31. My Daddy is Mafia

2634 Words
Letty POV ___________      Setelah makan malam selesai dad memanggilku di sebuah ruangan. Aku tidak tahu apa yang ingin dia bicarakan padaku, tapi entah mengapa firasatku mengatakan sesuatu akan terjadi malam ini.      "Duduklah," ucap dad saat kami tiba di ruangan.    Aku duduk di hadapannya, sedangkan dad menuangkan martini ke dua seloki di hadapanku. Satu gelas di berikannya untukku dan satu lagi padanya.      "Letty, sebenarnya tujuanku mengajakmu berlibur adalah untuk bicara hal yang penting padamu. Ku harap kau bersedia mendengarkan perkataanku."      Dad menampakan ekspresi serius yang membuat bulu kudukku berdiri. Aku melarikan tanganku untuk menggapai segelas martini di hadapanku kemudian meneguknya perlahan.      "Aku menemukan ini di kamarmu," ucap dad sambil memperlihatkan sebuah map berwarna gelap dari dalam lacinya. Sedikit penasaran dengan itu, lalu aku mulai meraih map tersebut dan membukanya.    "What the ...," batinku saat membuka map tersebut. Sialan, isinya adalah berkas-berkas yang akan aku masukan ke kantor pusat CIA. Aku merutuki diriku yang tertangkap basah di hadapan dad. Aku menunduk sambil menutup pelan map di tanganku.      "Apa kau masih berniat menjadi anggota CIA?" Dad terdengar santai namun terkesan menyelidik. Tidak mungkin aku berbohong lagi jika dia sudah memiliki bukti seakurat ini. Inilah hal yang aku benci, situasi sial seperti ini akan membuat kami kembali terlibat pertengkaran.      "Dad, maafkan aku telah membohongimu. Tapi sungguh aku ingin sekali menjadi CIA," ucapku pelan sambil terus menatap ke bawah.      "Letty apa kau tahu tugas CIA?" lagi ucap dad. Aku tidak menjawab karena kurasa dia pun mengetahuinya.       Beberapa saat menjadi hening. Tidak satupun dari kami yang berani mengeluarkan suara. Hanya bunyi suara gelas yang di timbulkan oleh jari-jari dad yang terdengar. Kemudian terdengar suara ketukan pintu dari luar pintu.      "Tuan besar, mereka sudah tiba," ucap paman Bruce dari balik pintu. Aku kembali mendongak saat melihat paman Bruce dan bertepatan saat dad memutar wajahnya. Dia menatapku lalu aku kembali menunduk.      "Lima menit lagi, Bruce," ucap dad dan kemudian paman Bruce meninggalkan kami. "Letty, apa kau ingin tahu mengapa aku tidak mengizinkanmu menjadi CIA?"       Aku mendongak menatap dad dengan tatapan penuh pertanyaan. Setidaknya dad perlu memberiku alasan yang kuat untuk ini.       "Karena aku seorang mafia," ucapnya. Sungguh raut wajahnya begitu tenang saat mengucapkan kalimat itu.      Aku membulatkan mata dan aku terkekeh kecil. "Lelucon macam apa ini, Dad?" ucapku sambil menahan tawa. Namun yang aku lihat dad tidak tertawa sedikitpun. Dia menatapku dengan raut wajah serius seakan mengingatkanku untuk tetap diam di tempatku.      "Kau tidak percaya?" ucap dad dan aku menggeleng. Jelas saja, apa sebenarnya alasan dad mengatakan hal konyol itu padaku. Namun tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dan kali ini Scarlett yang datang sambil membawa sebuah tas yang entah apa isinya.     "Tuan besar," panggil Scarlett. Dia tepat berada di sisiku lalu meletakan tas itu di atas meja. "Silahkan anda dan nyonya muda memakai ini sebelum kita menemui mereka."      Scarlett menaruh tas yang dia bawah ke atas meja dan mulai mengeluarkan isinya. Pertama dia mengeluarkan wig dan langsung di pakaikan Scarlett pada dad, kemudian kumis palsu lalu Scarlett juga menaruh beberapa bintik hitam di wajah dad. Aku hanya diam sambil melihat mereka berdua. Setelah selesai Scarlett melirik ke arahku.     "Nyonya muda, silahkan pakai wig juga." Scarlett mengeluarkan sebuah wig blonde berwarna keemasan padaku.     "Untuk apa semua ini?" ucapku dengan sedikit menaikan suaraku.      "Pakailah jika kau ingin menemukan jawaban dari pertanyaanmu," ucap daddy. Aku semakin bingung. Untuk apa aku melakukan semua ini, apakah dad tidak bergurau bahwa dia seorang mafia? Jika memang benar lalu apa yang akan aku lakukan? Dan apa tujuan dad melakukan ini padaku.       Terpaksa aku memakai wig yang di berikan Scarlett. Jika sudah begini aku tidak bisa mundur lagi, jika aku menolak aku tidak akan tahu apakah ini nyata ataukah hanya lelucon dad. Dad meninggalkan aku dan Scarlett di dalam ruangan, ini kesempatan aku untuk bertanya pada Scarlett.      "Scarlett jawab dengan jujur apa ayahku seorang mafia?"     "Tuan besar sudah mengatakannya, bukan?"     "Jawaban macam apa itu, Scar? Aku butuh kau menjawab ya atau tidak." Nada sarkasmeku mulai keluar sedangkan sekujur tubuhku memanas diikuti detak jantungku yang meninggi.     "Ya," jawab Scarlett dengan nada santai. Sialan, apa ini benar-benar kenyataan atau aku sedang bermimpi.      Scarlett menyuruhku mengganti pakaian. Aku diam dan mengikuti perkataan Scarlett.      Jantungku berdegup kencang antara percaya atau tidak. Ayahku, Fredricksen Van Der Lyn seorang pengusaha kaya raya, memiliki perusahaan pembuat permata yang kini mulai melebarkan bisnisnya. Uang, harta, kedudukkan dan kekuasaan sudah lama menjadi bagian dirinya, lalu apa yang aku dengar malam ini? Ayahku sendiri mengatakan bahwa dirinya seorang mafia? Aku bahkan tidak tahu apa sebab ayahku berkata seperti itu, tapi melihat keseriusannya rasanya tidak mungkin dia berbohong. Sekarang apa yang harus aku lakukan?     "Ayo, nyonya muda." Suara Scarlett menarikku kembali ke dunia nyata. Dimana aku tengah bersiap untuk mengetahui tujuan dad mengatakan hal tidak masuk akal padaku.     Tubuhku bergetar saat kakiku mulai melangkah. Aku tidak berani menatap kedepan. Aku terus berjalan hingga kami sampai ke bagian belakang kabin.    "Tuan besar, kami sudah siap mengirimkan paketnya," ucap paman Jhony yang telah berganti pakaian. Kurasa dia juga sedang menyamar. Ada beberapa tumpukan peti yang tersusun di hadapanku, petinya cukup besar dan mereka mulai mengangkut satu per satu peti itu dan di pindahkan ke speed boat yang terparkir di luar kabin.      "Letty," Dad memanggilku untuk mendekat saat dia memberi kode pada salah satu pengawalnya yang tidak begitu aku kenal. Pria bertubuh kekar seperti paman Jhony itu membuka tutup peti pada peti terakhir yang masih tersisa.         Mataku membelalak, mulutku menganga dan aku tidak percaya dengan apa yang sedang aku lihat. Bukankah itu heroin? Mengapa ada banyak tumpukan bubuk ekstasi itu di dalam sana? Tanganku terangkat menutup mulutku.         Aku memutar wajahku menatap dad yang berdiri di sampingku. Dia terlihat begitu tenang.      Apa ini? Apakah dad seorang bandar narkoba?     Ya Tuhan, jika ini mimpi buruk kumohon bangunkan aku sekarang. Aku tidak kuat melihatnya.     Sedetik kemudian Daddy berbalik. Mataku lalu bertemu dengannya. Dia tersenyum padaku. "Sayang, aku seorang bandar narkoba, dan bukan cuma itu, aku sendiri yang memproduksi semua ini untuk di jual. Aku adalah kepala dan dalang dari penjualan narkoba terbesar di dunia. Akulah dia yang mereka incar selama ini," ucap daddy. Sungguh wajahnya begitu santai saat mengucapkan kalimat barusan.      Dadaku sesak, tubuhku serasa di hujami ribuan jarum. Aku menggeleng dengan tegas, aku berusaha menentang kenyataan pahit ini. Selama ini aku sangat membenci orang-orang yang mengedarkan Narkoba. Aku bahkan mengkampanyekan gerakan anti narkoba di sekolahku, aku mengutuk para bandar dan pengedar narkoba yang keji dan tega merusak moral dan mental sebagian orang, namun ternyata orang yang selama ini menjadi bandar narkoba adalah ayahku sendiri. Miris, hidupku terlalu menyedihkan dengan kenyataan ini. Air mataku bercucuran melihat pria di hadapanku sedang tertawa sambil menyuruh anak buahnya mengirimkan paket terakhirnya.      "Hentikan, HENTIKAN!!" teriakku.    Aku histeris saat aku menyadari bahwa paket terakhir sudah hampir sampai ke speed boat. Namun, seseorang menahan lenganku untuk tetap diam di tempat. Aku memutar tubuhku dan hendak menendang orang di hadapanku ini.     "Aku tidak percaya ini. Selama ini kau adalah ayah terbaik yang aku yakin hanya kau seorang ayah terbaik di dunia. Selama ini kau mengajarkan mental dan fisik yang kuat untukku. Tidak ku sangka, kau menghancurkan moral dan mental banyak orang di luar sana. AYAH MACAM APA KAU INI!!" Aku berteriak.       PLAK     Sebuah tamparan mendarat di pipiku saat nada bicaraku mulai meninggi. Tamparan yang dihadiakan ayahku sendiri untukku. Pipiku terbakar namun anehnya bibirku malah tertawa.      "Cih!"     "Letty, aku tidak bermaksud melukaimu. Tapi untuk terakhir kalinya berhentilah menaikan nada bicaramu pada ayah-"     "KAU BUKAN AYAHKU." Aku kembali berteriak dan membentak di depan wajahnya. Emosi telah mengambil alih diriku hingga tubuhku bergetar sesuai ritme jantungku yang semakin kencang bersamaan dengan hancurnya hatiku. Dia diam sambil matanya terus menatapku.     "Letty dengarkan aku bisnis ini,"    "Berhenti memanggil namaku. Kau bukan ayahku." Aku menghempaskan telapak tangannya yang menggenggam lenganku. Aku berlari ke arah jetski dan dalam satu hentakan tangan aku melarikan jetski yang sedang aku tumpangi ke dalam laut.      Udara dingin dan ombak laut langsung menyapaku namun aku tidak peduli, yang aku pikirkan hanyalah bagaimana mengejar speed boat yang mengangkut barang haram itu dan menggagalkan pengirimannya. Entah dimana mereka akan membawa barang haram itu, aku tidak peduli. Kudengar dari belakang beberapa orang sedang mengejarku menggunakan jetski, aku terus memacu jetski ini untuk menyusul speed boat milik dad yang mengarah ke sebuah pulau kecil di tengah laut Miami. Beberapa meter lagi aku akan sampai, akan aku patahkan leher mereka semua.      "Hentikan. Berhenti di situ!" Aku meneriaki orang-orang yang baru turun dari speed boat saat aku sampai di daratan pulau. Mereka diam saja, aku hendak berlari ke arah mereka namun sesuatu menusukku dari belakang, seperti di suntik jarum. Lantas aku memutar tubuhku namun tidak ada siapapun di belakangku. Aku terus berlari namun penglihatanku memburam. Sial, mereka menembakan bius dari jarak jauh. Tubuhku mulai letih saat jarakku dengan mereka hanya tinggal beberapa inci.      "Sial ...." teriakku dan seketika itu pula aku merasakan tubuhku ambruk di atas pasir. ***** Aku lahir dalam keluarga yang sempurna. Di kelilingi orang-orang yang sangat menyayangi ku, mencintaiku sepenuh hati mereka. Di kelilingi harta dan uang yang melimpah. Aku hanya tinggal membunyikan jariku untuk mendapatkan yang aku mau. Aku tidak pernah merasa susah sekalipun. Namun ... hari ini aku tahu bahwa hidup sekaya dan semewa apa pun tidak akan menjamin kebahagiaan akan terus berada di sampingku, memelukku dan semua itu tidak akan pernah sirna. Kupikir hidupku akan bahagia sampai tua. Aku kaya, kuat dan memiliki segalanya. Tapi, ternyata semua harta dan uang yang aku nikmati didapatkan dengan cara yang haram. Ayahku, yang aku kenal sangat baik dan dermawan ternyata seorang mafia. Ironis. Hatiku pilu. Betapa kejamnya dunia ini, kenapa harus aku yang merasakannya? Kenapa harus ayahku? Aku terobsesi untuk memata-matai orang-orang yang memiliki organisasi rahasia namun ternyata orang itu ada di hadapanku. Apa yang harus aku perbuat? Haruskah aku melaporkannya kepada polisi? Jika iya, berarti ayahku akan di penjarakan bahkan mungkin dia akan menghabiskan sisa hidupnya dalam penjara yang dingin dan gersang. Tapi, jika aku tidak melakukan sesuatu berarti aku menghianati diriku sendiri. Aku sudah berjanji akan memusnahkan orang-orang kriminal di luar sana. Tapi bagaimana jika orang itu adalah ayahku sendiri? Oh Tuhan, kumohon jangan tinggalkan aku. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku ingin menghancurkan bisnis gelap ayahku namun aku tidak ingin dia mendekam dalam penjara. *****      "Arghhh ...." Aku meringis. Kepalaku pening saat aku mencoba untuk menarik tubuhku.     "Dimana ini?" Aku melihat sekelilingku. Disini begitu gelap. Dinding yang dingin dan gelap, ruangan tak berpintu. Lalu dimana aku? Aku mencari-cari kesadaranku sambil berusaha mengingat apa yang sudah terjadi padaku sebelum ini. "Letty aku seorang mafia." "Sayang, aku seorang bandar narkoba." "Akulah orang yang selama ini mereka incar."    Aku merinding dan memeluk diriku saat mengingat apa yang baru saja terjadi padaku. Kupikir ini hanyalah mimpi buruk yang segera berlalu saat aku bangun, namun kenyataan lebih menyakitkan sekarang. Aku tidak berhasil menggagalkan pengiriman terakhir dan berakhir di dalam penjara ini.   Kutarik napas dalam-dalam sambil memaksakan diriku untuk duduk. Dunia membuatku sadar bahwa aku sedang tidak bermimpi saat kulihat sekeliling ruangan yang lebih menyeramkan dari sebuah penjara.     Apakah ayahku yang melakukan semua ini? Jika iya, betapa teganya dia. Fredrick mengirimku ke penjara, sementara dialah penjahat yang sesungguhnya.     Aku menutup wajahku ketika sebuah cahaya yang menembus tembok langsung menyoroti mataku, disusul dengan bunyi langkah kaki seseorang yang mulai mendekat dan berhenti tepat di depanku. Aku mendongak dan mendapati seorang pria bertubuh kekar sedang berdiri di hadapanku. Aku tersenyum kecut saat mendapati orang itu adalah Fredrick.      "Inikah liburan yang kau maksud? Jika iya, aku sangat menikmatinya," ucapku dengan nada ketus. Aku kembali menunduk.      Fredrick bergerak lalu tiba-tiba dia mengambil tempat di sampingku. Aku bergeser dan memilih untuk menjauhinya.     "Kau sudah sadar? Maaf, ayah terpaksa membiusmu." Fredrick berusaha meraih pundakku dengan telapak tangannya namun dengan cepat aku menepis tangannya yang hendak menyentuhku.     "Kenapa tidak kau bunuh saja aku ... Ayah?" Aku memberi penekanan saat mengucapkan kata Ayah.     Fredrick menghela nafas panjang kemudian melipat kedua tangannya sambil menunduk.      "Ayahku begitu dingin pada kami, sejak kecil kami tidak mendapat kasih sayang darinya. Dua puluh tahun yang lalu ibuku meninggal di sini, di Miami di rumah terkutuk ini,"        "Apa di bilang di sini, berarti di sini? Di tempatku berada? Berarti aku tidak di penjara. Lalu tempat apa ini?" Aku membatin dan tidak ingin menyela cerita Fredrick.       "Kau tahu, ayahku sebenarnya seorang mafia. Dia terlibat dalam organisasi gelap ini jauh sebelum aku dan Lucas di lahirkan. Dia membentuk kami menjadi lelaki yang kuat agar kami bisa melindungi keluarga kami. Albert mewariskan bisnis gelap ini pada kami, dan selanjutnya akan kami wariskan kepada kalian."       "Cih!" Aku mendecih lalu membuang muka dengan kasaer. "Dan kau pikir aku akan dengan senang hati menerimanya? Biarpun aku mati sekalipun aku tidak akan pernah terlibat dalam bisnis harammu," tukasku.      Fredrick menggeleng pelan sambil terkekeh kecil, entah apa maksudnya. Apa perkataanku terdengar seperti lelucon baginya?      "Kau keras kepala sama sepertiku, awalnya aku juga tidak ingin menerima tawaran ayahku," Fredrick memutar tubuhnya menghadap padaku sebelum dia meneruskan perkataannya, "pikirkanlah, jika bukan kau lalu siapa yang akan melindungi keluarga kita jika aku tiada?"      "Itu sama sekali tidak ada hubungannya. Bicaramu bertele-tele," ucapku sarkastik.      "Tentu saja ada. Kau hanya tidak tahu, banyak orang di luar sana memburu keberadaanku. Mereka mengincar nyawaku dan mungkin juga mengincar nyawa keluargaku."     "Kalau begitu hentikan bisnis harammu sebelum menelan korban," sergahku. Aku tidak mau kalah dengannya.      "Jika aku berhenti lalu siapa yang akan memberi makan para pegawai yang bekerja untukku?"      "Kau punya harta melimpah, perusahaanmu tersebar di mana-mana. Haruskah aku jelaskan lagi caranya?" Sejujurnya aku tidak tahu mengapa nada bicaraku terus meninggi. Dia ayahku tapi, rasa hormatku padanya seolah menghilang dan itu karena kesalahannya.     "Kau tidak mengerti Letty, mereka tidak bisa diterima di perusahaan manapun karena mereka semua mantan narapidana."     Aku tidak tahan lagi, akhirnya aku mengangkat kepalaku kemudian menatap wajah Fredrick dengan sinis.  "Apapun alasanmu tetap saja caramu salah. Alasanmu tidak membenarkanmu menjalankan bisnis ilegal. Kau menyelamatkan para pekerjamu tapi kau membunuh mental banyak orang di luar sana. Apa kau masih menganggap dirimu benar?" ucapku dengan lantang dan tegas membuat Fredrick tidak menjawab. Bagus, ku harap dia mulai berpikir untuk berhenti dari pekerjaannya. Fredrick berdiri dari duduknya.       "Jika memang kau tidak ingin bergabung denganku, maka maafkanlah aku." Fredrick menepuk pundakku. "Kau akan menghabiskan hari-harimu di dalam sini," lanjutnya. Aku mendongak menatap Fredrick, ayahku.       Aku tersenyum sinis padanya.  "Terserah padamu. Aku tidak peduli," jawabku. Tidak ada jawaban lagi dari Fredrick selain meninggalkanku sendiri di sini.      Air mata kembali membasahi pipiku saat Fredrick menutup pintu dan menghilang di balik dinding gelap itu. Dadaku begitu sesak. Tubuhku masih lemah akibat obat bius yang di suntikan Fredrick padaku. Aku bahkan tidak bisa merasakan degup jantungku sekarang karena deru nafasku yang kian menghembus tak beraturan. Aku ingin lenyap di telan bumi saat ini. Aku kacau, aku marah dan menderita. Kenapa kenyataan ini sangat menyakitkan bagiku.       Dimana mom? Aku sangat membutuhkan pelukkannya sekarang. Aku ingin meminta penjelasan pada mom tentang semua ini, bagaimana bisa mom tidak memberitahuku yang sebenarnya? _______________ To be continue Follow i********: : inezhseflina
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD