11. Fikri ( Mak Comblang Dari Bunda )

788 Words
Jakarta Utara. Pukul 06.00 pagi. Aku mengemudikkan mobilku dengan cepat. Jalanan belum terlalu macet mengingat saat ini masih pagi. Perasaanku tiba-tiba tidak tenang. Kabar duka baru saja terjadi dan itu membuatku terpukul. Romi. Asistenku itu. Dia baru saja mengalami musibah kebakaran. Parahnya lagi terjebak didalam rumahnya. Kejadian itu terjadi pada pukul 02.00 pagi. Suasana duka menyelimuti didepan kamar jenazah dengan penjagaan yang ketat oleh petugas rumah sakit. Dengan langkah lesu aku mendekati orang-orang yang sedang berduka. Mungkin mereka adalah keluarga dari Romi. "Asalamualaikum." "Wa'alaikumussalam. Pak Fikri." Salah satu pria muda menyambut kedatanganku. Kami bersalaman. Disebelahnya ada wanita yang sedang menggendong putra dari almarhum Romi. Putra itu terlihat umur 7 bulan. "Bagaimana itu bisa terjadi?" tanyaku pada pria muda itu. "Saya juga tidak tahu Pak. Menurut keterangan pihak kepolisian kebakaran di apartemen Om Romi akibat konslet listrik." "Lalu anak ini?" "Kebetulan Ayah saya membawa anak ini keluar rumah dan berjalan-jalan sejak siang kemarin dan menginap dirumah saya. Lalu tadi pagi, tepatnya jam 02.00 dini hari berita duka itu datang." "Status kamu dengan Pak Romi apa?" tanyaku padanya lagi. "Saya keponakannya Om Romi." Aku tak lagi banyak bertanya. Aku melihat putra Romi yang kini tertidur pulas dalam gendongan wanita itu. Mungkin wanita itu istri atau adiknya si keponakan almarhum Romi. Aku tidak berniat mencari tahu. Ntah kenapa aku begitu terpukul. Romi adalah sosok asisten pribadi dalam urusan kantor yang sudah bekerja denganku selama 5 tahun ini. Romi adalah Om bagiku. Dia sudah aku anggap seperti keluarga. Tapi apa mau dikata Allah memanggilnya untuk kembali padaNya. Suara lirihan anak kecil terdengar. Aku menoleh kearah suara yang tenyata suara putra kecil tadi. "Siapa namanya?" Wanita itu menoleh kearahku. "Muhammad Fauzan." Lalu aku terdiam. Sebuah pemikiran ingin mengadopsi anak itu tiba-tiba terlintas begitu saja di pikiranku. Romi sudah baik denganku. Jasa-jasa kebaikannya tidak akan terlupakan di benakku sampai kapanpun. Fauzan masih kecil. Sekecil itu yang kini sudah menjadi anak yatim piatu. Berbagai macam pemikiran memenuhi benakku. Sampai akhirnya waktu pun terus berjalan. Jenazah almarhum Romi dan istrinya akan di semayamkan kerumah duka sebentar lagi. Aku memilih menunda pekerjaanku sementara untuk menyisakan waktu detik-detik kepergian almarhum Romi dan istrinya. Apartemen Casanova. Pukul 20.00 malam. "Adopsi anak?" ucap Bunda tak percaya. Aku menatap Bunda yang terlihat terkejut. Malam sudah menjelang setelah berakhirnya sholat isya. Saat ini Aku, Ayah dan Bunda sedang berada di ruang tamu apartmentku. "Kamu yakin mau adopsi anak?" Aku mengangguk yakin. "Iya Bun." "Fikri, mengadopsi anak dan mengurusnya itu tidak mudah. Kamu saja belum menikah. Belum punya istri. Bagaimana bisa melakukannya?" "Bunda. Fikri paham dengan maksud Bunda. Fikri memang mengadopsinya. Tapi untuk sementara bukan Fikri yang merawatnya. Tapi keluarganya. Fikri akan menjadikannya anak angkat dan membiayai semua kebutuhannya." "Atas dasar apa Fik? Apakah karena rasa timbal balikmu pada almarhum asistenmu itu?" Sambung Ayah lagi yang sejak tadi banyak berdiam diri. Aku terdiam sejenak. Bunda tidak bermaksud melarangku. Bunda hanya tidak ingin aku bersikap tidak amanah setelah mengangkat seorang anak. "Bukan hanya sekedar itu Ayah." "Lalu?" "Aku berniat memberikan kasih sayang. Nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Itu saja." "Dia akan tinggal dimana nak? Kamu bekerja. Bagaimana bisa mengurusnya?" tanya Bunda lagi denganku. Nada suaranya saja masih terdengar khawatir. "Bunda jangan memikirkan hal itu. Putra kecil itu akan tetap bersama Om dan Tantenya. Fikri akan mengunjunginya seminggu sekali saat berlibur. "Bunda sama Ayah tinggal sementara disini." ucap Bunda santai. "Tinggal Disini?" ucapku sedikit terkejut. "Bagaimana rumah kita yang disana Bun?" "Gak perlu khawatir. Ada kakakmu dan Aiza yang akan tinggal disana." "Kenapa Fik?" tanya Ayah sambil menatapku curiga. "Kamu merasa keberadaan kami menganggu privasimu? Tenang. Tenang. Ayahmu yang tampan ini tidak akan mengusik hal-hal pribadimu." "Bukan." aku menggeleng cepat. "Bukan itu. Fikri hanya-" "Bunda dan Ayah akan disini. Memantau keseharian kamu terutama setelah pulang bekerja. Kamu makan apa. Jalan kemana. Dan masih banyak. Bujangan tampan sepertimu harus banyak di pantau sama Bunda." ucap Bunda tanpa bisa di bantah lagi. "Bundaaaaa-" "No! No! No!" Bunda bersedekap. "Tidak ada penolakan. Oke? Selagi kamu belum menikah Bunda akan terus mengkahwatirkanmu sayang. Tuh liat isi kulkasmu." Bunda menatapku jengah. "Bunda sampai miris lihatnya. Semua bahan makanan didalam kulkas benar-benar siap saji dan tidak sehat!" Aku hanya menghela napas panjang. Mau bagaimana lagi? Suara bel apartemen berbunyi. Bunda segera menuju pintu apartemen kemudian membukanya. Suara sapaan akrab terdengar. Bahkan suara seorang wanita tertawa juga terdengar. Aku menoleh ke ambang pintu. Dan aku terkejut. Dua orang wanita. Yang satu seusia bunda. Sepertinya teman Bunda. Dan yang satu lagi berusia muda. Berhijab. Cantik. Seumuran denganku. Kemudian tatapan kami tanpa sengaja bertemu. Ya Allah bunda...... Mak comblang lagi Mak comblang lagi. Author : sabar Fik sabar. Makanya cepat cari jodoh supaya bunda gak anggap kamu kayak bayi Makasih sudah baca. Maaf. Beberapa hari ini aku sibuk dan baru bs update cerita ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD