7. Hello, Old Friend.

2720 Words
London, England.       Di sebuah gedung pencakar langit bertuliskan The Redz Diamond, seorang pria dengan setelan jas hitam mengkilat dengan merek terkenal, turun dengan gagahnya dari sebuah mobil limosin. Berjalan dengan penuh wibawa memasuki gedung lima puluh tingkat itu. Sepatu kulit yang menggema di lobi utama sontak membuat semua pasang mata memperhatikannya. Sambil membungkukkan badan mereka menyambut bos besar pemilik gedung megah ini.     “Selamat pagi Mr. President,” sapa para kariyawan yang hanya di balas dengan anggukan kecil dari sang bos besar.     Dia di apit dua orang n***o berbadan kekar. Salah satu pria itu dengan sukarela menekan tombol lift agar tuannya tidak perlu mengotori tangannya. Lift yang hanya di peruntukan kepada sang Presiden Direktur. Lift terbuka, sang bos besar beserta kedua bodyguard-nya memasuki lift. Lift berjalan cepat dan hanya dalam hitungan detik, mereka sudah tiba di lantai lima puluh.     Satu lantai penuh yang di peruntukan hanya untuk kantor sang Presiden Dirketur.     Semua terbuat dari kaca, baja dan batu pasir putih dengan ukiran artistik modern yang menampilkan kemewahan. Berjejer puluhan lukisan dari pelukis kenamaan dunia yang menghiasi tembok sepanjang koridor hingga dia tiba di sebuah pintu baja dengan keamanan canggih hingga dia perlu memajukan wajahnya agar alat itu bisa mendeteksi retinanya.     “Welcome Mr. Presindent,” ucap suara dari alat pendeteksi retina itu.     Pintu terbuka. Sebuah ruangan yang sangat luas. Dinding yang terbuat dari kaca. Jendela kaca luas dari lantai sampai ke langit-langit dengan pemandangan kota London di belakang meja kerjanya.     Dia berjalan mendekati meja kerjanya. Langkahnya terhenti. Sedikit penasaran sebab dia mendapati kursinya berbalik menghadap jendela kaca padahal dia cukup yakin jika di hari sebelumnya dia duduk menghadap pintu. Well, tidak ada angin kuat yang bisa menggerakan kursi kulit mewah itu.     Pria itu mengerutkan kening, mendesis sebentar lalu kembali mengambil langkah,     “Holly, s**t!” Dia memekik. Sedikit melompat ketika kursinya tiba-tiba berputar menghadap dia.     “Hello, old friend.” Seseorang bersuara. Dia terlihat santai dan tenang di atas kursi si bos besar. Bahkan terlalu santai saat kedua kakinya di naikan di atas meja kerja sang bos besar.     “Fredrick?!” pekik pria itu untuk yang kedua kalinya. Jantungnya seolah berhenti berdetak selama beberapa detik. Sedikit syok namun, sangat penasaran. “Bagaimana b*****h ini bisa masuk ke ruanganku?” batin pria itu.     “Well, sepertinya kau harus mengganti sistem keamanan canggihmu.” Seolah menjawab pertanyaan di benak bos besar, pria dengan balutan kaos hitam dan celana jins denim itu membuka kaca mata hitamnya. Senyum sumringah menghiasi wajahnya namun, objek di depannya lantas bergetar hebat dalam dirnya.     “Ke-kenapa kau disini?” ucap pria pemilik kantor mewah ini dengan suara yang bergetar.     Pria yang sedang duduk itu lalu berdiri. Dia sempat memukul pahanya dengan kuat sebelum kedua kakinya berdiri sempurna. Dia menghela napas, menggeleng kecil saat mendekati si bos besar.     “Marthin Oliver, beginikah caramu menyapa teman lamamu? Kau tahu, aku bahkan rela meninggalkan liburanku di Florida hanya untuk menemuimu,” ucap pria itu. Dia semakin dekat dengan bos besar bernama Marthin Oliver. Dia berhenti di depan meja kerja Marthin. Duduk di atas meja kerja bos besar itu sambil memangku salah satu kakinya, dia melipat kedua tangannya di d**a.     “Bagaimana kau bisa masuk ke ruanganku?” tanya Marthin. Tangannya mulai bergetar. Dia meraih sesuatu di balik kantong celananya.     Fredrick berdiri lagi lalu mendekati Marthin. Dia berhenti tepat di samping Marthin. Menatap lurus kedepan, mereka berdiri berlawanan arah lalu, Fredrick menaruh tangannya di pundak Marthin.     “Aku tengah menikmati liburanku di Florida. Tapi, anak buahku terlalu payah,” Fredrick berdecak sambil menggelengkan kepala darmatis, lalu melanjutkan, “Masakan mereka meneleponku hanya untuk mengatakan jika seseorang meneror rumahku dengan bom?”     Marthin menelan salivanya dengan susah payah. Di bawah sana, dia sudah berhasil mengambil ponselnya dan siap menelepon dua bodyguard-nya yang menunggu di luar.     “Aku turut bersedih,” ucap Marthin     Fredrick tersenyum sinis menanggapi ucapan Marthin. Matanya menangkap sesuatu di bawah sana dan dengan cepat tangannya meraih tangan Marthin. Sepersekian detik selanjutnya, ponsel Marthin sudah di tangan Fredrick. Fredrick terkekeh lalu langsung meremas ponsel mahal milik Marthin.         KRAKK     Ponsel mahal itu kini telah hancur di tangan Fredrick sebelum Fredrick melamparkannya ke sembarangan arah.     “What the f**k!” umpat Marthin dengan nada tinggi.     Fredrick kembalih terkekeh sinis. “Ck, ck …,” decaknya sambil menggelengkan kepala.     “Kau takut?” Fredrick melirik kecil ke arah Marthin. Wajah Marthin mulai berkeringat dan itu membuat Fredrick tertawa kegirangan dalam hatinya. “Bagus, kau membuatku tidak perlu menginterogasimu dengan pertanyaan omong kosong,” lanjutnya.     Marthin tertawa hambar. Dia mencoba menutupi ketakutan dalam dirinya dengan memasang wajah tanpa dosa.     “Cih …,” Setelah cukup tertawa Marthin lalu mendecih sambil menatap rendah lawan bicaranya, “Kau yang terlihat takut Fred. Bukankah kau cukup terganggu dengan granat itu? Apakah anak buahmu sekarang mulai melemah, hah?” ucap Marthin sambil menaikan dagunya tinggi.     Fredrick mendecih sambil terkekeh sinis lagi dia berucap, “Ya, sepertinya kau berhasil memata-mataiku. Aku tidak menyangka anak buahmu bisa berbaur dengan anak buahku. Tapi, apakah kau memang terlalu bodoh hingga kau harus menyerangku dengan bom?”     Marthin membawa tangannya mengusap dagunya. Dia seolah mati gaya, terus berharap dalam hatinya jika anak buahnya bisa menangkap telepatinya dan segera masuk ke dalam ruang kerjanya.     “Haruskah aku juga melemparkan granat yang sama di Jacsonville agar keluarga-“     BUKK      Kepalan tangan Fredrick berhasil memotong kalimat Marthin. Dia terpental kemudian jatuh dan terkapar di    lantai. Pipinya berdenyut sangat keras sementara kepalanya pening dan pandangannya tergoyang.     “Sial …! dia masih sama seperti dulu,” batin Marthin.     Fredrick seolah tak puas. Dia mendatangi Marthin yang telah terkapar lalu menarik kerah kamejanya. Dia mengangkat tubuh Marthin dengan setengah tangannya lalu melemparkan tubuhnya ke dinding.     “Argh!” Marthin meringis saat punggungnya menabrak tembok.     “Mau ku beri tahu sesuatu?” gumam Fredrick tepat di depan telinga Marthin. Dia mengunci pergerakan Marthin hanya dengan meremas kerah baju Marthin. “Aku bisa saja melakukan hal yang sama dengan apa yang kau lakukan padaku. Bukan hanya rumahmu, bahkan aku bisa meruntuhkan gedung tinggi ini hanya dengan memetikan jariku, apa kau mau melihatnya?” Fredrick melepaskan kerah baju Marthin. Marthin terlalu lemah bahkan kedua lututnya bergetar hingga dia membiarkan tubuhnya terkulai di lantai sementara matanya sibuk memantau kaki Fredrick yang berjalan santai ke meja kerjanya.     Fredrick meraih sebuah tablet dari merek terkenal dunia lalu melemparkannya di depan wajah Marthin.     “Kau lihat kode merah itu?” Fredrick berjongkok di depan wajah Marthin. Dia menjambak rambut Marthin agar pria itu bisa mendongak  melihat wajahnya. “Semua sistem keamanan canggihmu telah ku retas dan aku bahkan bisa meledakan gedung ini sekarang juga,” lanjutnya.     “Ja-jangan, Fred, kumohon jangan lakukan itu. Ini mananya sabotase kau bisa ku tuntut.”     Fredrick mendecih dengan suara yang cukup kuat. Dia menggeleng lalu berucap, “For the damned sake, aku tidak tahu jika pengusaha sehebat dirimu akan memberiku ancaman seperti ini. b*****h mana yang mengancam akan menuntutku, di saat nyawanya tepat berada dalam genggamanku, hah? Kau? Marthin Oliver, si pecundang bermulut besar?”     Fredrick beralih mengelus kepala Marthin yang tampak pasrah di bawah kakinya. Oh ya ampun, Fredrick benar-benar berloncat-loncat dalam hatinya. Senyumnya tidak pernah pudar sejak tadi.     “Aku akan memberimu kesempatan Oliver. Jika memang kau berniat menjatuhkan aku, maka lawanlah aku. Hancurkan aku tapi, satu hal yang harus kau camkan baik-baik di benakmu,” Fredrick kembali menjambak rambut Marthin, kali ini sedikit kuat membuat Marthin meringis saat mendongakan kepalanya. “Lawanmu adalah aku, bukan istriku dan bukan anak-anakku. Jika kau ingin putramu tumbuh dewasa bersama denganmu maka, sebelum kau menyerang keluargaku ingatlah bahwa aku telah menandai putramu, Alexander Oliver. Satu-satunya penerus kekayaanmu itu, akan melihat betapa aku akan memenggal kepala ayahnya di depannya dan melemparkan penggalan tubuhnya kedalam kandang serigala,” ucap Fredrick lalu melemparkan kepala Marthin membuatnya menabrak lantai beton.     "Ku sarankan agar kau mengganti sistem keamanan yang kau bilang canggih ini, Oliver. Kau tahu aku hanya butuh dua menit untuk meretas sistem keamanan canggihmu ini. Kau memang payah," lagi ucap Fredrick. Dia berbalik dan berjalan meninggalkan Marthin yang sudah terkapar tidak berdaya di lantai padahal, Fredrick hanya memukulnya sekali.     Fredrick tiba di pintu baja dengan pengamanan retina mata itu. Dia terkekeh sinis lalu menaruh jari kelingkingnya di depan laser hijau itu. Dia menggeleng saat pintu itu terbuka hanya dengan jari kelingkingnya. Fredrick mendesis dramatis, meremehkan betapa payahnya sistem keamanan orang paling kaya di London ini.     Dia berjalan keluar dengan sangat santai seolah perusahaan ini adalah miliknya. Fredrick berhenti saat bertemu dua bodyguard yang mengawal Marthin selama ini. Dia mendekati mereka berdua. Berdiri di depan dua orang n***o berbadan kekar, dua kali lebih besar darinya.     “Tuan besar,” sapa dua orang itu sambil membungkukan badan mereka.     “Kerja bagus. Sekarang ikutlah denganku, kurasa kedok kalian sudah terbongkar,” ucap Fredrick. Dua orang itu menjawab dengan menganggukan kepala dengan sopan lalu mengikuti Fredrick dari belakang.     “Dia mengirim seorang mata-mata tapi dia tidak tahu jika dua orang kepercayaannya adalah orang-orangku yang paling setia,” gumam Fredrick lengkap dengan seringaiannya.      Fredrick berjalan dengan santai saat dia keluar dari ruangan Marthin. Seorang sekretaris yang duduk di belakang meja kerjanya yang terletak di depan lift, dia berdiri saat melihat Fredrick Van Der Lyn dari kejauhan. Sedikit bingung saat dia memikirkan bagaimana seorang Van Der Lyn bisa ada di lantai lima puluh yang merupakan kantor pribadi tuannya.     "Maaf tuan, saya tidak melihat anda masuk," ucap sekretaris Marthin saat melihat Fredrick keluar dari ruangan bosnya. Fredrick melirik ke arah wanita blonde itu dengan memasang wajah polos.     "Bukan salahmu, teruskan pekerjaanmu," ucap Fredrick. Dia memakai kembali kaca mata hitamnya dan meneruskan perjalanannya dengan santai bahkan sangat santai saat dia bersiul hingga ke dalam lift.     Lift tiba di beranda dan Fredrick pun keluar bersama dua orang bodyguard yang sebelumnya milik Oliver tetapi diam-diam mereka ternyata mata-mata Fredrick.     “Bukankah dia Fredricksen Van Der Lyn?”     “Bagaimana bisa seorang Van Der Lyn bisa berada disini?”     Seluruh kariyawan lobi terheran-heran bahkan tidak sedikit dari mereka yang tercengang. Ya, bagaimana bisa seorang pesaing berada di kantor kompetiternya, bahkan dengan pakaian kasual? Tetapi, Fredrick terlalu senang mendengar gumaman para bawahan Marthin. Dia hanya terus bersiul santai sambil sesekali tersenyum pada kariyawan lobi. Baginya, hari ini sudah menjadi hari yang indah untuknya sebab, hari ini untuk waktu yang cukup lama Fredrick kembali menghajar seorang Marthin Oliver yang merupakan pesaing bisnis sekaligus musuh bubuyutannya sejak dulu.      Fredrick tiba di beranda depan dan sebuah mobil limosin langsung menghampirinya. Dua orang n***o yang sejak tadi mengikutinya lalu membukakan pintu mobil untuk tuannya.     "Kau sudah mengurusnya?" tanya Lucas saat Fredrick memasuki mobil dan mengambil tempat duduk di samping Lucas.     "Menurutmu?" ucap Fredrick di sertai seringaiannya. Lucas paham apa maksud Fredrick, dia tersenyum pada kakaknya.     "Lalu, apa kita akan kembali sekarang??" lagi tanya Lucas.     "Belum. Dia masih belum jera, dia akan kembali beraksi. Apa kau sudah melakukan perintahku?" tanya Fredrick.     "Sudah ku urus. Anak buahku berhasil membius seluruh pengawal Marthin, yang lainnya berhasil memasang CCTV kasat mata pada setiap inci rumah dan perusahaannya. Bahkan aku memasang sistem pelacak lokasi pada semua mobil milkinya bahkan jet pribadinya sekalipun. Dia ada dalam genggaman kita Fred, dia tidak bisa berkutik sekarang," ujar Lucas. Fredrick kembali menampakan seringaian liciknya, dalam hatinya dia puas bahkan sangat puas akan hasil kerja mereka.     "Kita lihat apa aksi pecundang itu selanjutnya," ucap Fredrick. Lucas mengangguk menyetujui ucapan kakaknya .     "Bagaimana anak buahmu, apa mereka sudah memulai pekerjaan?" lagi tanya Fredrick.     “Ya. Jhony makin selektif menata dan membagi wilayah teritori. Dia tidak ingin ada mata-mata lagi di dalam sindikat. Axton dan Cyclops menjadi dua orang paling sibuk dalam menyeleksi para bawahan. Ohya, kau tidak perlu khawatir soal rumahmu. Vic bekerja sangat giat untuk memperbaikinya dan soal tambang, ada Sam yang langsung mengubah formasi keamananan tambang. Semua yang akan berkunjung di sana harus melalui laser retina. Id card para pengerja akan  muncul otomatis dan jika mereka terbukti penyusup, laser itu akan berubah merah dan langsung menembakan pelurunya di mata penyusup. Selesai, semua aman terkendali. Tidak seorangpun bisa mengetahui pabrik ilegal di balik tambang batu permata kita,” ujar Lucas.     Fredrick tersenyum bangga. Dia menepuk pundak adiknya sambil berucap “Kerja bagus, Luke, aku bangga padamu.”           Sementara itu di dalam gedung tinggi The Redz Diamond..       "Tuan, apa aku harus memanggil ambulance?" tanya seorang wanita blonde hair kepada Marthin.     "Tidak perlu, panggil saja Nelson. Suruh dia kesini sekarang," ucap Marthin pada sekretarisnya.     "Baik tuan," jawab wanita itu. Dia langsung menjalankan perintah tuannya.     "Layla,” panggilnya lagi. Gadis blonde itu berpaling menatap tuanya. “Suruh Peter memeriksa rekaman CCTV semalam, aku curiga b******n itu menyusup perusahaan ini semalam," lanjut Marthin. Gadis bernama Layla itu mengangguk dan tanpa berlama-lama dia kembali melakukan perintah tuannya.     "Maaf tuan, kata Peter tak seorangpun memasuki perusahaan ini semalam, bahkan alarm di kantor ini langsung terhubung dengan kepolisian. Tidak mungkin mere-"     "Bodoh!" sergah Marthin dia menatap sekretarisnya dengan tatapan merendah bercampur marah. "Mereka berhasil meretas sistem keamanan perusahaanku. Kalian semua payah!" Marthin lanjut membentak sekretarisnya.     "Ma-maafkan saya, tuan," ucap Layla. Dia sangat ketakutan sekarang.      Suara bel pintu akhirnya melerai amarah Marthin. Dia memerintahkan Layla sekretarisnya itu untuk membukakan pintu. Pintu terbuka, dan seorang lelaki paruh baya berlari tergesa-gesa memasuki ruangan luas ini.     "Maaf tuan, ada berita buruk," ucap lelaki itu dengan wajah ketakutan.      Marthin yang sedang mengompres hidungnya dengan es batu memutar bola matanya sambil berdecak kesal, “Oh, apa lagi sekarang, cepat katakan!” bentak Marthin.     “Saya mendapat kabar dari tuan Dakson, katanya seluruh pekerja tambang mengalami pingsan masal. Mereka seolah dibius masal. Bahkan dua orang bodyguard-mu ikut menghilang hari ini. Ada yang bilang mereka ikut bersama tuan Van Der Lyn,” ucap pria itu sambil menundukan kepalanya.     “f**k!" Marthin menggeram. Dia melempar punggungnya ke sandaran kursi. Tapi, sedetik kemudian dia kembali menarik dirinya saat sesuatu terlintas di pikirannya. "Bagaimana keluargaku?" tanya Marthin     "Mereka aman di mansion anda, tuan. Para penjaga, pembantu dan pengawal di sana juga tidak mengalami kejadian seperti para pekerja tambang dan pengawal mu. Hanya saja, para pelayan di rumah anda semuanya bangun kesiangan. Mungkin mereka di bius pada malam hari, tuan."     "Sial, sial, sial!!" lagi-lagi Marthin menggeram frustasi. Dia tidak peduli lagi dengan rasa sakit di tubuhnya, yang dia pikirkan saat ini adalah bagaiman caranya membalas dendam pada Fredrick.       Di saat Marthin sibuk menyalahkan dirinya sendiri, tiba-tiba telepon di atas meja kerjanya bordering. Layla, sekretarisnya dengan cekatan langsung menghampiri meja kerja Marthin untuk menerima telepon.     "The Redz Diamond, dengan Layla a-" ucapan Layla terhenti saat seseorang di seberang telepon mengeluarkan suaranya. Layla langsung membeku di tempat, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat. Marthin dan Nelson yang berada satu ruangan dengannya menatapnya dengan heran.     "Layla siapa itu?" tanya Marthin. Layla tidak menjawab, dia malah memberikan gagang teleponnya pada Marthin dengan tangan yang bergetar. Marthin heran akan sikap Layla, perlahan dia meraih gagang telepon dari tangan Layla dan menaruhnya di telinganya.     "Marthin Oliver, kau tidak perlu merasa heran akan berita yang baru saja kau terima.  Itu belum seberapa. Jika kau berani berulah, aku akan menghancurkan tambang berlianmu hingga rata dengan tanah. Oliver, berpikirlah seribu  kali sebelum menyerang aku. Camkan itu!!"      Marthin belum sempat mengeluarkan kata tapi penelepon itu sudah mematikan sambungan telepon secara sepihak.     "Persetan denganmu Van Der Lyn!" Rupanya Marthin cukup mengenal suara itu. Dia langsung memaki tiada henti, "Akan ku balas kau, biadab!!" teriak Marthin, frustasi.     Marthin berdiri lalu. Dadanya berdebar saat melempar semua benda yang berada di atas mejanya. Dia benar-benar menggila, terus mengumpat dan menggeram tiada henti. Dia frustasi, hingga dia tidak lagi mempedulikan rasa sakit di tubuhnya.     Dua anak buahnya yaitu Nelson dan Layla hanya bisa menundukan kepala dan membiarkan bos mereka melampiaskan amarahnya pada benda-benda mahal yang ada di ruangannya. Itu lebih baik dari pada mereka harus menerima makian dari tuannya.     “Argh ….” Marthin berteriak di ujung batas kemarahannya. Dia kembali terjatuh dengan dua lututnya sebagai sandarannya. Marthin tampak kacau saat dengan sadar dia membenturkan kepalanya ke lantai.     “Tuan …,” pekik Layla dan Nelson bersamaan. Mereka langsung menghampiri tuan mereka dan mencegahnya melakukan hal bodoh.     “Aku tahu,” Marthin tersenyum sekarang. Dia mendongak menatap salah satu bawahannya yaitu Nelson, “Aku tahu cara apa yang cocok untuk mengalahkan si bastard Van Der Lyn,” Marthin tersenyum lebar saat sesuatu terlintas di otaknya dan seolah itu merupakan ide terbaik yang dia miliki saat ini. Dengan percaya diri dia mengatakan, “Nelson, kau harus carikan seorang praktisi systema untuk anakku Alex. Dia harus menjadi kuat dan tangguh. Dia,” Mata Marthin mulai berputar dengan sendirinya namun, dia bersih keras untuk tersenyum sambil meneruskan kalimatnya, “Dia harus bisa membalaskan dendamku pada b*****h sialan itu.”      Cukup sampai di sana. Marthin tidak bisa lagi menahan tubuhnya. Dia ambruk di lantai. Mulutnya mengeluarkan banyak darah dan itu sontak membuat anak buahnya takut.      "Oh my God," teriak Layla dan Nelson bersamaan.     "Layla hubungi ambulance,"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD