(NOT) A GOOD MOM

933 Words
    Keyrina selalu merasa bahwa ia adalah istri yang baik. Bangun pagi, memasak sarapan, beres-beres, mempersiapkan Rolfie bekerja, dan lain-lain.    Hampir satu tahun menikah, seperti terasa aneh ditambah adanya bayi mungil diantara hubungan dirinya dan Rolfie. Pasangan lain mungkin akan amat senang, melakukan segala hal terbaik demi bayi mereka tumbuh dengan sehat. Tapi berbeda dengan Keyrina, entah karena ia masih betah dengan kehidupannya semasa gadis, atau memang ia tak menyukai perannya sebagai ibu.    Kini di rumah sakit, kisaran jam setengah enam pagi waktu Inggris, Key berada di depan kamar inap setelah sebelumnya dijemput oleh Rolfie. Awalnya Key menolak, tetapi Rolfie memaksa demi kebaikan bayi mereka, mau tak mau Key mengiyakan.    Sedari datang tiga puluh menitan yang lalu, ia sama sekali belum masuk ke dalam kamar dimana bayinya dirawat. Dokter sudah berkali-kali mengingatkan Key untuk memberi ASI, tapi Key hanya mengangguk, tanpa masuk dan melaksanakan perintah itu.    Key bersandar di kursi lobi rumah sakit, merenung dengan tatapan kosong tanpa berkata apa-apa. Pikirannya kacau, dan yang paling mendominasi kekacauan itu adalah ketidak terimaan terhadap putrinya yang terlahir berkelainan. Ia nampak frustrasi, matanya lebam dan agak kehitaman akibat kurang tidur dan stress, bibirnya bahkan enggan mengukir kembali senyuman yang sangat dinantikan oleh suaminya.    Hingga detik berikutnya, sentuhan tangan hangat terasa mengelus pelan puncak kepalanya. Ia masih enggan menoleh, ia tau pasti itu ulah Rolfie.    "Sarapan dulu yuk, beli makan di kantin."    Key masih saja terdiam setelah Rolfie berucap demikian. Jujur ia lapar, ia belum makan sedari malam. Tapi nafsunya hilang, kekacauan dalam pikirannya pun makin lama makin membuatnya enggan beranjak dari posisinya sekarang.    Sentuhan tangan itu mengelus lagi. Namun Key masih tetap diam. "Key, kalo kamu gini terus nanti bisa sakit," ucap Rolfie. "Atau kamu mau makan apa? Aku beliin kamu tunggu di sini aja." Keyrina akhirnya merespon, namun hanya berupa gelengan.    Rolfie menghela napas, meskipun amat pelan, sehingga ia pikir bahwa Key tidak akan bisa menebak bahwa ia tengah lelah.    Entah apa bujukan yang bisa dilakukan untuk membuat Key luluh sekarang. Rolfie bukan lagi remaja labil yang punya banyak gombalan manis untuk membuat seorang wanita tersipu. Lagipula ia kini juga tengah kacau, memikirkan bagaimana kelanjutan kondisi anaknya, dan keluarga kecilnya.    Rolfie akhirnya diam. Memilih ikut bersandar pada kursi yang disediakan rumah sakit. Hingga kemudian langkah kaki tergesa yang terdengar amat jelas karena suasana yang masih amat sepi, membuat Rolfie menoleh, dan tersenyum. Orang tuanya datang.    Baru saja Rolfie berdiri dan ingin menyalami kedua orang tuanya, tapi tangan mamanya sudah lebih dulu melayang ke pipi Keyrina.    "Ma, kenapa?" tanya Rolfie heran, lalu melindungi Key.    "Kamu tuh gimana sih jadi ibu?! Bayimu baru pulang kemarin sekarang udah masuk rumah sakit lagi?!" omel Mama Rolfie, mertua Keyrina.    "Ma, ini bukan salah Key," bela Rolfie.    "Bukan salah dia gimana?! Tadi Mama udah ketemu sama dokter dan dijelasin semuanya. Anakmu alergi s**u dan nggak dikasih ASI, ibu macam apa kamu Key?!"    Rolfie terdiam. Tak bisa mengelak semua keadaan yang sudah diketahui mamanya.    Ayah Rolfie yang berdiri di belakang istrinya turut menenangkan. "Be patient, honey." Itu yang sedari tadi ia katakan sembari mengelus kedua pundak istrinya.    Hingga kemudian Ayah Rolfie mengambil alih untuk berdiri di depan istrinya dan memeluknya sesaat. "Jangan marah-marah di sini, malu kalau ada orang lain lewat," ujar Ayah Rolfie pada istrinya. "Mendingan kita masuk, lihat cucu kita," lanjutnya.    Setelah amarah istrinya mereda, Ayah Rolfie membawa istrinya masuk ke dalam kamar inap, perlahan mereka berjalan, lalu Ayah Rolfie masuk, setelah sebelumnya menoleh pada putranya dan berbisik pelan, "Bawa istrimu pergi."    Rolfie menuruti perintah itu. Kedua pundak Key ia sentuh, dan perlahan dibawa menjauh dari lorong kamar dimana bayinya dirawat. Selama berjalan, Key masih saja diam, wajahnya nampak makin kacau, dan pipinya mungkin kini kian perih.    "Mama lagi emosi, nggak usah diambil hati ya," ujar Rolfie pelan, dalam lambatnya langkah mereka.    "Sekarang nggak usah mikirin apa-apa dulu, kita ke kantin, makan, ngobrol," lanjutnya. "Atau mau jalan-jalan sebentar, mumpung Angel ada yang jaga." Keyrina menggeleng.    "Yaudah, kita makan aja."    Key hanya diam, melangkah teramat lambat untuk menuju kantin rumah sakit yang mungkin masih jauh dari posisinya sekarang.    Rolfie pun terdiam, hanya merangkul kedua pundak istrinya yang rapuh sekarang. Hingga kemudian ia menyadari bahwa Key menghela napas panjang, terdengar seperti mengeluh dalam diam, lalu Key terlihat menyentuh pipi kanannya, pusat dimana tamparan mertuanya tadi melayang.    "Pipinya sakit?" tanya Rolfie, dan Key hanya diam untuk kesekian kalinya.    Rolfie memberhentikan langkah kakinya, Key pun mengikuti. Lantas, Rolfie membalik tubuh istrinya untuk menghadap ke arah dirinya. Key masih saja menunduk meski kini tubuh mereka berhadapan. Rolfie menyentuh kedua pundak Key, lalu perlahan mengangkat wajah yang bersedih itu. Lantas, satu tangan Key ia ambil, ia letakkan di pipinya.    "Tampar balik." Key terdiam, namun menatap.    "Biar sama. Kamu sakit, aku juga," ujarnya. "Yang keras, lebih dari Mama juga nggak pa-pa."    Key masih saja terdiam. Enggan melayangkan telapak tangannya di pipi orang yang ia tahu amat mencintai dirinya.    Mata Key berkaca-kaca, dan jelas saja Rolfie bisa melihat itu. "Kok nangis?" tanya Rolfie.    Tak ada jawaban, Key justru semakin sendu.    "Kenapa, Key?" tanya Rolfie cemas, lalu memeluk istrinya.    Pecah. Tangis Key pecah dalam sandaran pundak Rolfie. Meskipun tangannya tak melingkar tanda ia tak membalas pelukan suaminya, tetapi degup jantungnya mereda dalam pelukan hangat itu.    Key masih tak bicara apa-apa. Hanya menangis dan terisak dalam pundak suaminya yang bidang. Heran terhadap takdir, berpikir tentang mengapa gadis b******k seperti dirinya disandingkan Tuhan dengan pria super pengertian seperti Rolfie?    Sejenak, ketidakpantasan lah yang hanya Key rasakan. Bahkan untuk membalas pelukan lelaki yang sudah sah sebagai suaminya saja ia merasa tak pantas. Merasa terlalu kotor untuk meletakkan telapak tangannya di punggung Rolfie. Namun sejenak. Hanya sejenak. Detik berikutnya, Key benar-benar telah luluh. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD