HER

1049 Words
"Mama sama Papa tau kalo Key nggak akan suka kita nemuin dia sama pasangan baru kita. Key nggak pernah suka ngeliat mama sama om Surya, atau ngeliat papa sama tante Victor," kata mama. "Itu alesan mama sama papa kesini berdua aja?" tanya Rolfie. Mama mengangguk. "Udah ada persetujuan kok. Om Surya sama tante Victor sama-sama nggak keberatan kalo mama sama papa berdua ke London dan tinggal satu rumah lagi. Mereka paham maksud mama sama papa kesini, mereka juga udah tau Key orangnya gimana, jadi mereka setuju kalo mama sama papa ninggalin mereka dan tinggal di sini sampe bulan depan," perjelas mama. "Mereka paham maksud mama sama papa kesini? Emang maksudnya apa?" Mama sontak menoleh ke arah Rolfie dan tersenyum hangat. "Key sering banget cerita ke mama lewat telpon, dia bilang dia belum siap punya anak lagi, dia bilang dia masih pusing ngurus Angel, dia juga bilang kalo dia sering berantem sama kamu. Awalnya mama ngerasa wajar, adanya rasa nggak siap punya anak, capek jadi ibu, atau berantem sama suami itu semua emang udah pasti terjadi kalo seorang perempuan berani memilih untuk menikah. Awalnya mama cuma bisa nasehatin Key setiap kali dia telpon, kadang dia nangis, kadang dia marah. Mama tadinya nggak punya pikiran untuk pergi ke London karena mama tau pasti Key bisa lewatin masalah ini, apalagi ada kamu." Rolfie terdiam, sementara mama ambil jeda. "Sampe akhirnya papa tiba-tiba telpon mama setelah bertahun-tahun udah nggak pernah komunikasi lagi, papa ajak mama pergi ke London untuk nemuin Key, mama rada kaget, ternyata Key juga cerita masalah dia ke papa, mama kira cuma ke mama aja. Sampe akhirnya mama sama papa sama-sama sadar, bahwa sekalipun anak kita udah dewasa dan punya hidupnya sendiri, dia tetep butuh kita sebagai orang tua." Rolfie memandang mama, agak terenyuh dengan alasan mengapa mereka kemari. "Awalnya kita pengen ke sini rame-rame, om Surya dan tante Victor juga tadinya mama ajak, cuma tante Victor bilang ke mama sama papa untuk pergi berdua aja, karena kita semua tau bahwa key butuh mama sama papa. Bukan mama sama om Surya, atau papa sama tante Victoria. Mereka berdua tau bahwa kalo mereka kesini pasti bakal Key tolak, jadi daripada memperburuk keadaan, mendingan mama sama papa berdua aja yang kesini." Ada gelimang air mata di pelupuk mama, Rolfie bisa melihat itu dengan jelas. Meskipun suasana malam di halaman belakang ini membuat gelap, tapi Rolfie tetap bisa melihat ada raut kesedihan di wajah mama mertuanya itu. Rolfie tak menepis sedikitpun ucapan mama. Memang benar, belakangan ini keadaan keluarga kecilnya sedang retak. Key sejujurnya masih punya niatan untuk menggugurkan kandungannya yang kini menginjak tujuh bulan, ia juga masih enggan dekat-dekat dengan Angel, ia juga masih terus marah jika ditanya soal Aston yang kemudian membuat mereka bertengkar. Sebenarnya bukan bertengkar, lebih tepat seperti Key yang marah karena terciduk dan Rolfie yang terus-menerus mengalah karena sabar. Awalnya Rolfie ingin bertanya, 'apakah Key juga bercerita soal pacar gelapnya?' tapi rasanya ini bukan waktu yang tepat, melihat air mata mama sudah mengalir di pipinya, logika dan batin Rolfie memerintah untuk tidak bertanya pertanyaan itu, dan tidak akan pernah. "Nggak pa-pa, Ma. Nanti kita handle ini sama-sama," kata Rolfie menenangkan, lalu pelukan mama hambur pada menantunya yang tampan itu. Isakan tangis terdengar jelas ketika mama memeluk tubuh Rolfie. Seakan ada beban berat yang belum berhasil ia selesaikan. Dibalik dekapan itu, Rolfie sejujurnya juga ingin menangis. Matanya sudah berkaca-kaca, tinggal air matanya saja yang turun ke pipi, tapi Rolfie masih berhasil menahannya untuk tidak mengalir detik ini, setidaknya jangan di depan mertuanya. "Udah. Kamu ke kamar gih, temenin Key sana, biasanya kalo orang hamil kan maunya dimanja terus," kata mama lagi, lalu Rolfie mengangguk. Mereka akhirnya bangkit dan kembali masuk ke dalam rumah. Rolfie sempat membantu mama membawakan barang-barangnya ke kamar kosong yang lain, yang jelas ia tak mungkin satu kamar lagi dengan papa. Setelah selesai dengan mama, Rolfie lantas kembali ke kamarnya dan mendapati Key sudah terlelap. Ia tersenyum kecil melihat wajah cantik istrinya yang lugu ketika terbawa ke alam mimpi, ia lantas menutup pintu kamar dan menarik selimut untuk selanjutnya menutupi tubuh Key agar tidak kedinginan. Perlahan, Rolfie juga rebah di atas ranjang, tidur dengan posisi menyamping dimana wajahnya tepat berhadapan dengan wajah Key yang terlelap. Ia ingin mengecup kening Key, atau mengelus pelan puncak kepalanya, tapi ia takut istrinya itu bangun dan marah. Alhasil yang Rolfie lakukan hanyalah tersenyum dan terus memandang wajah yang tak pernah sekalipun jelek di matanya. Ia sejenak memikirkan ucapan mama di halaman belakang tadi. Ucapan soal pengaduan Key tentang keluarga kecil mereka yang belakangan ini kurang harmonis. Rolfie menelan salivanya, mendengar semua cerita mama tadi Rolfie merasa seakan-akan disini Keyrina yang menjadi korban. Ia tidak mengerti jalan pikiran istrinya kadang. Ia selama ini sudah berusaha untuk terus ada buat Key atau Angel, tapi Key sendiri yang selalu menolak kehadiran dirinya, Key juga yang selalu enggan mengurus Angel, Key juga yang berniat menggugurkan kandungannya. Itu semua jalan pikirannya, itu semua keinginannnya, namun kenapa ia mengadu seakan dirinya yang terpinggirkan? Rolfie hela napas sepelan mungkin agar Key tidak bangun dari tidurnya. Di lubuk hati Key yang paling dalam, mungkin ada beban dan rasa sakit hati yang Rolfie tidak tau dan tidak berhasil ia sembuhkan. Mungkin ada alasan mengapa sikap Key berubah drastis, tidak seperti Keyrina Devandra William yang lima tahun lalu tersenyum ke arah Rolfie di pelaminan. Ah, rasanya Rolfie enggan melupakan hal itu. Hari dimana dirinya resmi menjadi seorang suami dari perempuan cantik yang selama ini ia cintai. Hari dimana banyak orang menjadi saksi akan kebahagiaan itu, hari dimana Keyrina nampak amat sangat cantik dengan gaun putih dan tatanan rias yang tidak terlalu berat. Rolfie merindukannya. Merindukan hari bahagia itu, hari dimana bebannya masih ringan karena belum memikirkan tentang nafkah anak dan sebagainya. Dan juga merindukan gadisnya. Rolfie juga mengingat ucapan mama soal keadaan orang hamil yang katanya selalu ingin dimanja. Ah, jika saja bisa, Rolfie sangat ingin memanjai gadis cantik yang kini ia tatap, tapi sikap Key sendiri lah yang seakan memerintah Rolfie untuk terus menjauh dari dirinya. Bagaimana mau dimanja jika diajak bicara sedikit saja sudah meronta? Rolfie kembali hela napas dan mematikan lampu tidur di atas nakasnya, ia masih sempat memandang Key sejenak dalam gelap, hingga detik berikutnya ia ikut terlelap dengan pisisi yang masih menghadap ke arahnya. Rolfie rindu akan sosok istrinya. Keyrina Devandra William. Yang dulu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD