13. Fikri ( Ada Apa Dengan Afrah )

1150 Words
D'Media Corp. Pukul 11.00 siang. Jakarta Utara. Aku membaca hasil investasiku pada perusahaan penyiaran milik Pak Lana yang ada di Aceh sebulan yang lalu.  Siaran Dakwah dan Tausiah mereka memang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Aku melirik ke arah ponselku yang sejak tadi berdering. Nama Bunda terpampang disana. Sebenarnya aku sedikit terganggu. Tapi mau gimana lagi? Sepertinya itu penting sampai akhirnya ini sudah ke sekian kalinya Bunda menghubungiku namun aku mengabaikannya. "Asalamualaikum Bun. Ada apa?" "Wa'alaikumussalam. Ya Allah Fikriiiii!!!" Aku meringis sampai menjauhkan posisi ponsel dari telingaku. Suara Bunda terdengar nyaring penuh amarah. "Fikri? Halo? Halo? Halo bayi besar Bunda. Apakah masih ada disana???????" Aku menarik napas panjang. Ya Allah, bayi besar. Dua kata itu sekarang menjadi julukanku selama Bunda tinggal di Jakarta sini. "Iya Bun Iya. Fikri disini." "Jam berapa kamu pulang nak?" "Sore Bun. Ada apa?" "Alhamdulillah deh. Ah jangan keluyuran ya! Malam ini ada acara syukuran di rumah Fara. Dia habis pindahan." "Kenapa Bunda baru bilang? Bukankah tadi siang kita makan bersama sama mereka di restoran Fikri? "Bunda lupa." Suara Bunda tertawa terdengar. "Maklum sudah tua. Sudah mulai pikun. Tapi sayang banget, tua-tua gini kamu belum menikah. Jadi kapan Fik?" "Apanya yang kapan?" "Nikah Fik Nikah! Allahuakbar bayi besar." "Bundaaaaa-" "Fik. Fara itu cantik loh. Serasi sama kamu. Dia juga cantik seperti almarhum Devika dulu." Aku berusaha menahan sabar. Yang sedang berbicara denganku ini adalah ibu kandungku. Jangan sampai aku emosi. Astaghfirullah..  Astaghfirullah.. Astaghfirullah.. Dzikirku dalam hati. Aku menyenderkan punggungku di sandaran kursi kerjaku. Aku memijit keningku yang sedikit pusing. Pekerjaan yang menumpuk dan tuntunan dari Bunda padaku untuk segera menikah. "Devika tidak akan tergantikan sampai kapanpun Bun. Fikri mohon mengertilah." "Bunda sudah ngertiin kamu selama 5 tahun. Apakah itu semua belum cukup buatmu?" "Bun-" "Kamu sudah dewasa secara umur. Umur kamu sudah 30 tahun Fik. Secara finansial kamu juga sudah mapan. Harta sudah ada. Rumah. Mobil. Pekerjaan. Apa lagi yang kurang? Istri kan?" Samar-samar aku mendengar suara Ayah yang terbatuk. Mungkin saat ini Ayah ada didekat Bunda. "Tuh lihat. Ayah kamu sudah mulai sakit-sakitan. Tadi malam Bunda nemanin Ayah ke dokter. Kata dokter kolesterol Ayah tinggi lagi." "Bunda tidak perlu mengkhawatirkan Fikri secara berlebihan Bun. Insya Allah Fikri akan baik-baik saja. Percayalah." "Tapi siapa yang bisa mengetahui di masa depan?" "Bunda. Fikri-" "Kamu harus ambil pelajaran dari kakakmu itu. Dulu Arvino itu playboy. Sering gonta-ganti pasangan. Bunda sampai khawatir. Kemaksiatan yang dilakukannya dimasalalu membuat Bunda mengkahwatirkanmu juga nak." Aku terdiam. Apa yang dikatakan Bunda itu benar. Meskipun pada akhirnya kakakku si Arvino itu sekarang sudah bertaubat bertemu dengan wanita yang di cintainya. Tapi bagaimana denganku? Aku hanya mencintai Devika. Itu saja. Aku tidak ingin mencari wanita lain. "Fik?" "Iya Bun." "Apakah kamu ada wanita pilihan kamu sendiri sehingga menolak berbagai macam tawaran perjodohan dari Bunda?" "Ha?" "Apakah Bunda benar?" Aku menggeleng cepat. "Tidak Bun. Itu tidak benar. Aku tidak pernah dekat sama siapapun kecuali almarhum Devika sewaktu dulu. Itu saja." "Tolong pikirkan baik-baik Fik. Demi keselamatanmu didunia dan akhirat. Segeralah menikah. Jangan menunda-nunda sampai akhirnya kamu menyesal di kemudian hari." "Dan Bunda mengkahwatirkanmu selagi kamu membujang penuh kebebasan." Allah Ta'ala berfirman, وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang k**i. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra': 32) **** Apartemen Casanova. Pukul 17.00 Sore. Jakarta Utara Pukul 17.00 sore. Alhamdulillah akhirnya aku pulang dengan selamat sampai apartemen. Aku duduk di pinggiran ranjang. Tubuhku terasa lelah. Akupun beralih membuka ikatan dasi yang rasanya begitu mencekik apalagi kemejaku saat ini yang terasa gerah. Pintu kamarku terketuk pelan. Ah sepertinya itu Bunda. Lalu aku meletakkan dasiku di pinggiran ranjang lalu membuka pintu kamarku. Aku mengerutkan dahi karena melihat Bunda membawa gelas ukuran 220ml berisi minuman berwarna oranye. "Nih minum." "Ini apa Bun?" "Ini jamu. Jamu beras kencur. Barusan Bunda buat didapur. Untuk kamu." Aku menerima segelas jamu tersebut. Raut wajahku saat ini terlihat ragu. "Buat apa sih Bun?" "Ini berguna banget buat kamu Fik. Jamu beras kencur itu untuk mempertahakan sistem kekebalan tubuh. Kamu kan masih bujangan. Belum punya istri. Kalau sakit-sakitan yang ngurus siapa?" Ya Allah. Lagi-lagi istri. Aku hanya mencelos. Aku merasa saat ini raut wajahku berubah suram. Dengan santai Bunda memasuki kamarku lalu duduk di sofa empuk yang ada di kamarku. Bunda mengedarkan pandangannya keseluruh kamarku. "Segitunya ya Fik kamu mencintai almarhum Devika?" "Ha?" "Tuh." Aku melihat tatapan Bunda ke bingkai foto berukuran kecil diatas meja lampu yang ada disamping tempat tidurku. Foto Devika. "Gimana mau move on kalau foto almarhum Devika disana?" "Bunda.. Bunda sebaiknya istirahat deh ya." Bujukku pelan. "Iya ini juga Bunda mau keluar." Aku melihat Bunda berdiri dari duduknya. "Bunda tunggu kamu memajang bingkai foto pernikahan dengan calon istri. Oke?" "Gak janji Bun. Insya Allah." "Ya pokoknya Bunda tunggu lah!" Boleh jujur tidak? Tiba-tiba kok aku merasa gemes sama Bunda aku yang cantik itu ya? Akhirnya Bunda keluar dari kamarku. Tiba-tiba Bunda menghentikan langkahnya lagi. "Jangan lupa jamu beras kencur buatan Bunda diminum ya. Awas gak! Atau Bunda akan doain kamu cepat nikah bulan ini." Allahuakbar. Elus d**a. **** Perumahan Komplek Pelita Indah. Blok A pukul 21.00 malam. Jakarta Utara. Alhamdulillah. Akhirnya acara syukuran pindah rumah baru Fara pun berjalan dengan lancar. Saat ini, aku sedang duduk bersantai di teras rumah Fara sambil mengecek ponselku. Para tamu undangan sudah pulang apalagi saat ini jam sudah menunjukan pukul 21.00 malam. "Fikri?" Aku menoleh ke samping. Ah Fara. Saat ini wanita itu berada disampingku. "Ya?" "Em, makasih ya sudah menyempatkan waktu datang ke acara syukuran pindah rumah saya yang baru ini." "Sama-sama. Oh iya, Ibu saya masih sibuk didalam?" Aku melihat Fara melirik ke arah dalam rumah. Lalu beralih tersenyum kearahku. Ya Allah. Senyuman itu. Kalau boleh jujur. Fara memang cantik. Manis. Memiliki kedua mata seperti boneka dan berbulu mata yang lentik. Ntah lentik karena tambahan make up atau atau tidak. Aku tidak memperhatikan secara dekat. "Ibu lagi ngobrol sama Mama saya didalam." ucap Fara basa-basi. "Oh. Baiklah, aku akan menunggu disini saja." "Boleh duduk ikut di sini juga?" Aku tersenyum tipis. "Tentu. Ini kan rumah kamu. Kenapa tidak?" Fara tertawa. Kalau boleh jujur, kami baru pertama kali saling mengenal. Dan Fara sosok wanita yang enak di ajak berteman sekaligus berbincang ringan. "Saya juga mau berterima kasih denganmu Fik. Kamu mau menerima saya sebagai karyawan kamu di perusahaan." "Sama-sama. Semoga bisa saling bekerja sama." Lalu kami terdiam. Bingung harus berbicara apa lagi. Suasana menjadi canggung. Akhirnya aku berinisiatif berdiri dari dudukku. Aku berniat ingin masuk kedalam rumah dan tiba-tiba aku terdiam begitu saja. Tanpa aku sadari aku melihat Afrah di dekat pintu. Ah aku lupa. Afrah ada di rumah sini juga apalagi Afrah dan Fara tetangga sebelah. Tatapan kami bertemu sesaat. Apakah dia tadi menguping pembicaraan kami? Atau memang ada perlu denganku atau dengan Fara tapi tidak jadi mendekat? "Fikri? Ada apa?" Aku menoleh kearah Fara dan aku kembali menatap Afrah yang berlalu masuk kedalam. Ada apa dengannya? Dibalik cadarnya itu, rasa penasaranku begitu kuat. **** Apakah Afrah cemburu ? 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD