THEY NEED YOU, BOTH OF YOU

1451 Words
   Pagi ini, waktu terasa berjalan agak berbeda. Ya, jelas saja karena adanya kehadiran mama dan papa di keluarga kecil mereka. Angel yang biasanya hanya berbagi cerita dengan Rolfie kini bisa lebih aktif karena banyak bicara dengan nenek kakek mereka, sementara Keyrina yang terbiasa bangun siang dan selalu tidak ingin ikut sarapan bersama kini juga hadir di meja makan.    Wajah Key masih seperti biasa, nampak murung dan tidak berselera. Tangannya bergerak menyendok nasi ke setiap piring untuk selanjutnya dimakan, namun seperti biasa tak ada ucapan atau senyuman.    Rolfie yang baru keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi khas pekerja kantoran, ah lebih tepatnya memang seorang direktur.    "Pagi ma, pa," tegur Rolfie, lalu ia duduk di kursi sebelah Key.    "Pagi, ngantor jam segini, Fie?" tanya papa sembari mengambil telur mata sapi di atas piring lauk.    "Iya, nanti mau ada meeting jam setengah delapan."    Papa hanya mengangguk-angguk paham setelahnya dan mulai menyuap sendokan makanan ke mulutnya itu.    "Aku nanti pulang rada cepet, Key. Mungkin jam jam empat atau lima sore," ujar Rolfie dengan suara kecil kepada Key.    Dan balasan Key hanya anggukan pelan kepala tanpa kata dan senyumannya. Mama dan papa yang duduk berhadapan dengan mereka menatap satu sama lain, seakan kedua orang tua itu membaca adanya ketidak harmonisan di keluarga ini hanya dari suasana sarapan.    "Papa, nanti Angel mau es klim vanila," kata Angel pada Rolfie. Rolfie tersenyum pada putrinya. "Nanti papa beliin."    "Telus besoknya mau es klim coklat."    "Angel nggak boleh kebanyakan makan es krim nanti giginya bisa rusak," kata mama pada cucunya itu.    "Tapi Angel suka."    "Omah juga suka, tapi nggak boleh sering-sering, nanti kalo udah rusak, harus ke dokter, emangnya Angel mau?" Angel menggeleng manja. "Enggak."    "Kalo nggak mau, makan es krim nya juga nggak boleh terlalu sering, oke?" Angel tercengir kepada neneknya itu. "Oke."    Sejenak, suasana cair dengan obrolan antara nenek dan cucu tersebut. Ya, setidaknya Rolfie bisa menutupi kecanggungannya untuk duduk lebih lama di sebelah Key saat ini. ***    "Yang ini namanya siapa?" kata Papa pada Angel.    "Luna."    "Kenapa namanya nggak Angel aja, kan barbie nya cantik kaya cucu opah ini."    "Nggak boleh. Itu nama untuk aku aja."    Papa menepati janjinya untuk bermain barbie dengan Angel hari ini. Benar saja, bocah kecil itu mengeluarkan semua barbie dan bonekanya dari kamar yang lalu ia gunakan untuk bermain dengan kakeknya tersebut.    Mereka bermain di ruang tamu, dimana Keyrina dan mama juga berada di sana. Bedanya, mama dan Key berada di atas sofa sembari menonton acara televisi pagi hari, sementara papa san Angel di atas karpet di bawah sofa.    Key masih sama seperti pagi tadi ketika sarapan, murung dan tak ada ucapan. Mama yang duduk di sebelahnya entah mengapa merasa jauh lebih canggung terhadap Key dibanding terhadap mertuanya sendiri. Sayangnya, kini Rolfie sudah berangkat ke kantornya.    Mama melirik dikit ke sebelah kiri dimana Keyrina duduk. Wajahnya menatap tepat ke arah televisi, tapi sorot matanya kosong, seperti seakan-akan menonton televisi tetapu pikirannya melayang jauh entah kemana. Saking sibuk dengan bengongnya, Key sampai tidak sadar bahwa kini dirinya ditatap oleh seseorang yang selama ini jauh darinya.    Mama memalingkan pandangan ke arah papa, papa pun sama, memalingkan pandangan ke arah mama setelah sebelumnya menatap sejenak ke arah Key. Mama seperti mengodekan papa untuk bermain di luar sebentar dengan Angel. Seakan paham, papa akhirnya dengan sigap merayu Angel untuk keluar.    "Angel, kita mainnya di luar aja yuk, opah bosen di dalem terus," kata papa.    "Main apa di luar?"    "Main apa aja, Angel mau main apa sama opah di luar? Opah pasti temenin."    "Sepeda!"    "Ayo!"    Angel tersenyum girang dan menerima uluran tangan papa untuk selanjutnya digandeng pergi keluar. Barbie dan sekian banyak boneka nya ia biarkan tergeletak di atas karpet ruang tamu. Masa bodo, yang penting kini mama dan Key punya waktu hanya berdua. Begitu setidaknya yang ada di pikiran mama.    Mama melihat lagi ke arah Key. Anak ini, masih tidak sadar bahwa sekelilingnya ada orang?    Mama hela napas, Key masih saja melamun. Alhasil, ia meraih remote di atas meja sofa, lalu mematikan televisi besar di hadapan mereka. Key langsung buyar. Mungkin karena tadi tampilannya penuh gambar dan warna, tiba-tiba mati dan menjadi layar hitam yang kosong. Key lantas langsung menoleh ke samping dimana mama masih menggenggam remot televisi itu.    "Kok dimatiin, Mah?" tanya Key. Mama hela napas. "Kamu aja ngelamun terus, apa yang ditonton, buang-buang listrik."    Key tertegun, ia mulai merasa ada suasana canggung antara mereka. Alhasil Key memilih bangkit setelah beberapa saat linglung dan sok sibuk mengelus perutnya yang bundar. "Yaudah, Key ke dapur dulu ya, Mah," begitu alasannya.    Mama berhasil meraih tangan Key lebih dulu, membuat putri cantiknya itu menoleh bungkam ke arah mama.    "Mau ngapain sih ke dapur? Sini aja, temenin mama ngobrol," kata mama.    Key masih tertegun. Tetapi ia tak menolak, ia balik duduk ke posisinya semula dan memandang mamanya sejenak. "Mau ngobrolin apa, Mah?" kata Key. Mama tersenyum kecil, lebih tepatnya seperti senyum tidak tulus. "Kamu kayaknya nggak suka ya mama sama papa kesini?" Key langsung membulatkan matanya di hadapan mama. "Enggak gitu, Mah. Kenapa mama bisa ngomong gitu? Key suka mama sama papa di sini."    "Kalo suka, kenapa kamu seakan terus-terusan ngehindar?"    "Key nggak ngehindar, Mah. Serius." Mama hela napas berat. "Mungkin kita sama-sama canggung ya?" Key diam, menunduk.    "Gimana kamu perutnya? Ada nyeri atau gimana? Udah berat loh itu," tanya mama, mencari topik pembicaraan. Key mengelus perutnya. "Iya, kadang, Mah."    "Dulu, mama waktu hamil kamu itu pas delapan bulanan udah mulai lelet," kata mama bernostalgia, tatapan matanya seakan melayang membayangkan masa lalu. Key tak menjawab, namun menoleh kearah mama yang justru kini tak menoleh balik ke arahnya.    "Mama tau kamu masih belum siap punya anak lagi," mama ambil jeda. "Tapi kamu kayaknya nggak pernah tanya, apa mama dulu selalu siap punya anak lagi setelah kak Richard." Key diam sejenak. "Emang mama dulu ngerasa nggak siap punya kak Nathan sama Key?"    "Sempet."    "Mama pernah mau gugurin kita?"    "Enggak." Sejenak, helaan napas lega Key menjadi jawaban.    "Kamu ada niatan mau gugurin kandungan kamu?" tanya mama, membuat Key mati kutu dalam diam. "Nggak pa-pa sayang, jujur aja. Mama juga nggak akan nyalahin kamu," lanjut mama. Dan jawaban Key hanyalah senyuman yang tanggung.    "Mama paham kamu masih nggak bisa terima kondisi Angel. Kamu ngerasa nggak siap karena kamu nggak tau anak kedua kamu ini bakal terlahir kayak gimana. Normal atau cacat. Penyakitan atau sehat. Berkelainan atau enggak. Kamu cuma takut sama itu semua."    "Enggak, Mah. Key cuma... "    "Apa? Kamu nggak mungkin punya ketakutan lain. Kamu takut anakmu hidup nggak berkecukupan, itu kan nggak mungkin sayang. Coba kamu lihat sekeliling kamu, apa yang udah Rolfie kasih dari kerja kerasnya buat kamu dan keluarga kecil kalian." Key diam lagi, seakan kena tembak dengan argumen mamanya.    "Kamu cuma takut nggak siap kalo nanti anak kamu lahir dengan keadaan yang nggak kamu mau. Kamu takut untuk dipaksa menerima lagi. Kamu takut untuk berantem sama Rolfie lagi. Iya kan?" Key mengangguk pelan. Sial, ada bulir air mata di pipinya.    Mama yang melihat gadis cantiknya menangis itu kini merasa terenyuh. Ya Tuhan, sudah berapa lama ia tidak melihat anaknya sendiri menangis?    Rasanya mama mau mendekat dan merangkul Key, lantas mendekapnya dalam pelukan hangat seorang ibu. Tapi apa daya, rasa canggung menyelimuti keduanya. Mereka duduk bersisian saja masih terdapat jarak. Ah, sepertinya jarak antara duduk mereka bisa ditempati oleh seorang laki-laki besar atau tiga anak kecil. Jarak yang sangat jauh untuk menilai hubungan ibu dan anak.    "Kamu pasti bisa terima. Mungkin nggak sekarang, tapi nanti kalo waktunya udah dateng, mama yakin kamu bakal paham seberapa berharganya anak-anak kamu," kata mama mengingatkan. Key masih diam.    "Dulu, waktu mama hamil kak Nathan dan cuma punya kak Richard, mama bisa aja gugurin kakak kamu kalo mama mau, mama juga bisa gugurin kamu kalo mama mau. Tapi mama nggak mau Key, dan hal itu nggak pernah sekalipun mama sesalin, meskipun sekarang kamu tau keadaan keluarga kita kayak gimana," kata mama. Key menoleh ke arah mama dengan matanya yang agak merah dan basah, namun masih, tanpa kata.    "Mama sempet punya pikiran bahwa kalian udah terlalu dewasa untuk terus-terusan butuh mama sama papa. Tapi mama kayaknya salah sayang, mama bisa liat kesedihan itu dari kamu."    "Mah... "    "Ini baru kamu, gimana sama kak Nathan? Mama bahkan nggak tau dia baik-baik aja atau enggak hari ini."    "Kakak pasti baik-baik aja, Mah." Mama terkekeh pelan dan mengangguk mengiyakan. "Intinya kamu jangan salah ambil keputusan ya sayang. Angel dan anak yang sebentar lagi lahir, mereka berdua butuh kamu dan Rolfie."    "Key tau, Mah."    "Kamu tau, tapi kamu nggak sepenuhnya paham." Key diam lagi, untuk kedua kalinya merasa tertembak.    "Kayak yang mama bilang tadi, mungkin nggak sekarang. Tapi nanti, kamu pasti bakal bener-bener paham seberapa berharganya anak-anak kamu, Key."    Mama sempat menatap Key dengan matanya yang berkaca-kaca. Lantas, tiga detik berikutnya, mama bangkit dari duduk, meninggalkan Key sendirian. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD