Pingsan

1669 Words
"Alina, buka pintunya, Lin! Apa itu kamu?" tanya Rossa yang mendengar suara tangisan itu. Tak ada jawaban yang terdengar dari dalam toilet. Rossa terus mengetuk pintu toilet tersebut seraya memanggil nama Alina. "Ada apa dengan Alina?" Aldo masuk ke dalam kamar mandi siswi itu bersama dua guru pembina Pak Hadi dan Pak Toto. "Enggak tau, tadi aku denger ada yang nangis di dalam sini, aku takutnya Alina. Tapi aku ketok-ketok nggak ada jawaban dari Alina. Aku takutnya dia pingsan," ucap Rossa dengan nada cemas. "Kita dobrak aja ya, Pak?" pinta Aldo. "Iya, Do." Kedua pria itu akhirnya mendobrak paksa pintu bilik kamar mandi itu. Benar saja dugaan Rossa, tubuh Alina sudah terbaring tak sadarkan diri di lantai kamar mandi dengan kepala berada di atas kloset. Aldo dan Pak Toto lantas membopong tubuh Alina menuju aula sekolah tempat para pelajar putri menginap malam itu. "Alina kenapa, Pak?" tanya Mia si ketua OSIS periode sebelumnya. "Nggak tau nih, pas kita dobrak dia udah pingsan di dalam kamar mandi." Pak Toto dan Aldo membaringkan tubuh Alina ke atas kasur lantai yang disiapkan untuk gadis itu. Mia langsung meraih kotak p3k yang berada di dekatnya. Rossa tampak panik dengan mengibaskan sobekan kardus yang berisi kemasan air mineral dalam botol ke wajah Alina. "Memangnya kalau digituin bakalan sadar apa?" Aldo berusaha menepis kibasan yang diciptakan Rossa. "Siapa tau aja Alina sadar, lagian dia juga kelihatan gerah tuh keringetan," sahut Rossa. "Coba minggir!" Mia mengoleskan minyak kayu putih ke area bawah hidung Alina. "Coba diminumin biar berasa pedes sekalian," sahut Aldo. "Ngaco kamu, tuang aja ke matamu biar pedes sekalian!" sahut Rossa menatap Aldo dengan kesal. "Hehehe..." Tak lama kemudian, Alina tersadar. Ia menatap seluruh mata yang sedang menelisik ke arahnya satu persatu. "Aku di mana?" tanya Alina. "Kamu ada di aula, Lin, tadi kamu pingsan di kamar mandi," jawab Rossa seraya memberikan air putih pada gadis itu untuk diminum. "Ma-makasih, Sa." "Kamu kenapa bisa pingsan gitu? Kamu masih sakit ya? Apa kelaparan sampai pingsan gitu? Kamu lagi nggak diet ekstrim kan?" Aldo memberondong gadis itu dengan banyak pertanyaan. "Bawel banget kamu, nanyanya kayak sensus penduduk!" Rossa sampai menoyor kepala Aldo dengan gemas. "Biar sekalian nanyanya, huh...." Aldo bersungut-sungut. "Sudah, sudah, sudah! Acara sudah selesai dilaksanakan semua, kan?" tanya Pak Toto. "Sudah, Pak," sahut Mia. "Ya sudah kalau begitu, kalian mulai istirahat dan besok subuh kalian bangun untuk menunaikan solat subuh berjamaah. Yang non muslim tetap bangun untuk menyiapkan sarapan," ucap Pak Toto dengan tegas. "Baik, Pak!" Semua murid yang ada di ruangan itu menyahut bersamaan. Aldo lalu mengusap kepala Alina seraya pamit menuju ke lapangan yang terletak di depan aula sekolah. Para murid laki-laki menginap di lapangan dengan membuat tenda, sementara para murid perempuan menginap di dalam aula. "Udah, Lin, kita istirahat dulu, bahasnya besok aja," ucap Rossa yang merebahkan diri di kasur lantai yang terletak di samping Alina. Sementara itu, Alina masih saja ketakutan membayangkan sosok hantu di dalam toilet tadi. Ja lalu merapatkan diri ke tubuh Rossa dan menyembunyikan wajahnya di lengan atas sahabatnya itu seraya menyelimuti diri sampai setengah wajahnya tertutupi. * Dua hari berlalu, Alina kembali ke sekolah. Hari itu ia akan mengikuti ulangan harian matematika. Gadis itu hampir saja terlambat sampai berlari kecil menuju kelasnya. Namun, saat dia sudah dekat dengan kelasnya, ada sosok perempuan yang ia kenal menuju ke samping kelasnya ke arah koridor menuju perpustakaan. Alina yang penasaran memberanikan diri mengikuti sosok itu. Tiba-tiba, saat ia hendak berbelok kiri ke arah koridor menuju perpustakaan, seorang gadis berwajah pucat mendadak muncul di hadapan Alina. Sosok itu tersenyum menyeringai. "Ka-ka-kaila...." Brug! Alina jatuh ke lantai, gadis itu tak sadarkan diri kemudian saat melihat penampakan berwujud hantu adiknya, Kaila. "Duh, si Alina kenapa jadi hobi banget pingsan, sih! Tolongin....!" seru Rossa memanggil beberapa teman laki-laki untuk membantu menolong Alina. Alina yang tak sadarkan diri, langsung dilarikan ke ruang UKS sekolah saat itu juga. Dokter jaga di SMA Angkasa yang bernama Arini menyambut kedatangan tubuh gadis cantik yang sedang dibopong bersama itu. "Letakkan dia di sini!" pinta Dokter Arini. Kemudian, wanita yang menggunakan hujan warna hijau toska itu memeriksa keadaan Alina. Terdengar bel masuk yang berbunyi kala itu. "Kalian balik aja ke kelas, biar gadis ini di sini sama saya," ucap Dokter Arini. "Baik, Dok," sahut Rossa. Gadis itu dan Aldo akhirnya kembali ke kelas mereka masing-masing karena jam sekolah sudah berdentang. Tiga jam berlalu, Alina akhirnya terbangun dan mulai mengamati sekitarnya. Kepala gadis itu masih terasa pusing. Ia menatap ke arah dokter wanita yang sedang bertugas di ruang usaha kesehatan sekolah tersebut. "Halo, nama saya Arini! Nama kamu siapa?" sapa sang dokter kala melihat kedua mata gadis itu sudah terbuka dan menatapnya. "Nama saya Alina, saya sudah berapa lama pingsan, Dok?" "Hampir tiga jam, kayaknya kamu sekalian lanjut tidur deh, hihihi." Dokter Arini tertawa seraya melirik waktu yang berdetak di arloji bertali rantai di tangan kirinya. "Kamu sakit, ya? Apa kamu belum sarapan?" tanya Dokter itu. "Saya sudah sarapan, Dok. Tapi, saya..." "Kamu kenapa? Jangan-jangan kamu habis melihat sesuatu, seperti hantu ya?" tanya Dokter Arini. "Bagaimana dokter bisa tau?" Alina balik bertanya. "Kamu pucat banget, tapi semua kondisi kamu baik-baik aja seperti ketakutan gitu, terlihat sekali lho di muka kamu kayak anak murid sini kalau habis lihat hantu. Ummm... kata temen kamu, kamu juga tiba-tiba pingsan, ya? Kalau menurutku sih biasanya kalau tiba-tiba pingsan dengan wajah ketakutan yang seperti itu, biasanya ya seseorang yang habis melihat hantu," ucap Dokter itu. "Aku memang habis lihat hantu, Dok," jawab Alina dengan spontan tanpa berusaha menutupi lagi. Penuturannya barusan sampai menyentak Dokter Arini dan menatap gadis itu tak percaya. Arini menyentuh dahi Alina dengan punggung tangannya. Wanita yang mengenakan kerudung itu memeriksa kondisi suhu tubuh gadis itu. Lalu, ia memegang tangan kanan gadis itu. Tangan yang ia pegang itu terasa hangat. Namun, sesuatu yang membuatnya terkejut dan ketakutan hadir di penglihatannya. Kedua mata lentik wanita itu mendadak terbelalak. Dia mundur beberapa langkah menjauhi Alina. Tubuh wanita itu gemetar dan wajahnya memperlihatkan raut ketakutan. "Dokter, Anda kenapa?" tanya Alina. "Ka-kamu, apa mungkin saya salah lihat, ya? Ah, pasti saya salah lihat." Dokter Arini gantian berwajah pucat, ketakutan, dan terlihat cemas. "Dokter kenapa ?" tanya Alina menegaskan lagi. "Saya melihat sesuatu tetapi saya nggak yakin hanya saja..." Mendadak kemudian, ponsel milik Dokter Arini tiba-tiba berbunyi dan membuat gadis yang masih terbaring di atas ranjang itu menatap ke arah ponsel itu dengan tajam. Ia menoleh ke arah suara ponsel yang berdering itu. "Tunggu di sini, saya terima telepon dulu," ucap Arini. Akan tetapi, gadis itu malah langsung bangkit dan menghampiri sang dokter. Arini kembali menyentuh tangan Alina saat gadis itu berusaha meraih ponsel dengan paksa dari tangan sang dokter yang bertugas untuk berjaga di ruang kesehatan di sekolah itu. "Tidak mungkin," lirih Dokter Arini berucap seraya menatap Alina tak percaya dengan apa yang ia lihat. Sebenarnya Dokter Arini sejak kecil memiliki kemampuan yang disebut anak indigo. Anak indigo atau anak nila adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan anak yang diyakini memiliki kemampuan atau sifat yang spesial, tidak biasa, dan bahkan supranatural. Konsep ini merupakan ilmu semu yang didasarkan pada gagasan Zaman Baru pada tahun 1970-an. Anak indigo kerap diidentikkan dengan kemampuannya untuk dapat melihat hal-hal gaib. Namun, ada ciri-ciri lainnya yang juga harus dipenuhi oleh seseorang sebelum mendapat label ‘anak spesial’ tersebut. Penyebutan anak indigo sendiri datang dari warna aura yang terpancar dari diri anak tersebut, yakni warna indigo alias biru keunguan. Indigo juga merupakan warna dari chakra mata ketiga yang identik dengan kemampuan seseorang melebihi rata-rata, seperti memiliki indra keenam, kemampuannya membaca pikiran orang lain, hingga melihat masa depan. Dari segi fisik, anak-anak indigo tidak berbeda dari anak pada umumnya. Hanya saja, mereka memiliki ciri-ciri perilaku hingga pola pikir yang sangat berbeda. Sehingga, anak indigo akan terlihat berbedal dibanding teman-teman sebayanya. Ponsel di tangan dokter itu berhasil Alina ambil paksa dan ia hempas ke lantai kemudian. "Apa yang kamu telah lakukan?" tanya Arini dengan suara meninggi ia juga makin ketakutan melihat ke arah Alina. "Di-dia, dia akan datang," ucap Alina dengan nada suara yang terdengar ketakutan. "Alina, siapa yang akan datang?" tanya Arini. "Dia, dia akan datang." "Alina, kamu harus segera memperbaiki diri dan menyembuhkan diri, kendalikan diri kamu, Lin..." Tiba-tiba, sosok berjubah hitam yang menggunakan tudung menutupi kepala sampai wajah itu, hadir mengintip dari celah pintu yang terbuka. "Awas Dokter, dia datang! Ayo, kita lari!" pekik Alina seraya menarik lengan Arini sampai jatuh. Sayangnya kepala sang dokter terantuk kaki meja yang terbuat dari kayu jati. Dokter Arini tak sadarkan diri kemudian. Alina berusaha untuk menutup pintu ruang kesehatan di sekolah itu, tetapi sosok misterius yang terlihat menakutkan bagi sang gadis langsung mendorong paksa. Tenaga sosok yang kini menghantui Alina itu lebih kuat sampai membuat tubuh gadis itu terjerembab jatuh ke lantai. Lutut Alina berdarah dan terlihat memar. "Siapa kamu? Apa yang kau inginkan dariku?" pekik Alina. Pikiran gadis itu makin kalut, ia merasa sosok misterius itu adalah hantu. Namun, ternyata ia dapat menyentuhnya dan sosok itu sangat kuat. Entah dia manusia atau golongan jin yang jelas ia dapat menyentuhnya. Sosok berjubah hitam itu tak menjawab, ia malah meraih gunting di atas meja lalu menghampiri Arini yang masih terbaring tak sadarkan diri di lantai. Dia menarik lengan Arini dengan paksa. Alina berusaha bangkit dan menghentikan perbuatan sosok misterius itu meskipun lututnya terasa perih. Lagi-lagi sosok itu mendorong paksa tubuh Alina sampai kepala gadis itu terbentur ke sisi ranjang besi. Ia merasa pusing dan tubuhnya mendadak limbung. Gadis itu akhirnya jatuh di lantai kemudian. Meskipun mata gadis itu masih berusaha untuk tetap terbuka, akan tetapi ia merasa lemas. Sayup-sayup ia masih dapat melihat sosok itu berusaha menyakiti sang dokter. "Hen-ti-kan...." lirih Alina. Terlambat sudah, sesuatu yang mengerikan sudah terjadi dan tak dapat dihentikan oleh Alina. Gadis itu melihat si sosok misterius itu sudah menikam leher dan tubuh bagian atas milik Dokter Arini berkali-kali. Alina berusaha menggapai dan menyeret tubuhnya agar bisa menolong sang dokter muda tersebut. Namun, tubuhnya tidak bisa digerakkan lagi. Ia sangat merasa lemah dan kesakitan yang teramat sangat terasa di tubuhnya. Sampai akhirnya ia tak sadarkan diri kemudian. * To be continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD