Episode 9. Fikri ( Bersabarlah Fikri )

1248 Words
Minggu, Pukul 11.00 Siang. Jakarta Utara. Jika mengingat kejadian seminggu yang lalu saat aku pulang ke Samarinda menemui Pak Amran, Selama itulah aku seperti kerbau di cucuk tanduknya. Ini semua karena Bunda. Si wanita paruh baya tercintaku itu tentu saja menggiringku ke tempat-tempat dimana banyaknya kaum hawa seumuranku berada. Apalagi saat ini. Hal itu kembali terjadi. Bunda berada satu mobil denganku. Bunda datang ke Jakarta. Katanya mau lihat bisnis restoran yang aku kerjakan. Bisa dipastikan setelah itu kemungkinan Bunda akan mengajakku kembali ke tempat teman-temannya yang juga tinggal di kota ini kemudian berakhir dengan perjodohan putri-putrinya. Situasi sekarang sudah siang. Mobilku terjebak macet di kota Jakarta. Aku baru saja menjemput Ayah dan Bunda dari bandara. Ayah dan Bunda sekarang sedang duduk di kursi bagian belakang mobil. "Ya Allah. Macet banget. Kapan sampainya Fik?" "Beginilah kota Jakarta Bun." "Apakah setiap hari kamu begini?" Aku melirik Bunda melalui kaca spion tengah mobilku. "Tidak jika aku pulang larut." "Apa? Pulang larut?" "Hm." "Lah memangnya kamu ngapain pulang larut? Kamu pergi ke tempat yang tidak-tidak ya?" Aku terkekeh geli. Bisa-bisanya Bunda mencurigaiku sebagai anak yang baik ini ketempat seperti itu. "Ya enggak lah Bun. Fikri bekerja." "Kerja kok sampai malam? Kamu punya asisten. Gunanya dia itu bantu kamu Fik. Jangan kebanyakan lembur atau bergadang deh. Nanti gak sehat. Bisa sakit-sakitan." "Iya Bunda iya." "Kalau sakit nanti Bunda kepikiran. Kasian bayi besar Bunda kalau sakit belum ada yang urus." "Fikri bukan bayi." "Tetap saja bayi kalau belum menikah." "Iya Bundaaaaa iya." Dan akhirnya aku mengalah saja pada perdebatan ini. Ayah tertawa geli. Aku hanya berusaha menahan sabar. Bunda selalu saja begitu. Selalu mengkahwatirkan diriku secara berlebihan. Padahal insya Allah aku akan baik-baik saja. "Sabar nak sabar." Ayah menepuk pundaku. "Orang tampan itu banyak cobaannya. Contoh tuh kakakmu. Dia mewarisi ketampanan Ayah dengan menggaet Aiza. Kapan kamu gunakan ketampanan mu itu nak? Jangan sampai Bunda mengeriput karena stress akibat kepikiran kamu terus." "Hush!" Suara Bunda menegur Ayah terdengar. Aku melirik ke arah Bunda lagi melalui spion tengah. Ayah terlihat meringis. Mungkin tadi Bunda memberi cubitan gemas pada Ayah. "Gini-gini aku rajin perawatan loh Yah. Jangan berpikir seperti tadi." "Sudahlah Bun. Jangan khawatirkan Fikri. Dia itu sibuk. Mungkin ada saatnya dia akan menemukan jodohnya." "Iya tapi kapan? Anak kita cuma dua Yah. Kakaknya sudah menikah. Tinggal dia saja nih yang belum." "Sabar Bun sabar." ucap Ayahku dengan lembut. "Tapi yah Bunda itu khawatir. Dia sudah dewasa. Sudah saatnya menikah. Jangan sampai terjerumus kedalam kemaksiatan kepada yang bukan mahramnya." "Fik." "Ha?" "Besok temani Bunda ya." Nah kan. Apa kubilang? Bunda itu selalu saja minta temani kesana dan kesini. Ujung-ujungnya pasti berakhir dengan mempertemukan diriku dengan putri dari anak-anak teman Bundaku itu. "Maaf besok Fikri sibuk." "Sibuk apa?" "Em..." Seketika aku terdiam. Ya Allah.. Aku harus apa? Tidak mungkin kan aku membohongi Bunda? Tiba-tiba aku teringat mengenai laporan penjualan restoran bulan ini. Apakah bulan ini keuntungan pemasukan restoran sedang meningkat atau tidak? Apalagi- "Fik?" "Eh? Em Bun Firki-" "Kamu sedang tidak mencari alasan kan nak?" Seketika aku gugup. "Maaf Bun. Besok Fikri ada urusan pekerjaan." Aku menghentikan mobilku saat lampu menyala merah di persimpangan 4. "Urusan pekerjaan? Bukankah bisa di wakilkan oleh Romi?" "Bukan soal urusan kantor Bun. Ini soal bisnis restoran Fikri. Sekalian Fikri ingin bertemu secara langsung sama karyawan bagian keuangan. Ada hal penting yang ingin Fikri sampaikan." "Tapi-" "Sudahlah Bun. Fikri benar." suara Ayah kali ini terdengar. "Sebuah bisnis itu harus dikerjakan dengan baik. Kalau salah-salah dalam mengerjakannya, kita bisa rugi ataupun bangkrut. Jangan sepelekan keuangan dalam urusan bisnis Bun. Kali aja Fikri memang harus bertemu dengan karyawan yang sudah mengelola keuangan restorannya." Aku bernapas lega. Akhirnya Bunda terdiam. Bunda pun mengalah setelah Ayah memberi saran seperti itu. "Bunda bawa Ayah saja ya. Ayah ini tampan. Tidak malu-maluin. Iya kan Fik?" Sela Ayah lagi. Lampu kembali menyala hijau. Aku hanya mengangguk. Terpaksa sih hehehe. Aku iyakan saja ketampanan Ayah itu. Daripada nanti Ayah menangis dan bersedih. Iya kan? **** Restoran Keluarga Delicious by Fikri. Pukul 17.00 sore. Jakarta Utara. "Asalamualaikum Pak?" "Wa'alaikumussalam." Aku menatap seorang pria paruh baya bernama Pak Gilang. Seorang tangan kanan yang menjadi kepercayaanku untuk menangani restoran keluarga milikku ini. Setelah dari D'Media Corp. Aku menyempatkan waktu kemari untuk melihat kondisi dan situasi restoranku. "Maaf Pak. Ada apa ya memanggil saya?" "Silahkan duduk Pak Gilang." ucapku padanya. Pak Gilang hanya mengangguk. Dengan sopan beliau duduk di hadapanku. Lalu aku menatap serius. "Saya mau lihat laporan keuangan penghasilan restoran ini." "Baik Pak. Saya akan mengambilkannya." Aku mengangguk. "Oke saya tunggu. Oh iya Pak. Saya ingin yang mengantarkan laporannya langsung dari karyawan pengelola keuangan itu ya." "Ah itu.." Pak Gilang mengangguk dan tersenyum tipis kearahku. "Baik Pak. Saya akan menyuruhnya keruangan Bapak." "Oke. Terima kasih. Kalau begitu Pak Gilang boleh keluar." Pak Gilang segera berdiri dari duduknya. Ia pun menunduk dengan sopan kemudian keluar ruangan. Sambil menunggu kedatangan karyawan itu, aku mengecek ponselku. Lagi-lagi aku terdiam. Aku menatap foto almarhum Devika yang menjadi wallpaper ponselku. Sebuah Foto yang diam-diam aku ambil saat dia sedang meminum segelas jus di restoran. Rasa rindu ini semakin menyiksa. Rindu dengan sosoknya saat ia masih hidup sebelum kembali pada Allah. Suara pintu pun terketuk. "Asalamualaikum?" "Wa'alaikumus-" Aku terkejut. Kedua mataku terbelalak. Ya Allah. Apa aku tidak salah lihat? Bukankah dia.. Aku tertegun. Seorang wanita yang pernah aku jumpai di kota Aceh. Kenapa tiba-tiba dia ada di kota ini?  Aku menatap tangannya yang kini sedang memegang berkas. Lalu tatapanku beralih ke kakinya yang hanya mengenakan kaus kaki tanpa alas. "Wa'alaikumussalam." ucapku akhirnya. "Sepatu kamu mana?" tegurku tanpa basa-basi. "Maaf Pak. Diluar." "Diluar?" Dia mengangguk. Aku mengerutkan dahiku tidak mengerti. "Kenapa? Apakah kamu tidak memakainya?" "Maafkan saya Pak. Saya takut lantainya kotor?" "Apa?" Aku terdiam sejenak. Ya Allah wanita ini. Kenapa dia berpikir seperti itu? Aku tidak mau berpikir panjang. Tujuanku sekarang hanyalah meminta laporan keuangan restoranku bulan ini. "Lupakan saja. Ah mana laporannya. Saya mau lihat." "Ini Pak." Aku menerima berkas laporan itu. Halaman demi halaman aku membukanya. Membacanya dengan teliti. Alhamdulillah pemasukan dan keuntungan begitu besar. Semuanya lancar. Allah benar-benar pemberi rezeki yang berkah untukku. Aku kembali menatap wanita itu. Wanita yang belum aku ketahui namanya. Lalu aku sedikit bingung lagi melihat dia. Dia seperti memeluk erat dirinya sendiri. "Ada apa?" tanyaku lagi padanya. "Saya kedinginan Pak." "Kedinginan?" Dia mengangguk. Awalnya aku bingung. Lalu aku teringat AC di ruangan ini yang sedang menyala full dengan sejuk dan dingin. Padahal diluar sana cuaca sedang panas. "Kamu tidak tahan Pakai AC?" "AC itu apa Pak?" Rasanya aku ingin menepuk jidatku. Maaf bukannya apa. Setahuku dia tinggal di kota kan? Kenapa dia sangat gaptek sekali? "Sudah lupakan saja. Ini.." aku menyodorkan remote AC kearahnya. Awalnya dia bingung. Lalu tak lama memegang remote AC itu. "Kalau dingin matikan saja." "Matikan?" "Iya. Matikan. Supaya kamu tidak kedinginan." "Maafkan saya Pak. Kita tidak boleh membunuh." "Membunuh? Maksud kamu? Membunuh dari mana?" "Maksud saya. Tadi bapak bilang matikan-" "Oh itu." potongku dengan cepat. "Maksud saya Off kan saja AC nya. Kamu bisa lihat tombol On dan Of diremot itu kan?" Dia menatap remote AC yang sudah ia pegang beberapa menit yang lalu di tangannya. Lalu ia pun akhirnya mengangguk. Aku hanya berusaha sabar. Dalam hati aku beristighfar berkali-kali. Ya Allah. Kenapa didunia ini ada wanita seperti dia? "Maaf Pak?" "Apa lagi?" Dia terlihat terdiam. Dia terlihat sedikit tidak tenang. "Ada apa?" "Em.. cara gunain remote ini gimana?" Dan lagi. Rasanya aku ingin membenturkan wajahku ke meja kerja saat ini juga. Allahuakbar wanita ini.. *** Author ; sabar Fik. Sabar  Dia memang gaptek. Itu kekurangan dia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD