"Letty ayo bangun sayang ini sudah pukul tujuh kau akan terlambat," ucap Elena. Dia sedari tadi berusaha membangunkan putrinya. Kemeriahan prom night membuat Letty kelelahan sebab dia dan teman-temannya terlalu antusias berjingkrak di atas pesta dansa dan akibatnya, pagi ini Letty merasa badannya seolah hancur. Ini lebih berat dari pada latihan bela diri.
Sebenarnya Elena tidak ingin membangunkan Letty. Dia mengerti jika putrinya begitu lelah namun, jika Elena tidak membangunkan Letty maka Letty tidak akan hadir dalam acara penamatan siswa pagi ini. Jadi, dengan sabar Elena berusaha membangunkan Letty.
"Nak, kau harus bangun kau tahu hari ini adalah acara penamatan siswa. Teman-temanmu sudah menelepon rumah sejak subuh. Ayo, bangunlah jika kau ingin lulus dari sekolahmu kau harus mengesampingkan kemalasanmu." Elena masih bersabar membangunkan putrinya. Perlahan dia mulai mengguncangkan tubuh Letty. Letty akhirnya siuman. Walau dia sempat mengeluh namu akirnya, Letty pun berdiri dan masih dengan menutup mata Letty mulai berjalan kea rah kamar mandi. Elena menggelengkan kepalanya melihat tingkah putrinya.
"Permisi nyonya besar, pakaian nyonya muuda telah siap dan dua orang perias sudah berada di bawah," ucap salah seorang pelayan wanita yang menunggu di depan kamar Letty kepada Elena.
"Suruh mereka ke kamar Letty," ucap Elena.
"Baik nyonya.” Pelayan itu membungkukan badannya sebelum pergi dari hadapan majikannya.
"Elena …,” panggil Fredrick. Suaranya menggema dari ujung lorong ruangan ini, dia berjalan terburu-buru ke kamar Letty dan mendapati Elena sedang merapikan tempat tidur Letty.
"Elena?"
"Ada apa Fred?" ucap Elena tanpa melihat ke arah Fredrick.
"Jam berapa acara penamatan di sekolah Letty?" tanya Fredrick. Matanya was-was menatap istrinya.
"Jam sembilan, ku pikir kau mengetahuinya," ucap Elena.
"Oh my ….” Fredrick menepuk jidatnya pelan. “Aku mendapat panggilan darurat dari rekan bisnisku. Aku tidak bisa menyuruh Lucas karena dia memiliki rapat penting pagi ini,” ucap Fredrick. Wajahnya terlihat begitu cemas. Dia berdecak sedari tadi.
"Apa Bruce tidak bisa mewakilkan mu? Ini acara penting putrimu, Fred. Dia tidak akan mengalaminya untuk yang kedua kalinya."
"Bruce?? Tidak!! Begini, mmm …." Fredrick mengepalkan tangannya di depan bibirnya. Kakinya tidak mau berhenti mondar-mandir kesana-kemari. "Begini, kau dan Letty akan berangkat terlebih dahulu. Aku akan menemui rekan bisnisku dan itu tidak akan lama. Kau akan meberitahuku jika acaranya akan di mulai. Oke?"
"Fred, tidak bisakah pertemuanmu di tunda? Apakah harus saat ini? Seluruh siswa akan datang bersama kedua orang tua mereka, dan kau tahu orang tua teman-teman Letty adalah rekan bisnismu juga. Memangnya siapa yang akan kau temui sampai kau sepanik itu, heh?” Nada suara Elena mulai meninggi seiring dengan kecemasannya yang semakin mencuat.
"Dia? Dia rekan bisnisku dari Jepang dia hanya memiliki sedikit waktu di New York dan aku harus segera menemuinya. Tolong jangan bertanya lagi. Lebih cepat aku bertemu dengannya maka lebih cepat aku menghadiri acara penamatan Letty," ucap Fredrick. Belum sempat Elena menjawab Fredrick langsung menghampirinya dan mencium punjak kepala Elena lalu secepat kilat dia melesat ke luar.
Elena hanya bisa mendengus sambil menggelengkan kepalanya. Tidak ada yang bisa menentang suaminya di rumah ini.
"Tuan?" Bruce menyapa tuannya sambil membungkukkan badannya. Kemudian dia dengan sigap membukakan pintu mobil untuk Frderick lalu cepat-cepat dia berlari menuju kursi kemudi.
"Dengar, aku tidak punya banyak waktu. Beri tahu Tsukasa aku akan tiba dalam waktu lima belas menit," ucap Fredrick. Bruce mengangguk dan segera menelepon seseorang dengan menggunakan bahasa Jepang.
"Tuan Vander akan tiba dalam waktu lima menit," ucap Bruce.
"......"
Hanya hitungan sepersekian detik sambungan telepon sudah terputus. Bruce segera memacu range rover yang di kemudikannya dengan kecepatan tinggi menuju daerah Brooklyn.
Lima menit kemudian mereka tiba di sebuah kawasan yang sunyi di daerah Brooklyn dan di sebuah rumah sederhana yang di jaga ketat oleh beberapa pria Asia yang berpakaian serba hitam lengkap dengan senjata di tangan mereka. Bruce segera memarkirkan mobilnya di halaman depan rumah sederhana ini. Bergegas Fredrick turun dan langsung memasuki rumah itu..
Sementara Fredrick menemui klien pentingnya, di rumah Van Der Lyn Letty dan Elena terlihat sangat sibuk. Terlebih, Elena dia begitu sibuk membantu Letty mempersiapkan dirinya.
"Mom, aku mendengar suara dad tadi apa dia kesini?" ucap Letty saat keluar dari kamar mandi. Letty merasa sedikit bugar setelah mandi walaupun tubuhnya masih sedikit leti.
"Ya. Ayahmu menyuruh kita lebih dulu ke sekolahmu. Dia memiliki sedikit urusan dan dia memastikan akan berada di sana sebelum acara di mulai."
"Bukannya dad sudah mengosongkan jadwal kerjanya?"
"Kau tahu seorang pengusaha harus bersedia bersikap profesional saat sesuatu yang sangat penting tiba-tiba mengharuskannya untuk langsung menyelesaikan urusannya. Itulah yang sedang di lakukan ayahmu. Walau pun dia sudah berusaha mengatur jadwal kerjanya dari jauh-jauh hari pasti akan ada sesuatu yang tidak bisa di tunda untuk di selesaikan," tutur Elena.
"Well, ku harap dad segera menyelesaikan pekerjaan pentingnya. Kalau tidak, aku akan menjadi bahan cercaan teman-temanku nanti," ucap Letty.
"Permisi, nyonya." Salah satu pelayan kembali menghampiri Elena. Kali ini dia membawa dua orang penatarias bersamanya.
"Silahkan masuk," ucap Elena.
"Letty ini Vic dan Lussy, mereka adalah kariyawannya Eveline. Mereka akan membantu mu berdandan," ucap Elena. Letty langsung menjabat tangan mereka satu per satu.
"Lussy saja yang membantu Letty dan Vic akan ikut dengan aku ke kamarku. Aku juga butuh sedikit riasan," ucap Elena. Kedua wanita modis itu langsung mengangguk. "Lussy, dandani putriku secantik mungkin. Dia harus sangat terlihat sempurna hari ini.”
"Perkataanmu adalah perintah untuk kami, nyonya besar. Aku akan memberikan yang terbaik untuk puteri anda," ucap Lussy. Elena membalasnya dengan tersenyum dan segera keluar dari kamar Letty menuju kamarnya untuk bersiap.
Sementara itu di Brooklyn ....
"Apa?" Fredrick memekik saat mendengar ucapan lelaki berpakaian tuxedo lengkap dengan topi senada dengan warna tuxedonya. Kedua kakinya di biarkan di atas meja, ukiran dan gambar tatto memenuhi sekujur tubuhnya. Dia kembali menarik morfinnya dan mengisapnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan.
"Begitulah keputusannya. Aku sudah tidak mendapat keuntungan lagi dari bisnis kita. Ekstasi telah di ilegalkan di beberapa wilayah di Asia. Sangat sulit bagiku menembus pasaran. Aku tetap akan membeli beberapa pil dan obat bius padamu. Tapi aku tidak bisa mengedarkannya lagi," ucap pria itu.
Fredrick berdecak kesal. Dia mulai gusar namun, Fredrick tidak bisa melakukan apa pun sekarang. Dia sedang berbicara dengan ketua sindikat terbesar di Jepang, Yakuza. Dimana Tsukasa, nama pria itu, dialah satu-satunya orang yang bisa berbicara langsung dengan pimpinan Black Glow. Bukan tanpa alasan, Fredrick membuka identitasnya pada Tsukasa sebab Yakuza adalah gangster paling berkuasa di Jepang dan mereka yang paling banyak mengimpor produk ilegal milik Fredrick. Keuntungan yang diberikan Yakuza sejauh ini adalah yang paling banyak jadi, Fredrick harus sebisa mungkin mengontrol emosinya di depan pimpinan tertinggi Yakuza.
"Tsukasa, kita telah bekerja sama selama dua belas tahun. Pikirkan baik-baik, ku harap kau tidak terburu-buru mengambil keputusan." Fredrick masih berusaha membuat Tsukasa mengubah keputusannya. Tsukasa memberi penghasilan sebanyak 55 persen kepada Black Glow sebab mereka turut serta mendistribusikan barang haram milik Fredrick ke berbagai negara di Asia.
"Van Der, jika aku sudah membuat keputusan tidak akan ada yang bisa merubahnya," ucap pria itu dengan santai.
Rahang Fredrick mengatup dengan kuat. Tangannya mengepal dengan hebat dan wajahnya mulai berbuah menjadi merah padam. Untuk pertama kalinya Fredrick merasa begitu lemah di depan rekan bisnis di dunianya. Jika biasanya orang lain akan berlutut di depannya untuk meminta persetujuan Fredrick, kini di depan seorang pria tua, Fredrick harus rela menelan kekalahan.
Fredrick tidak bisa menyentuh pimpinan kelompok mafia nomor satu di Jepang ini oleh karena bisnis ilegalnya berjalan dengan pesat kerena bantuan mafia Jepang ini. Mereka adalah rekan bisnis nomor satu bagi Fredrick. Fredrick bahkan rela mendalami bahasa Jepang demi hubungan bisnis mereka. Namun betapa terkejutnya Fredrick saat pimpinan mafia ini membatalkan hampir seluruh bisnis yang telah terjalin selama dua belas tahun ini. Fredrick begitu kesal namun dia belum putus harapan. Dia berharap suatu saat Tsukasa akan berubah pikiran dan menghubunginya kembali.
Fredrick beranjak dari tempat itu ketika pembicaraan mereka sudah menemui jalan buntuh. Fredrick harus segera melakukannya sebelum emosinya tidak terkontrol lagi. Fredrick berada di dalam mobilnya ketika ponselnya berbunyi. Tanpa melihat layar, Fredrick langsung mengangkatnya dengan nada ketus, "Ada apa?!”
"Ada apa denganmu? Di mana kau? Acaranya akan di mulai," ucap Elena dari sebarang telepon.
"Oh s**t!!” Fredrick mengumpat sambil menepuk dahinya. “Maafkan aku. Aku akan tiba dalam lima menit," ucap Fredric kemudian dia mematikan sambungan telepon.
"Bruce, cepat ke sekolah Letty dan kau hanya punya waktu lima menit," perintah Fredrick. Tanpa menunggu lama Bruce langsung menyalakan mesin mobil dan menancap pedal gas.
*****
"Dimana dad?" tanya Letty. Dia mulai gelisah menunggu ayahnya. Begitu juga dengan Elena, lima menit lagi acaranya akan di mulai dan Fredrick belum juga muncul.
"Tenanglah dia sedang di jalan. Bersabarlah," ucap Elena.
"Para hadirin yang kami hormati, acara penamatan siswa akan segera di mula ...." Suara dari panggung utama mulai terdengar pertanda acara penamatan siswa akan segera di mulai. Hal itu membuat Elena dan Letty semakin gelisah.
"Fred, dimana kau?" gumam Elena sambil terus menatap ke arah gerbang.
"Kami undang kedepan Tn. Wilson Mckenzie selaku kepala sekolah Avenue World School untuk menyampaikan pidato singkat, dan menyambut para siswa dan orang tuanya."
"Maaf aku terlambat."
Elena dan Letty kompak berbalik saat mengenali suara itu. Fredrick tampak terengah-engah sambil merapikan jasnya. Dia memaksa untuk tersenyum ketika istri dan anaknya menatapnya dengan tatapan tidak bersahabat.
“Boleh aku duduk?” ucap Fredrick menatap kursi kosong di samping Letty.
“Dad ….” Letty mengeluh dengan wajah masam. “Sedikit lagi, sedikit lagi, dad.”
"Untung saja tidak." Fredrick menarik tengkuk Letty lalu memberinya kecupan di dahi. Dia paham betul jika dia sudah merusak suasana hati putrinya.
Acara penamatan pun berlangsung dengan baik. Seluruh siswa tingkat akhir, akhirnya menyandang status lulus sepenuhnya dari sekolah ini. Tidak terkecuali Letty dia begitu bangga memakai toga hitamnnya sambil memegang sebuah piala sebagai pencapaian prestasinya selama ini.
"Kami mengundang Letichia Van Der Lyn sebagai perwakilan dari seluruh siswa untuk memberikan pidato singkat di depan."
"Oh my Goodness." Mata Letty membelalak saat mendengar namanya di panggil kedepan. Letty merasa bangga tetapi juga gugup.
Berbeda dari Letty, Elena ibunya tampak begitu senang. Dia memeluk putrinya sambil mencium pipinya. Dia tahu jika kemampuan akademik Letty memang di atas rata-rata tapi, mendengar nama putrinya akan berpidato di depan membuatnya merasa bangga.
"Pergilah nak. Kau seorang Van Der Lyn, kau tidak boleh malu dan takut sedikitpun," ucap Fredrick sambil menepuk bahu Letty sebagai bentuk penyemangatnya.
Letty mengulum senyum. Dia menarik napas untuk mengumpulkan keberaniannya. Letty lalu berdiri dan dengan langkah pasti Letty berjalan ke arah podium sambil mengatur degup jantungnya.
Letty berdehem sambil menarik nafas dan menghembuskannya perlahan.
"Well, ini.. Oh … aku sangat gugup maafkan aku," ucap Letty yang sedang berusaha menetralisir rasa gugupnya. Keluarga dan teman Letty terus menyemangatinya dari tempat duduk mereka.
"Baiklah. Pertama, aku berdiri mewakili seluruh teman-teman yang memakai toga dan tersenyum puas pagi ini. Well-, suatu kebanggaan bisa berdiri di hadapan kalian, para guru dan orang tua. Hari ini kami akan melepas masa-masa indah kami. Masa dimana kami begitu senang, kadangkala bosan dan kadangkala jengkel. Tapi, hari ini kami akan melepas semua kenangan itu. Kami akan menentukan masa depan kami. Kami akan berpisah dengan orang-orang hebat seperti guru-guru kami. Kami akan berpisah dengan sahabat-sahabat kami. Sekolah ini mengukir sejuta kenangan untuk kami. Dan, untuk semua teman-teman yang memakai pakaian serba hitam hari ini aku ingin menyampaikan, bahwa ini bukanlah akhir dari perjuangan kita. Masa muda bukanlah seberapa banyak martini yang akan kau minum, atau seberapa lama kau akan berjingkrak di club malam dan menikmati musik elektronik, atau seberapa hebat kalian dalam berhubungan 'seks'.” Letty mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan. Semua orang terkekeh pelan mendengar kalmiat yang baru saja dia ucapkan. “Maksudku, setelah kita keluar dari sekolah tingkat atas paling berkelas di dunia ini kita akan berjuang keras bahkan sangat keras untuk tujuan kita masing-masing. Kita adalah singa muda yang akan di lepas di hutan liar. Jika kau lapar maka kau harus berburu. Jika kau ingin lebih baik dari sekarang, jangan gunakan kesuksesan orang tua kalian sebagai tolak ukur tapi, berusalah sekeras mungkin agar kita seperti mereka. Saya Letichia Van Der Lyn putei Fredricksen Van Der Lyn hari ini mengumumkan kelulusan kita dan menggumamkan perjuangan. Terima kasih."
Letty menutup pidatonya dengan berjabat tangan dengan seluruh dewan guru. Dia juga melambaikan tangannya kepada seluruh teman-temannya.
"Kau memang puteriku. Kau hebat dalam segala hal. Kau satu-satunya penerus Van Der Lyn yang tangguh. Kau akan kalahkan seluruh musuhku. Kau akan berburu mulai sekarang," batin Fredrick.
"Letty putriku, mungkin setelah ini kau harus berjuang untuk keinginanmu. Ku harap kau akan bisa menaklukan ayahmu," batin Elena.