Chapter 10

1670 Words
"Deon."   "..."   "Deon Ribka!"   "..."   "Ih, Deon tungguin gue!"   "..."   "Ish si lampu Neon nyebelin!" Aku menggerutu sambil terus berjalan menyusul Deon di depanku. Cowok itu berjalan dengan cepat dan tidak menghiraukan panggilanku. Aku tahu ia masih marah padaku. Deon yang biasanya tidak mendengarkan musik ketika berjalan kaki menuju sekolah, anehnya hari ini ia mengenakan headphone-nya. Itu yang membuat ia tidak mendengar panggilanku sejak tadi. Atau memang ia mendengarnya namun sengaja pura-pura tidak mendengar. Jelas-jelas ia sedang menghindariku.   Aku susah payah menyusul langkahnya yang lebar-lebar. Badan Deon jauh lebih tinggi dariku, aku hanya sebatas pundaknya. Jadi sudah bisa ditebak panjang kaki Deon. Dengan kaki itu ia melangkah selebar itu.   "Gue tahu lo masih marah sama gue," seruku. Aku menggenggam tas ranselku dengan erat. Berharap dengan begitu bisa menyalurkan kekesalanku. Tentu saja aku kesal. Deon jarang marah padaku. Ia tidak bisa benar-benar marah padaku biasanya, namun kini kulihat ia sampai mengabaikanku, itu artinya ia sangat marah. Melihatnya marah justru membuatku kesal.   "Berisik." Deon membuka mulutnya.   Setidaknya ia masih mengucapkan satu kalimat itu meskipun dengan nada ketus. Aku tersenyum miring dan lari menyusulnya.   Aku berhasil menyusulnya dan menyejajarkan langkah kami. "Maafin gue," kataku sambil menatapnya dari samping. Lalu aku berjalan lebih cepat melewatinya, dan membalik badanku untuk memandangnya. Sekarang aku berjalan mundur sambil menatap Deon. "Yah? Maafin gue." Aku memasang wajah melas. Lalu mengedip-ngedipkan mataku. Bibirku kumanyunkan sengaja kubuat agar terlihat imut, tapi yang ada malah Deon semakin sinis menatapku.   "Gak usah sok imut," ketusnya. Ia mengalihkan tatapannya. "Gue marah sama lo pokoknya."   Aku menyatukan kedua telapak tanganku. "Maaf. Gimana caranya biar lo gak marah lagi ke gue?" Aku benar-benar sudah tidak punya harga diri lagi sekarang. Memohon pada Deon adalah hal yang tidak pernah kulakukan. Tapi jika harus melihat sahabatku itu marah dan mengabaikanku, aku justru sedih. Kemarin ia seharian mengacuhkan pesanku, teleponku semuanya ditolak. Aku sudah seperti pacar yang meminta agar tidak diputusin sekarang.   "Tauk ah." Setelah Deon mengucap itu tiba-tiba ia berlari kencang sekali ke arah sekolah yang ternyata sudah dekat. Aku terkaget dan malah berhenti berjalan, dan hanya memandang punggungnya yang perlahan menjauh ditelan gerbang sekolah. Mulutku menganga.   Aku tidak habis pikir pada Deon. "Awas ya lampu Neon!"     °°°°   Aku sedang mencatat materi pelajaran Matematika di papan tulis sekarang saat Lita terus saja merecokiku dengan pertanyaan. Cewek itu tak bosan menoel-noel lenganku dengan bolpoin punyanya. Dan berulang kali pula aku menepisnya.   "Gimana kemarin?" tanyanya. Ia menatapku dari samping. Senyumnya lebar dengan tatapan penasaran. Sudah jelas ia kepo dengan apa yang terjadi kemarin.   Aku berdecak. "Nanti bahasnya. Ini sekarang gue lagi nyatet nih," desisku. Aku pura-pura memasang raut serius sekarang. Lalu menatap layar proyektor yang menampilkan gambar kubus di sana. Aku menatap layar proyektor dan papan tulis bergantian.   "Ih, gak pa-pa. Bu Riska gak merhatiin kok," rayunya. Aku tahu Lita pasti benar-benar penasaran.   Aku menggeleng tegas menolak rayuannya. Aku tidak akan tergoda rayuanmu, Lita. "No way," tegasku. Bu Riska memang kelihatan tidak peduli pada murid yang mengobrol, tapi beliau akan tiba-tiba menunjuk murid itu untuk maju ke depan untuk mengerjakan soal. Bukan masalah sebenarnya, tapi ini Matematika. Kuulangi lagi. Ma-te-ma-ti-ka. Siapa yang tidak takut?   "Yah, Alana ..." Lita masih mencoba merayuku. "Apa respon Pak Keano kemarin pas lo bilang gitu?" Cewek itu mendekatkan dirinya padaku.   "Bilang apa?" tanyaku lirih. Aku melirik Lita sekilas.   "Ya bilang kalo lo itu Jasmin." Dari mana Lita tahu aku sudah membicarakan hal itu? Aku melirik cewek itu sekali lagi. Aku sama sekali belum menceritakan apapun tentang kejadian kemarin. Aku juga tidak bisa menceritakan apapun pada Lita.   "Gak ada," lirihku. Aku menjaga agar suaraku tidak terlalu keras. Entah mengapa kalau sedang pelajaran Matematika suasana kelas mendadak horor. Hening.   "Hah?" Lita sedikit menaikkan nada bicaranya. Lalu ia menutup mulutnya dengan telapak tangannya. "Maksudnya gak ada?" cicitnya. Aku tersenyum tipis.   "Iya, gak ada. Beliau gak respon apa-apa kemarin." Akhirnya aku menceritakan pada Lita.   Memang tidak ada respon apapun dari Pak Keano kemarin. Setelah aku mengatakan kalau aku adalah Jasmin, bel berdering keras sekali. Aku bahkan sempat tersentak kaget dan berakhir dengan jantungku yang berdetak kian cepat. Setelah aku menetralkan detak jantungku, aku sudah tidak mendapati Pak Keano di tempat duduknya. Ia ternyata langsung bergegas berdiri dan melewatiku begitu saja. Lalu kemudian berbalik badan saat menyadari aku yang menatap punggungnya yang berjalan jauh.   "Bel sudah berdering. Kamu harus ke kelas sekarang."   Setelah itu ia langsung pergi dan tidak berbalik badan lagi. Aku tidak bisa menemukannya hingga bel pulang sekolah. Akhirnya aku pulang ke rumah dengan bekal rasa penasaranku.   Setelah mendengar jawabanku, Lita memundurkan kepalanya dan menjauhkan kursinya dariku. Aku tersenyum tipis dan menyadari kalau ia sudah tidak penasaran lagi. Mungkin Lita mengira kalau Pak Keano bukanlah Keano yang selama ini di mimpiku.   "Iya, Karlita, kerjakan soal nomor satu." Bu Riska mendongak dan menatap meja kami. Menatap Lita lebih tepatnya.   Apa kubilang ... Bu Riska sepertinya mempunyai six sense, deh.   Dan Lita membeku di tempat duduknya.     °°°°   "Beneran Pak Keano gak bilang apa-apa?" Lita dengan rasa penasarannya yang menyebalkan. Sedetik setelah bel istirahat berbunyi, ia langsung menanyaiku lagi.   Aku mengangguk. "Iya. Gue kan udah cerita."   "Tapi dia tahu kalau Jasmin udah meninggal? Tau dari mana dah?" Lita mengusap-ngusap dahinya.   Aku merenung. Benar dugaanku, Pak Keano pasti adalah Keano dalam mimpiku. Namun mengapa ia tidak mau membahas perihal Jasmin lagi? Bukannya seharusnya ia senang mendengar kalau Jasmin hidup kembali? Haih, sepertinya hanya aku yang berpikir begitu. Memang yang paling tepat itu omongan Deon. Pasti sekarang Pak Keano menganggapku seperti orang gila dan tidak waras. Sekarang, mau ditaruh di mana mukaku jika berpapasan dengannya? Atau ketika di kelas nanti.   "Terus, Deon juga masih marah sama lo?"   Aku reflek mendongak menatap Lita saat  mendengar nama Deon disebut. Lalu berikutnya aku memerosotkan bahuku. "Iya, dia cuekin gue seharian kemarin, chat gue gak di-read, telpon gak diangkat. Tadi pagi juga dia gak nyamper ke rumah. Dia bener-bener marah ke gue." Aku merengek. Lalu membuat suara tangis dengan cara lebay.   Lita menepuk-nepuk punggungku dan memasang raut prihatin.  "Cup. Cup. Emang keterlaluan tuh Lampu Neon."   Aku menenggelamkan kepalaku ke lipatan tanganku di atas meja. "Gue gak tahu lagi caranya mbujuk dia."   "Udah gak usah dipikirin, entar gue yang bilang ke dia."   Aku sontak mengangkat kepalaku. "Lo mau bilang apa? Kalian aja berantem kan kemarin? Dia pasti gak mau ngomong sama lo juga," rengekku.   "Eh iya juga," kekeh Lita. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.   Aku menatapnya dengan nanar. Namun selanjutnya aku mengusap pipiku yang ternyata sejak tadi sudah basah. Tanpa sadar aku menangis. "Oke, nanti sepulang sekolah gue datengin rumahnya deh. Gue bakal minta maaf lagi gimana pun caranya." Aku bertekad.   "Apa kita samperin aja ke kantin?" saran Lita.   Aku mengangkat sebelah alisku. Semarah-marahnya Deon, ia pasti akan lapar juga. Apalagi aku tahu cowok itu tidak tahan lapar. Pasti sekarang ia sedang berada di kantin. "Iya kah?" tanyaku ragu.   "Iya. Yuk, cus." Lita dengan semangat menggandeng lenganku. Ia menarikku agar bergegas menuju pintu kelas. "Si Neon pasti gak bisa lama-lama tuh marahan sama lo. Gue yakin."   "Iya." Aku mengangguk setuju. Deon pasti tidak akan lama mengabaikanku. Aku ikut bergegas melangkahkan kaki.   Kami melewati tangga untuk mencapai lantai satu di mana kantin berada. Kantin dekat dengan kantor guru. Jadi memudahkan para guru mengawasi murid-murid di sekolah kami yang membolos pelajaran dan malah nongkrong di kantin. Hal itu tentu saja tidak pernah terjadi. Strategi sekolah sangat tepat menempatkan kantin dekat dengan kantor guru. Aku memandangi ruang OSIS yang bersebrangan dengan kantin, lalu selanjutnya memandangi kantor guru. Mataku mengedar. Entah mengapa aku jadi kepikiran Pak Keano sekarang dan bukannya malah fokus dengan Deon.   "Nah, itu Deon."   Aku tersentak tatkala Lita mengacungkan jarinya menunjuk segerombol siswa yang sedang asik mengobrol di salah satu meja kantin. Mereka tepat berada di tengah-tengah kantin. Maksudku, kantin di sekolah kami itu dibagi menjadi tiga sisi. Meja-kursi kelas sepuluh berada di sisi kanan, meja-kursi kelas dua belas berada di sisi kiri, dan kelas sebelas tepat di tengahnya. Jadi jika ingin menempati area makan kelas sebelas, aku harus berjalan melewati meja kelas dua belas dan sepuluh. Artinya ini akan menjadi pusat perhatian.   "Mereka sengaja ya biar jadi pusat perhatian begitu?" Aku bergumam. Lita mendengarku lalu mengangguk.   "Yah, cogan-cogan kelas sebelasnya SMA Bina Bangsa berkumpul di sana."   Aku mengangguk. Sambil berjalan, aku bisa melihat ada beberapa siswa dengan paras di atas rata-rata sedang mengobrol dengan Deon. Empat orang yang kukenal ada di sana, ada Iqbal, Adit, Erza, dan Reyhan, teman sekelas Deon. Lalu sisanya ada tiga orang lagi yang kukira salah satunya anak OSIS di sana, sedangkan lainnya anak-anak ekskul basket. Aku menelan ludah susah payah.   "Wah, gue kek lagi nonton acara drakor aja sekarang." Lita bermonolog saat kami sudah mendekati meja Deon. "Kenapa mereka harus ganteng-ganteng sih?"   Aku mengangguk menyetujui. Sebagai penikmat cogan, aku mengakui kalau teman-teman Deon memang tampan semua. Tunggu, mengapa sekarang aku baru menyadari kalau Deon juga ganteng?   "Na, Na, Na."   "Wih, ada si Nana."   Aku mendengar bisik-bisik itu yang ditujukan untuk Deon. Mereka serentak menatap kami. Aku meringis. Deon sekilas melirikku lalu mengabaikanku. Ia mengalihkan tatapannya dan kembali asik mengobrol.   Sialan!   "Anjir kita dicuekin, Na." Lita berbisik ke telingaku. Ia melipat tangannya di depan d**a dan memandang segerombol cowok itu lagi yang ajaibnya langsung kembali asik dengan dunia mereka sendiri.   "Kita balik ke kelas aja yuk, Ta." Aku menarik lengan Lita. Ia hampir melangkah mendekat meja Deon namun kucegah.   "Kenapa, Na? Gue mau marahin Deon karena udah nyuekin lo." Lita menggulung lengan seragamnya.   "Jangan. Udah-udah. Kita balik ke kelas ya." Aku sekali lagi menarik lengannya. Kami sudah menjadi pusat perhatian sejak tadi rupanya. Deon juga beberapa kali kudapati melirik kami. Aku tidak ingin menjadi pusat perhatian. Ingin cepat-cepat menjauh dari sini.     Aku yang sedang menarik lengan Lita tidak menyadari kalau tiba-tiba lengan Lita tertarik ke belakang dan justru mendorongku keras. Aku terdorong ke belakang dan malah tersandung kakiku sendiri. Aku sontak menjerit.     "Argh!"     "Alana!"     Mataku terpejam. Tapi tunggu! Mataku yang tadi sempat terpejam karena mengira akan terjatuh dan merasakan sakit, tiba-tiba terbuka lebar. Aku merasakan tubuhku ditopang oleh dua buah lengan kekar di sana. Aku tidak jadi terjatuh. Dan begitu aku menoleh ke samping kananku, aku mendapati sosok lelaki yang sangat mengejutkanku. Aku menatapnya dengan raut terkejut, sedangkan Ia balas menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan.   "Pak Keano?"   Iya. Pak Keano yang menangkapku.     °°°°              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD