Bab 21

688 Words
Satu tahun telah berlalu, baik Arman atau pun Raina tidak pernah menemukan alamat Aldi, mereka seolah menemukan titik buntu. Bahkan identitas di sekolah yang dulu pernah mereka temukan tidak membuahkan hasil apa pun. Mungkin memang takdir menginginkan mereka untuk merawat bayi itu, ada alasan yang telah tuhan gariskan untuk mereka, hingga memilih mereka menjadi orang tua pengganti bagi Ferrel. Siang itu, Arman dan Raina sengaja mengajak Ferrel jalan-jalan, membelikannya baju-baju dan beberapa mainan. Farrel tidak bisa diam di pangkuan Raina, dia sibuk melompat-lompat dengan kaki mungilnya. Dia sudah ditata sedemikian rupa sangat tampan, kulitnya putih, dengan badan gendut yang begitu menggemaskan, kacamata hitam kini melingkar dimatanya. Tapi sepertinya, Farrel risih dengan benda itu, berkali-kali dia membuangnya hingga merengek kecil, membuat Raina sedikit kesal. Padahal dia terlihat begitu tampan menggunakan kaca mata itu, dan Raina sangat yakin jika ada bayi perempuan pasti langsung berlari mendekati bayi Ferrel. "Arman, lihat anak kamu. Padahal kan ini kacamata jaman now." wajah Raina membersut cemberut, bibirnya dimajukan kedepan, membuatnya terlihat begitu lucu. "Mungkin Farrel risih. Didandanin sama tante-tenta." "Whatss?!!! Tante-tante kamu bilang?" Raina menangkup dadanya, mulutnya terbuka sebagai ekspresi kaget, matanya juga ikut terbelalak, seolah-olah ucapan Arman barusan benar-benar sangat mengejutkan. "Iya, tante-tante." Arman hanya menganggukkan kepalanya sebagai respon, wajahnya datar, menghiraukan Raina yang tidak terima atas ucapannya beberapa detik yang lalu. "Oh..." "Oh? Itu doang?" "Terus?" "Mulai lagi deh. Iya-iya sorri. Kamu bukan tante-tante kok, kamu seorang ibu, i--," Belum sempat Arman melanjutkan ucapannya, Raina sudah lebih dulu memotong ucapannya, "Maksud kamu aku lebih tua gitu? Yaudah, nggak usah deket-deket sama aku. Kamu cari aja cewek yang menurut kamu lebih muda," Raina gemes sendiri, ia membuang wajahnya menghadap jendela mobil, menghiraukan Arman yang mendadak menjadi ngeri, pria itu mengigit-gigit bibir bawahnya, takut-takut Raina tidak mau bicara lagi dengannya. "Bu..bukan gitu maksud aku, aku..." "Nggak usah ngomong sama aku! Aku udah kesel sama kamu." Karena terlanjur kesal, Raina bermura durja di dalam hati, rasanya ia ingin sekali menampol pipi pria itu, agar pria itu tidak berbicara seenaknya. "Jangan gitu dong, aku minta maaf ya, tadi aku cuma becanda doang, beneran deh, suer, suer banget nggak main-main, serius beneran." alibi Arman, dia mengangkat kedua jarinya, berusaha untuk meyakinkan perempuan di sampingnya. "Tadi maksud aku, kamu itu seorang ibu muda, ibu yang baik buat Ferrel." Raina tetap diam, memasang wajah menantang pada Arman. Lelaki itu meneguk salivanya kuat-kuat, tatapan ganas dari Raina benar-benar mematikan fungsi tubuhnya, -ah.. Kenapa Arman selalu takut dengan tatapan, Raina?- "Terserah, rayuan kamu nggak bakal mempan!" Arman hanya memasang wajah sedihnya yang terlalu dibuat-buat, seperti anak kecil yang siap menangis sekuat-kuatnya saat tidak dibelikan mainan oleh ibunya. Melihat Raina yang tak kunjung merespons, sepertinya Arman harus melakukan sesuatu, di tariknya dagu lancip milik Raina, dengan gerakan cepat, tanpa bisa Raina cegah, bibir lelaki itu telah menempel dibibirnya, mengecupnya dengan lembut, membuat tubuh Raina seketika menjadi kaku, tidak bisa bergerak bahkan memberonta. jantungnya bekerja tidak normal, seolah-olah akan segera melompat keluar dari tempatnya, ini sudah dua kali pria itu melakukannya, yaaa Arman sudah melakukannya sebanyak dua kali. Setelah hampir lima detik berlalu, Arman kembali menarik tubuhnya, menyandarkan punggungnya pada kursi kemudi, menghiraukan Raina yang masih membatu di tempatnya, tindakan Arman telah berhasil membuat Raina menjadi patung seketika. "Masih mau marah? Kalau iya, aku akan cium bibirmu lebih lama lagi," "Armaannn!" sentak Raina pelan, tapi penuh penekanan. Ia mengangkat tubuh Ferrel yang sedari tadi menatap bingung kedua orangtua nya itu, membawa Ferrel kedalam pelukannya dan mengajaknya berbicara, setidaknya itu bisa membuat Raina menghidar dari kegugupannya akibat tingkah Arman barusan. Arman tersenyum miring, kalau sudah menikah nanti, dia akan menaklukan perempuan itu, membuatnya tidak bisa berkutik lagi. "Kalau diam gitu kan jadi enak, sekarang aku bisa nyetir mobil dengan tenang, tanpa omelan kamu..." Dengan kesal Raina menggertakkan kedua giginya, benar-benar kesal dengan Arman yang selalu mendapatkan apa yang dia mau, kalau bukan karena cinta, ia tidak akan pernah sudi membiarkan lelaki itu menang, tapi ia tidak akan tinggal diam, lelaki itu sudah berani menciumnya dan dia harus mendapatkan balasan, hati Raina berkoar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD