"Apa kau yakin kau akan tinggal di kamar sekecil ini?" tanya Fredrick.
Letty berbalik. Mengulum senyum lalu perlahan mulai menganggukkan kepalanya. "Hmm ...," sahut gadis itu.
Letty mengajak Fredrick, Elena dan adik bungsunya untuk melihat apartemennya di 15 central park west. Sebuah apartemen mewah dengan fasilitas kelas atas yang terbilang megah namun tetap menampilkan kesan eksotisme di setiap sudut ruangan. Letty sengaja memilih apartemen yang tidak terlalu jauh dari rumahnya agar ayahnya tidak mencurigainya.
"Aku sangat yakin. Aku tidak butuh ruang tamu yang besar sekedar untuk menerima jika suatu saat aku punya tamu. Aku hanya butuh sebuah kamar untuk bersantai," ucap Letty. Dia masih sibuk memperhatikan setiap sudut ruangan.
"Sebenarnya aku masih penasaran apa yang membuatmu ingin meninggalkan rumah dan memilih menyendiri di apartemen ini. Tanpa pembantu, tanpa keluarga bahkan tanpa Chester." Elena ikut bicara. Jujur saja Elena terkejut saat mendengar bahwa Letty ingin sebuah apartemen, apalagi putrinya itu terbilang manja. Namun seperti biasa sifat keras kepala Fredrick menurun pada gadis itu. Dia terlalu keras kepala untuk di tentang.
"Seperti yang aku bilang aku ingin mencoba untuk mandiri. Tapi aku berjanji akan sering mengunjungi rumah. Jadi kalian tenanglah," ucap Letty.
"Apa kau masih butuh properti?" tanya Fredrick sambil mengedarkan pandangannya di sekeliling ruangan ini.
"Semoga Cyclops menaruh kamera pengawasnya dengan benar. Jika tidak Letty akan curiga." Fredrick membatin saat memperhatikan setiap sudut ruangan.
"Ku rasa ini sudah cukup. Apartemen ini sudah terisi dan aku yakin aku akan nyaman di sini," ucap Letty.
Fredrick menghela nafas panjang mencoba mengikuti keinginan Letty.
"Well, ku harap kau mengambil keputusan yang tepat," ucap Fredrick pasrah.
"Apa itu artinya Dad memberiku izin?" tanya Letty dengan wajah lugunya membuat Fredrick tersenyum sekaligus gemas kepada putrinya itu.
"Apa boleh buat, mau tidak mau aku harus setuju."
"Thank you Daddy, you're a best parent, i love you so much," ucap Letty sambil memeluk ayahnya.
"Tapi aku harus tetap memberikanmu pengamanan. Aku akan menyuruh beberapa anak buahku untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu yang menganggumu," ucap Fredrick tegas.
"Sebenarnya itu tidak perlu, tapi jika memang kau ingin mengawasiku aku akan menerimanya," ucap Letty.
"Mom, can we go home now? I'm so hungry." Lennox tiba-tiba muncul dan menginterupsi percakapan kakak dan ayahnya.
Elena tersenyum melihat putra bungsunya yang semakin bertambah pintar. Elena meraih tubuh Lenox dan memeluknya.
"Baiklah sayang ayo kita pulang," ucap Elena.
"Bagaimana kalau kita makan malam di luar saja, heh?" usul Letty.
"Kemana?" tanya Lenox penasaran.
"Ayo ikut saja," ucap Letty.
Letty membawa keluarganya ke sebuah restoran Jepang sebab belakangan ini Letty mulai tertarik dengan ramen dan zakke untuk itu Letty mengajak keluarganya untuk makan malam di sini. Letty langsung memesan menu andalannya dan beberapa menu lainya untuk keluarganya.
Saat Letty dan keluarganya sedang asik menikmati makan malam mereka, tiba-tiba Letty melihat seorang pria yang tidak lazim di matanya. Dia sedang duduk di sudut ruangan yang menghadap langsung ke jalanan kota New York yang ramai, pandangannya kosong. Di depannya ada segelas hot greentea yang sepertinya sudah lama di pesan.
"Mom, aku kesana sebentar," bisik Letty pada Elena sambil menunjuk ke arah tujuannya. Elena hanya mengangguk karena Elena sedang sibuk menyuapi Lennox.
Letty menarik kursinya kebelakang dan mulai mengambil langkah untuk mendekati pria yang sedang asik berhayal itu.
"Hey, boleh aku duduk di sini?" ucap Letty.
Pria tersebut yang tadinya sedang melamun tiba-tiba tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara yang sudah sangat di kenalnya itu. Suara itu seakan menamparnya kembali ke dunia nyata. Dia mendongak dan mendapati wajah cantik dan seksi itu sedang menatapnya dengan senyum sumringah yang merupakan ciri khas Letty.
"Le-Letty?" Dia menggagap.
Letty tersenyum. Matanya melirik ke kursi di depan pria itu sebuah isyarat mata yang meminta izin untuk bergabung.
"Tentu. Silahkan, apa kau baru datang?" ucap Pria itu.
"Seriously? Kurasa dia sudah lama di sini. Lihat saja minumannya sudah dingin. Apa dia tidak melihat kedatanganku?" Letty membatin.
"Aku dan keluargaku sedang makan malam di sini, maaf aku baru melihatmu. Ku rasa kau sudah lebih dulu di sini," ucap Letty.
"Ya. Sebenarnya aku sedang menunggu seseorang."
"Dia bohong. Terlihat jelas bahwa dia sedang berusaha menutupi yang sebenarnya padaku, Marshall. " Letty kembali membatin.
"Oh ya, ku pikir kau sudah ke Jerman." Letty masih berusaha mengajak Marshall berbicara.
"Ya, aku kemari untuk mengambil beberapa berkas dan menghadiri rapat di perusahaan ayahku," ucap Marshal.
"Kenapa kau tidak berkunjung ke rumahku?"
"Mmm ... apa aku masih bisa?" ucap Marshall sedikit ragu. Pria itu hampir tidak berani lagi menghubungi Letty, dia masih awkward sejak kejadiaan di sekolah bulan lalu.
"Sudah kubilang kau tetap sahabatku. Rumahku terbuka lebar untukmu dan ohya, aku sudah pindah ke apartemenku. Jika kau mau kau bisa berkunjung ke sana," ucap Letty. Marshall terkekeh mendengar ucapan Letty.
"Apanya yang lucu?" tanya Letty.
"Seorang Letichia Van Der Lyn gadis permata yang terkenal dengan kekayaan tiada taranya memiliki apartemen? Katakan apa yang kau maksudkan adalah kondominium?" cibir Marshall.
Letty memutar bola mata. "Ayolah ...." Dia melayangkan tangan ke udara. "Bisakah kau berhenti memanggilku gadis permata? Dan ya, apa kau ragu aku bisa tinggal sendiri? Asal kau tahu, aku membeli sebuah apartemen di 15 central park west dengan uangku sendiri. Yah, walaupun apartemenku tergolong kecil namun aku senang bisa tinggal sendiri."
Marshal memanyunkan bibirnya sambil mengangkat setengah bahunya. "Well, aku jadi penasaran seperti apa jadinya."
"Kalau begitu kapan kau akan berkunjung?"
Senyum Marshall tiba-tiba memudar. Raut wajahnya berubah. Ekspresinya datar dan matanya langsung bergerak mencari cela untuk menghindari tatapan Letty.
Beberapa detik kemudian menjadi hening.
Marshall lalu menunduk. Kukunya menekan telapak tangannya. Mulutnya kembali terbuka lalu dia berkata, "Lain kali saja, aku harus pergi malam ini juga." Marshall seolah begitu berat mengangkat kepalanya untuk menatap gadis di depannya.
Letty tidak menjawab. Salivanya begitu sulit melewati tenggorokannya. Lalu perlahan, dia mulai menarik dirinya dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Hatinya seolah tidak ingin menerima. Dia sebenarnya ingin bilang, "Marshall, kau masih punya banyak waktu sebelum besok. Ayo kita ke bar." Tapi, Letty menahan semua itu di dalam hatinya. Dia sadar jika dia harus berusaha memberi jarak dan privasi di antara mereka.
Marshall lalu mengangkat kepalanya. Sebuhah senyum simpul terpatri di wajah tampannya. "Aku harus pamit dulu pada ayah dan ibumu, ayo." Tanpa mempedulikan Letty Marshall langsung berdiri dan berjalan ke meja Fredrick. Letty masih duduk terdiam di tempatnya.
"Selamat malam tuan dan nyonya Van Der Lyn, halo, pangeran," sapa Marshall dengan begitu ramah kepada mereka.
"Hey ,nak." Fredrick mendongak. Dia berdiri dan memberi pelukan ala lelaki kepada Marshall. "Ayo, duduk dan bergabunglah," ucap Fredrick. Elena pun berucap hal yang sama.
Marshall tersenyum. Dia menggeleng dan sambil mengangkat tangannya di depan d**a. "Maaf tuan dan nyonya, saya harus pamit. Saya harus terbang ke Jerman malam ini," ucap Marshall.
"Oh iya aku lupa memberitahu, bocah ini sudah memegang perusahaan Hendrick di Jerman," ucap Fredrick dengan bangga dia bahkan menepuk pundak Marshall. "Oh, Letty."
Letty dengan berat hati kembali menghampiri kedua orang tuanya dan menyusul Marshall.
"Kau lihat Marshall ini, dia sangat berani dan juga cerdas dia sudah menjadi CEO di usia mudanya yang masih muda. Dia sangat hebat, bukan?" Fredrick masih terus memuji sambil bibirnya tidak berhenti berdecak kagum.
"Ya, aku sangat bangga padanya," ucap Letty. Marshall masih membelakangi Letty, membuat Letty murung dan bersedih.
"Baiklah, nak. Ku doakan kau sukses di sana. Jika kau kembali jangan sungkan untuk mampir ke rumah kami," ucap Fredrick.
"Terima kasih, tuan Van Der Lyn, anda sangat baik kepada saya. Anda jugalah inspirasi saya selama ini," ucap Marshall.
Fredrick mengangguk sambil kembali menepuk pundak Marshall.
"Baiklah." Marshall berbalik. Kali ini dia menatap Letty. Bibirnya kembali mengurukir senyum ketika matanya bertemu dengan gadis itu. "Aku pergi," ucap Marshall.
Letty membuka kedua tangannya. Dengan cepat dia meraih tubuh Marshall dan memeluknya. "Jangan lupa untuk menghubungi aku," ucap Letty.
"Jaga dirimu," ucap Marshall. Mereka melepas pelukan. Marshall kemudian pergi.
"Jika aku ke sana aku akan kembali memikirkanmu, memikirkanmu membuat hatiku sakit. Betapa bodohnya aku yang masih mengharapkanmu sementara kau sangat menegaskan bahwa aku hanyalah sahabatmu. Aku akan berusaha menjadi sahabat untukmu, menjaga jarak denganmu adalah usaha terakhir yang akan aku lakukan. Semoga kau bahagia di sini Letty, sayangku,"
batin Marshall.
Apakah kau tahu? Letty seorang telepati. Letty juga bisa mendengar suara hati seseorang yang sangat dekat dengannya. Kemampuan Letty memang belum setengah dari kemampuannya yang sebenarnya namun, Letty tahu pasti bahwa Marshall sedang ingin menjaga jarak dengannya sebagai bentuk perlawanan Marshall dengan perasaannya yang sesungguhnya. Letty terduduk diam saat punggung Marshall menghilang seiring dengan terbukanya pintu keluar di restoran Jepang ini.
"Letty?" panggil Fredrick.
"Hmm," sahut Letty.
"Ada masalah?" tanya Fredrick saat melihat wajah putrinya yang mendadak murung.
Letty menggeleng. "Tidak. Ayo kita pulang, aku harus mengepak barang-barangku," ucap Letty.
Fredrick dan Elena saling melemper tatapan, namun tak satupun dari mereka mengetahui isi hati Letty.
"Aku tahu aku membuatmu kecewa. Jika aku bisa memutar waktu, aku memilih untuk tidak mengajakmu bicara waktu itu. Kau tahu, hatiku tersayat saat melihat kau memberi jarak di antara kita. Namun, aku sadar akupun harus siap karena cepat atau lambat hal ini pasti terjadi. Sekali lagi maafkan aku." Letty membatin sambil menutup mata dan membayangkan Marshall di benaknya, dan tanpa dia sadari...
"Apa? Aku?" Marshall menggeleng. "Tadi seperti suara Letty." Dia melirik kebelakang kemudian mendesisi pelan. "Ahh ... itu pasti karena aku terus memikirkannya."
"Ku mohon maafkan aku, sahabatku, Marshallku."
"Aku seperti mendengar suara Letty di kepalaku." Marshall menggelengkan kepala sambil mengacak-acak rambutnya.