lama tidak mendengar kabar dari Said. Kesibukannya di yayasan cukup menyita pikirannya sehingga dia lupa menanyakan kabar dan keadaan anaknya yang kedua ini. Sejak Said bercerai, sebagai ibu tentu perasaan Rema gaduh. Maklum saja, dua anaknya yang lain sangat berbahagia dengan pernikahan mereka masing-masing. Sarah yang sedang menemani suaminya di Karthoum kini tengah tengah diliputi kebahagiaan. Sarah sedang mengandung anak pertama. Saif pun demikian, semakin hari semakin banyak tawaran menjadi konsultan pendidikan di mana-mana, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Istrinya juga sangat pandai mengurus rumah tangga, ditambah seorang anak laki-laki yang sehat dan pintar. Sementara Said baru saja bercerai. Rema tentu iba dengan nasib pernikahan putranya yang satu ini. Rema yang baru saja menunaikan sholat Asar, tiba-tiba mengingat Ayu dan mamanya yang dia jumpa di pasar ikan. Dahinya bertaut memikirkan kejanggalan hubungan keduanya, anak dan ibu. "Perasaan mamanya Ayu itu muda banget. Kayaknya ada yang salah ini," gumam Rema. Lalu bergegas meraih ponselnya. "Iya, Bu?" suara Rasti terdengar diujung sana. "Kiriman dari Palembang sudah nyampe di sana, Ti?" tanya Rema. "Sudah, Bu. Baru aja nyampe. Gede banget, Bu. Isinya apa saja sih? Udah boleh dibuka belum?" "Bentar. Saya mau tanya kabarnya Said. Gimana dia?" "Hm..." Rasti seperti ragu menjawab pertanyaan Rema. "Lo? Saya tanya kok hm hm?" "Oh. Iya, Bu. Bapak Said sehat. Cuma itu ya … agak diam minggu-minggu ini. Minggu kemarin baru aja pulang dari Manila. Katanya diajak atasannya. Cuma tiga hari," jelas Rasti. "Ti. Saya mau tanya tentang Ayu. Kamu pasti tau kan ya?" "Iya, Bu." "Itu yang nemenin Ayu beneran ibunya Ayu? Kok muda banget ya? masih kayak umur belasan tahun masa sudah punya anak lima belas tahun. Gimana bisa?" "Oh, Nayra itu mama sambungnya Non Ayu. Papanya Ayu menikah kedua kali dengan Nayra setelah bertahun-tahun menduda. Hm, delapan tahun sendirian, Bu. Wes, pokoknya seru kisah asmara mereka berdua. Nggak habis-habis seharian kalo di.…" "Sik, Rasti. Stop dulu," "Iya, Bu?" "Nayra ini asalnya dari mana?" "Oh, lahir di Bogor, Bu. Trus pindah kemari," "Sunda?" "Kayaknya bukan. Wong emaknya arek Suroboyo. Kayak aku." "Trus Mama kandung Ayu?" "Kalo nggak salah Sunda. Pandeglang kampungnya," Deg. Rema terhenyak. Jangan-jangan gadis yang ditaksir Said ini adalah Ayu. Jawa Sunda, Ma. Papanya Jawa, mamanya Sunda. Tapi orangtuanya bercerai. Papanya menikah lagi, dan dia tinggal bersama papa dan Mama tiri. Kata-kata Said ini kembali terngiang-ngiang di telinga Rema. Sepertinya Ayu adalah gadis yang ditaksir Said. Pantas Said sama sekali tidak keberatan menerima saran darinya untuk mendekati Ayu. Duh, tapi dari keluarga bercerai? Rema mulai khawatir. Tapi seketika dia juga mulai menyadari posisi anaknya yang juga bercerai. "Rasti. Nanti malam kalo Said pulang ke rumah. Kamu suruh dia hubungi saya ya?" "Oh. Oke, Bu." "Tunggu, Rasti. Kamu sendiri gimana? Apa kamu udah usaha deketin Ayu sama Said?" Terdengar helaan kecewa dari Rasti. "Nah itu masalahnya, Bu. Sebelumnya Pak Said ngelarang saya ngelapor ke ibu tentang perasaan sukanya ke Ayu. Saya nggak tau alasannya apa. Terakhir itu, Pak Said malah ngelarang saya nyebut nama dia di depan Ayu. Saya nggak ngerti. Karena memang saya yang bertugas mendekatkan mereka berdua. Trus setelahnya, ya Pak Said banyak diam, tapi semakin sibuk kerja.…" "Ooo." "Maaf, Bu. Saya ya bingung posisi saya. Saya nggak bilang-bilang ke ibu, hm, malah pura-pura nggak tau," Rema menghela napasnya. Dia cukup mengerti akan posisi rumit Rasti. "Ya udah, Rasti. Jangan lupa nanti malam ya? Suruh Said hubungi saya. Kalo dia tanya ada apa, bilang aja saya mau nanya kabar dia saja." "Baik, Bu. Rasti pasti sampaikan.” Tapi ternyata hampir tiga hari berturut-turut Said selalu pulang larut malam. Said hanya bisa mengirim pesan ke mamanya sekadar memberi kabar dirinya. Tentu saja Rema tidak ingin Said terganggu dan kelelahan. Tapi menurutnya ada yang salah dalam diri Said. Dan Rema memutuskan untuk menunggu waktu tepat untuk bertanya. *** Kepergian Farid dan Tante Rena ke Caen sangat membuat Ayu sedih. Karena Ayu merasa dua orang inilah yang menyebabkan dia bisa hidup bahagia hingga sekarang. Dua orang yang telah menyelamatkan jiwa dan raganya. Dua orang yang benar-benar tulus menyayanginya setelah papamamanya. Namun di sisi lain dia amat bahagia dengan kehamilan mamanya yang sudah memasuki bulan ke lima. Ayu senang membayangkan memiliki seorang adik yang akan menemaninya di rumah dalam waktu yang tidak lama lagi. Dan dia sudah belajar merawat dan menggendong bayi melalui video-video yang dia tonton di waktu senggangnya. *** Nayra memiliki jadwal periksa kandungan di awal pagi, jadi hari ini Ayu diantar papanya ke sekolah. Dia sangat senang karena sudah sekian lama dia tidak diantar papanya, selalu mamanya yang mengantarnya bersama Pak Jo. "Siap, Yu?" tanya Guntur sambil memperbaiki kaca spion mobil. Sementara Ayu baru saja selesai mengenakan sabuk pengaman. "Udah, Pa," ucapnya semangat. Guntur perlahan memundurkan mobilnya menuju jalan utama depan rumahnya. Namun ketika dia menjalankan mobilnya menuju gerbang utama, matanya tersita ke Said yang akan memasuki mobilnya. Guntur menghentikan laju mobilnya sambil membunyikan klakson mobil serta menurunkan kaca mobil di sisinya. Tampak Said menoleh ke arah mobil Guntur. Begitu menyadari Guntur memanggilnya, Said pun berjalan menuju ke mobil Guntur. "Waduh. Pagi-pagi kali ini, Pak?" sapa Said ketika tiba di sisi kanan mobil Guntur. Dia sedikit tersentak melihat Ayu yang berada di samping Guntur. Begitu juga dengan Ayu yang tidak sengaja menoleh ke arahnya. Ayu cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke depan. "Ya. Antar Ayu. Mamanya punya jadwal periksa kandungan hari ini. Jadi gimana..., kamu sudah bilang ke bos nggak?" "Oh. Jadi nih ganti mobil," "Iyalah. Bosan, pingin suasana baru," "Gampang, Pak. Nanti saya kabari." Mata Said berkedip-kedip memandang Ayu yang ada di sebelah Guntur. "Hm, Ayu suka pempek nggak?" tanyanya iseng. "Wah. Jangan ditanya. Apalagi kalo makan pempek sama es kacang merah. Bisa habis berporsi-porsi nih," sela Guntur sambil menjawil dagu Ayu. "Idih, Papa,” sungut Ayu malu. Wajahnya memerah menahan malu. "Ditawarin Om Said nih, Mau nggak?" tanya Guntur. Ayu tampak mulai memberanikan diri menoleh ke Said. Lalu mengangguk pelan. Ada senyum tipis di ujung bibirnya. "Nanti saya suruh Rasti bawa ke rumah," ujar Said akhirnya. Dia tersenyum puas. "Wah. Makasih banyak. Repot-repot nih. Ok. Ditunggu pempeknya," pamit Guntur sambil perlahan menginjak gas mobilnya. Said mengangguk senang. Tapi tiba-tiba, mobil Guntur berhenti lagi, bahkan mundur mendekati Said. "Ya?" tanya Said heran ketika Guntur sudah menurunkan kaca mobil. "Kata Ayu Adaannya yang dibanyakin," ujar Guntur. "Oh. Ok," balas Said menyanggupi. Dan Ayu tersenyum ke arahnya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD