Sosok bayi itu tiba-tiba saja tergantung di antara pintu kamar Alina yang terbuka. Wajah bayi itu lalu menoleh ke arah gadis itu dan kedua matanya mendadak terbuka. Terdengar tawa yang mengerikan dari balita berusia satu tahun itu.
Sosok bayi tersebut bahkan tertawa lalu menangis, lalu tertawa, lalu menangis lagi dengan suara mengerikan yang langsung membuat bulu kuduk si pendengarnya meremang.
Alina langsung menutup daun pintu itu dengan keras. Ia segera menuju ke atas ranjang dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Pikirannya benar-benar kacau. Dia merasa sangat ketakutan. Akan tetapi, ia tak mungkin berlari ke kamar Tante Maya dan menceritakan hal tersebut.
Gadis itu yakin kalau Tante Maya tak akan percaya dengan cerita hantu. Wanita itu malah akan menganggapnya gila. Tubuh gemetar itu masih meringkuk di balik selimut. Ia coba pejamkan kedua mata lentiknya itu tanpa berdoa.
"Kumohon, tolong jangan ganggu aku," lirih Alina. Bibirnya gemetar dengan wajah pucat pasi sebelum akhirnya ia paksakan kembali kedua matanya terpejam. Ia mengubah posisinya menjadi telentang. Sampai akhirnya ia tertidur.
Keheningan malam tercipta, hanya suara detak jam dinding yang terdengar kala itu. Sesekali suara binatang malam terdengar mewarnai sunyinya malam kala itu.
Pukul satu dini hari, perlahan-lahan selimut yang gadis itu gunakan untuk menutupi dirinya bergerak turun. Seperti ada sesuatu yang menarik selimut gadis itu agar terlepas dari tubuhnya. Hawa dingin ruangan yang menggunakan air conditioner itu makin terasa dingin.
"Kok, dingin banget ya?" Alina sampai tersadar dari tidurnya seraya mengusap kedua bahunya. Ia merasa tubuh rampingnya makin menggigil. Ia meraba tubuhnya sendiri dan mendapati tak ada selimut yang menutupi tubuhnya.
Alina mencoba memberanikan diri untuk membuka kedua matanya. Ia menarik selimut bermotif bunga matahari dengan dasar warna hijau itu. Namun, keanehan langsung terasa. Selimut itu perlahan bergerak seolah ada yang menarik dan bersembunyi di sisi ranjang.
Gadis itu buru-buru menyalakan lampu kamar di atas meja kecil yang terletak di samping kasurnya. Tak ada apapun di sana. Iris cokelat miliknya memberanikan diri berkeliling mengamati ruangan kamar itu.
Alina kembali menarik selimutnya. Tangan kanannya mengarah mematikan lampu tidur di sisi ranjangnya. Tiba-tiba, wajah pucat Kaila hadir di hadapan wajahnya. Rambut hantu adiknya sampai jatuh mengenai wajah gadis itu.
"Kak Alina…."
Suara parau nan berat menyeramkan terdengar memanggil nama Alina. Tubuh gadis itu seolah kaku terpaku tak dapat bergerak kala mendengar hantu Kaila menyebut namanya dengan suara pasti menyeramkan. Ia juga ingin berteriak tetapi lidahnya kelu.
"Aaaaaaaa.…!"
Hantu Kaila berteriak di hadapan wajah Alina. Tetesan darah dari kepala Kaila sampai masuk ke dalam mulut sang kakak dan membuatnya langsung mual. Alina memuntahkan seluruh isi perutnya ke sisi kasur.
Setelah mencoba lepas dari rasa kaku di tubuhnya, akhirnya ia dapat mengucapkan sesuatu dari bibirnya.
"Pergi! Pergi dariku!"
Alina akhirnya bisa berteriak walaupun ia sangat merasa ketakutan.
"PERGI….!"
Alina terus berteriak sampai Tante Maya dan Mbok Nah mendengar teriakan gadis itu. Kedua wanita itu mengetuk pintu kamar Alina.
"Ndak dikunci, Nyonya," ucap Mbok Nah yang berhasil membuka pintu kamar Alina.
Tante Maya menekan tombol sakelar lampu yang langsung menerangi kamar sang keponakan.
"Ya ampun, Lin… kamu kenapa sampai muntah gitu?"
Tante Maya langsung menghampiri Alina dan meraih tisu.
"Tadi aku, tadi aku, hiks hiks hiks."
Gadis itu menangis sesenggukan dengan tubuh gemetar saat mencoba menjelaskan..
"Mbok, tolong ambil pel sama air teh manis hangat buat Alina. Saya takut dia masuk angin," ucap Tante Maya memberi titah pada sang asisten rumah tangga itu.
"Baik, Nyonya."
Tanpa menunggu sedetik pun, wanita paruh baya yang mengenakan daster batik itu segera bergegas menjalankan perintah majikannya.
"Tante bantu bersihkan mulut kamu ini, ya," ucapnya seraya menyeka bekas sisa muntahan yang ada di sudut bibir Alina.
"Aku jijik, Tante soalnya ada darahnya huhuhu…" Alina masih saja menangis menjelaskan.
"Darah apa sih? Emangnya kamu berdarah di sebelah mana? Enggak ada darahnya, kok."
Tante Maya mencoba mengamati wajah Alina dengan saksama. Tak ada luka dan noda darah yang ia temukan kala itu.
"Tadi ada darahnya, Tante, gara-gara darah itu aku muntah," sahut Alina.
Tak lama kemudian, Mbok Nah datang dengan membawa teh hangat.
"Ini, diminum dulu tehnya, Non."
Mbok Nah menyerahkan mug warna biru berisi air teh manis hangat untuk Alina. Gadis itu segera menyeruput perlahan minuman hangat yang sudah dibuatkan untuknya.
"Darah apa sih, Lin? Tante nggak ngerti deh kamu ngomongin darah apa," ucap Maya.
Mbok Nah yang sedang membersihkan bekas muntah Alina sampai menoleh.
"Darah apa, Nyonya?" tanya Mbok Nah.
"Tau nih, katanya si Alina dia kena darah di mulutnya makanya sampai muntah," jawab Maya.
"Tadi aku lihat hantunya Kaila, dia ada di atas muka aku terus darahnya netes ke mulut aku," ucap Alina mengadu dengan nada masih terdengar ketakutan.
"Hantu lagi? Hantu Kaila pula? Kamu pasti mimpi buruk, Lin," ucap Tante Maya.
"Aku enggak mimpi buruk, itu nyata Tante!"
Alina masih berusaha keras untuk meyakinkan tantenya itu.
"Sudah sudah, sudah cukup, kamu masih lelah, kondisi kesehatan kamu juga belum pulih, kamu jadi berhalusinasi bahkan bermimpi buruk. Sebaiknya kamu kembali tidur lagi!"
Maya masih tak percaya dengan perihal hantu yang dikatakan Alina.
"Tante harus percaya sama aku, bahkan tadi jam sembilanan aku lihat hantunya dedek Delilah. Kepala dedek menggantung di depan pintu kamar aku," ucap Alina menunjuk pintu kamarnya.
"Lin, Tante mohon ya berpikirlah secara logis. Mereka suka sudah meninggal, mereka udah tenang, enggak ada hantu-hantuan di dunia ini. Tante mau sekarang ini kamu istirahat supaya kamu bisa pulih kembali. Udahlah jangan bahas soal hantu lagi, Tante sebel dengernya!"
Tante Maya lantas bangkit berdiri lalu pamit keluar dari kamar Alina menuju kamar tidurnya. Alina menoleh pada Mbok Nah yang sudah selesai membersihkan lantai bekas muntahan gadis itu.
"Mbok, Mbok percaya kan sama aku?" tanya Alina.
"Non, tidur ya istirahat, mungkin yang dibilang Nyonya Maya ada benarnya, karena Non baru sembuh dan dalam masa pemulihan jadi suka berhalusinasi."
"Jadi, Mbok nggak percaya sama aku?"
"Mbok percaya, sudah tidur dulu aja ya, Non."
"Mbok tidur sini ya, aku takut," pinta Alina.
"Kalau Mbok tidur di sini, tidurnya di mana?"
"Di sini samping aku," ucap Alina seraya menepuk sisi sampingnya di atas ranjang itu.
"Eh, enggak enak, Non, enggak sopan. Masa pembantu tidur sama majikan di atas kasur majikan pula," sahut Mbok Nah.
"Ah, peduli amat, udah sih temenin aku tidur dulu di sini," ucap Alina masih berusaha bersikeras.
"Ya udah ya udah, Mbok temenin tidur di sini. Mbok ambil kasur lantai dulu, ya."
"Aku ikut."
Alina lalu mengikuti Mbok Nah untuk mengambil kasur lantai yang ada di kamar wanita itu. Ia kerap menggunakannya sebagai alas kaki saat tidur agar posisi kakinya lebih tinggi dari bantal. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan untuknya dalam menghilangkan pegal.
Setelah itu, mereka kembali ke kamar Alina. Gadis itu mulai merasa aman karena ada Mbok Nah di kamarnya.
"Jangan lupa baca doa, Non, biar nggak digangguin," ucap wanita itu.
Keduanya lalu menutup mata dan terpejam seiring rasa kantuk yang sudah datang melanda.
*
Keesokan harinya, Mbok Nah membangunkan gadis itu untuk melaksanakan salat subuh. Sayangnya bukannya bangun, Alina malah melanjutkan tidurnya dan terlelap di sofa.
Mbok Nah tetap melaksanakan panggilan wajibnya menghadap sang khalik kala itu. Wanita paruh baya itu setelah melaksanakan shalat subuh, lalu menyiapkan sarapan untuk kedua majikannya.
Mbok Nah membuat nasi goreng sosis lengkap dengan telur dan sayuran selada tomat. Ia merapikan sarapan tersebut lengkap dengan segelas s**u vanila untuk Alina dan teh manis hangat untuk Tante Maya yang diletakkan di atas meja makan dengan permukaan halus yang terbuat dari marmer itu.
"Non, hari ini sekolah, kan? Ayo bangun, nanti telat ke sekolah!" seru Mbok Nah menyingkap selimut gadis itu saat membangunkannya di kamar sang gadis.
Pantulan sinar mentari yang menerpa retina gadis itu membuatnya mengerjap karena silau. Alina mengubah posisi tidurnya menjadi duduk dengan merentangkan tangannya ke atas untuk meregangkan tubuhnya.
"Iya, aku sekolah."
Alina lalu bangkit dengan langkah gontai menuju kamar mandi. Setelah mandi dan memakai seragam sekolah, ia menuju ruang makan. Tante Maya yang sedang mengunyah nasi goreng telur menyambutnya.
"Pagi, Lin! Gimana tidur kamu? Enggak mimpi buruk lagi, kan?" sapa Tante Maya.
"Aku enggak mimpi buruk, Tante, tapi aku lihat—"
"Stop! Sudah ya hentikan pembicaraan soal hantu hantuan. Makan dulu sarapan kamu dengan segera, nanti kalau kejebak macet repot lho malah telat," ujar Tante Maya.
"Ini bekal untuk makan siang, Non," ucap Mbok Nah menyerahkan kotak makan ke hadapan gadis itu.
"Makasih ya, Mbok."
"Siap ke sekolah pagi ini, Lin?" tanya Maya.
"Sebenarnya sih enggak, aku merasa belum siapa aja menerima pelajaran."
"Lin, hidup kamu itu harus terus berjalan, kamu masih muda jangan biarkan diri kamu larut dalam kesedihan, ya," ucap Maya.
Alina hanya terdiam seraya menikmati santapan nasi goreng lezat itu. Setelah sarapan, dia dan Tante Maya pamit pada Mbok Nah.
Tante Maya membawa Alina menuju ke sekolah. Tepat di depan gerbang SMA Eka Sakti, gadis itu turun dari sedan civic metalic milik sang tante. Gadis itu lalu mencium punggung tangan sang Tante.
"Nanti kalau sudah jam pulang kabari, ya, biar kamu nanti Tante jemput," ucap Maya.
"Baik, Tante, terima kasih."
Alina lalu pamit dan berbalik badan menuju ke dalam sekolahnya. Embusan napas berat terdengar melegakan bagi Alina. Ia bersiap memasuki gerbang sekolah tersebut. .
Semua mata tertuju pada Alina yang melangkah dengan kepala tertunduk. Para murid tau apa yang menimpa keluarga gadis itu. Bahkan bisik-bisik itu sampai terdengar ke daun telinga yang bersembunyi di balik rambut hitam yang dibiarkan terurai sampai sepunggung gadis itu.
"Eh, itu kan Alina. Aku dengar semua keluarganya dibantai lho," suara perkataan salah satu murid sampai terdengar ke telinga Alina kala itu.
"Hmmm… jangan dia yang bunuh, semacam kerasukan gitu."
"Tetap aja dia tuh dijuluki anak pembawa sial deh, liat aja semua keluarganya mati dan cuma di yang bisa jelasin detail pembunuhan keluarganya," ucap satunya lagi.
"Jangan-jangan dia kerasukan terus membunuhnya keluarganya sendiri, ih serem…" ucap salah satu murid tadi.
Tadinya Alina ingin menghentikan langkahnya dan berbalik arah. Ia merasa tak siap jika harus berhenti sekolah dan mendengarkan segala rumor palsu tentangnya.
Namun, langkah kakinya terhenti. Seorang gadis berpenampilan gaul dan modern itu memeluk Alina dari belakang.
"Aku kangen banget tau sama kamu," ucap gadis itu.
Ia melayangkan senyum manis nan hangat pada Alina.
*
To be Continue…