Episode 3
Si Cantik dan Masa Lalu
Aku berkuda menuju hutan , dan berburu kelinci di sana. Aku mendapat beberapa lalu segera mendirikan kemah sebelum matahari tenggelam. Ketika malam tiba , aku dan anjingku duduk di depan api unggun , sambil membakar daging kelinci hasil buruan kami. Lalu dua orang laskar menghampiriku, masing-masing sambil menghisap sebatang rokok
“ Selamat malam Opsir “ sapaku.
“ Malam nak “ sahut laskar yang lebih tua.
“ mau nyicip sate kelinci Pak? Enak lho “ aku menawari mereka sate kelinci
“ tidak tidak silahkan , kami cuma ingin ikut bersantai saja “ tapi mereka menolaknya
“ Tadi siang kami lihat , kisana masuk ke kampung itu “ mereka menanyakan tentang kampung itu
“ iya , saya Cuma mengantar teman saya. Ada apa Pak?”
“ Bagaimana? Kisana bertemu dengan kacang Ijo itu? “
“ Kacang Ijo? Siapa Pak ? “ tanyaku bingung.
“ itu , si Martin ABRI cucu TNI itu. “
“ ketemu sih , saya disuruh muter ga boleh masuk “ jawabku
“ Berarti kisana beruntung. Tempo hari bapak ini mengirim lima Anggota , yang pulang cuma tiga. Duanya tinggal mayat “ dan Laskar yang lebih tua kembali berkomentar.
“ Iya benar , dan tadinya saya pikir kalau kisana berani , mungkin kisana tertarik menyeret Martin ABRI ke Pos Keamanan , si perampok kereta api itu, hidup atau mati “ Rupanya mereka ingin meringkus Martin Abri tapi mereka tidak punya nyali.
“ Tak Perlu Risau , pasti kami bayar “
“ Berapa Pak? “ mereka pun menjawab
“ 500 ribu “ setara lima juta di dunia kalian. Ah kurasa nyawa anak itu masih tidak ada harganya. Biasanya , kriminal kelas kakap harganya dua juta rupiah atau setara 20 juta di dunia kalian.
“ Nanti kalau saya ke sana lagi , saya seret anak itu ke Posko Keamanan “ sahutku.
“ Cukup soal kerjaan. Jadi siapa gadis manis yang kau bonceng itu? “
“ ah cuma teman biasa Pak “ Dan pembicaraan pun beralih ke soal wanita. Mereka tidak percaya Luna tinggal di kampung itu karena biasanya, warga di sana berpakaian kumuh. Dan wajahnya pun sangat bersih. Aku jawab kalau Luna memang bekerja di Bogor dan aku hanya mengantarnya pulang ke kampungnya. Mereka pun akhirnya mencicipi sate kelinci yang kubakar dan tak lama kemudian , mereka pamit untuk kembali ke posko mereka.
Aku tertidur di api anggun tak lama setelah mereka pergi. Sedikit pun sebenarnya aku tidak berminat untuk menangkap apalagi membunuh bocah angkuh itu. Esok harinya , aku memilih berburu rusa karena menurutku lebih menarik. Hanya bermodal tali dan pisau , aku menyusuri hutan dari pagi-pagi buta untuk berburu rusa .
“ ah itu dia “ setelah beberapa jam bergeriliya , aku menemukan mangsa yang luar biasa. Rusa Bawean , yang harga perekornya , mungkin 200 ribu. Kulemparkan tali tambang itu lalu
“Hap!!” “ Dapat!!” Tali itu berhasil melilit lehernya. Ia berusaha melarikan diri namun aku menariknya. Seperti seorang koboi sungguh , kutarik tali itu , mengerahkan seluruh tenaga mencegah ia melarikan diri . Aksi ini sangat berbahaya bagi orang biasa karena biasanya , rusa ini akan membanting kalian dan menyeret kalian hingga ratusan meter. Rasanya seperti bermain tarik tambang. Namun ketika cukup dekat.
“cuss “ aku berhasil menggulingkan dan menggorok lehernya. Aku bernafas lega karena itu salah satu perburuan terkasar yang aku lakukan. Biasanya aku menggunakan busur panah namun busur itu tertinggal di rumahku. Beberapa jam setelahnya kuhabiskan untuk menguliti dan memotong-motong segala yang bisa kupotong sebelum kunaikkan hasil buruan itu ke atas kuda. Selanjutnya , aku berkuda santai menuju kemahku.
Tidak ada hukum yang melarang untuk menjual daging buruan. Aku tidak begitu suka daging buruan jadi aku hanya mencicipi sedikit , lalu menjual hasil buruanku ke pasar. Sekitar beberapa hari setelah perburuan itu , aku mendapat kurang lebih 250 ribu. (2,5 juta di dunia kalian) . Sedangkan dari bagian kepala , aku mendapat 150 ribu. Tentu saja orang akan membelinya untuk hiasan dinding, Jadi semuanya sekitar 400 ribu.
“ Mobil siapa itu? “
“ Wah ada juragan baru ya? “
“ Cantik sekali !! “
“ Kok bajunya mirip orang Republikan ya?”
Aku melihat banyak orang berkurumun di dekat mobil Innova yang tiba-tiba saja terparkir di pasar. Mereka melihat sesosok gadis yang sedang berjalan menaiki tangga ke masjid. Masjid itu sudah tua dan sangat sepi sehingga jarang sekali ada orang yang naik ke sana. Namun beberapa orang masih sering naik untuk mendapat pemandangan alam yang indah. Aku mengenali mobil itu dan aku mengenali gadis cantik itu.
“ Bona... “
Sejenak aku lupa tujuan saat aku kembali muda. Aku kehilangan arah dan bingung ingin aku apakan masa remajaku yang kedua ini. Namun saat melihat Bona, aku seakan kembali menjadi sosok seorang kakek lagi. Sedih , karena sudah pasti ia tidak mengenaliku. Aku dapat melihat wajah kesedihannya. Kami sangat dekat , jadi sangat lumrah jika ia sangat merasa kehilangan. Ia dikawal oleh dua orang laskar berkuda. Pakaiannya modern dan sangat mencolok, sehingga banyak orang yang mengira ia seorang republikan ( sebutan untuk orang pendukung NKRI ). Memang , saat itu , kebanyakan orang mengenakan baju adat , atau baju-baju ala eropa seperti zaman kolonial.
Ia memegang Iphone Xiao Xiao dan mengambil gambar masjid , serta pemandangan. Sama seperti Xiao xiao , Bona juga mengagumi Islam , pemandangan , dan keindahan alam. Ia menanyakan sesuatu kepada sang laskar sambil menunjuk mesjid tua itu. Sang Laskar mengangguk dan tak lama ia melepas sepatunya dan masuk ke dalam.
“ anak itu masuk masjid!! Jelas sekali pasti Republikan!! “ Gerutu salah seorang ibu-ibu bergaun biru.
“ Ibu gak tahu , dia kan cucu Edi Koboi! “
“ oh gitu , Edi Koboi kan kaya sekali. Cantik juga ya cucunya “
Sebagian besar warga di kerajaan adalah penganut kepercayaan. Jadi wajar jika mereka kaget. Tadinya aku ingin ikut naik , tapi aku tidak punya nyali menghampirinya. Aku terdiam di sana dan tak lama ia kembali keluar. Ia berjalan dan mulai menuruni tangga dan saat itu lah , kedua mata kami bertemu.
Rasanya seperti saat pertama aku melihat Xiao-xiao. Ia sama cantiknya. Sama mempesonanya , dan sama manisnya. Entah apa yang ia rasakan namun saat itu ia juga ikut terdiam. Ia bisa saja berteriak dan menyuruh laskar untuk menangkapku di tempat. Tapi ia tidak melakukannya. Sama seperti saat kami bertemu di tepi jalan itu , aku melihat Xiao xiao di balik tatap mata itu. Mataku berair, dan saat itu juga aku mundur dan berbalik. Ia tidak mengatakan apa pun apalagi berteriak. Ia kembali berjalan turun dan saat aku sudah cukup jauh, mobil itu berjalan meninggalkan pasar.
Ketika aku melihat Bona dan ia melihatku , kenangan-kenangan xiao-xiao kembali menyambar pikiranku. Aku pun sadar , masa remaja yang kedua ini bukanlah hadiah , melainkan hukuman untuk menyiksa batinku lebih dalam lagi. Aku harus terjebak dengan kenangan-kenangan indah bercampur sakit , sementara orang disekitarku sudah mati atau pun tidak mengenaliku lagi. Saat Bona melihatku , rasanya aku ingin kembali menua , agar aku dapat memeluk dan mencium kening anak angkatku itu lagi. Aku mampir ke tempat pemandian umum , selain untuk membersihkan tubuh , juga untuk menangkan pikiranku.