Chapter 11

1388 Words
  "Argh!"     "Alana!"     Mataku terpejam. Tapi tunggu! Mataku yang tadi sempat terpejam karena mengira akan terjatuh dan merasakan sakit, tiba-tiba terbuka lebar. Aku merasakan tubuhku ditopang oleh dua buah lengan kekar di sana. Aku tidak jadi terjatuh. Dan begitu aku menoleh ke samping kananku, aku mendapati sosok lelaki yang sangat mengejutkanku. Aku menatapnya dengan raut terkejut, sedangkan Ia balas menatapku dengan sorot mata yang sulit kuartikan.   "Pak Keano?"   Iya. Pak Keano yang menangkapku.   Aku terkesiap sesaat. Mata kami bertemu. Ia terlihat menatap jauh ke dalam mataku. Aku sulit mengartikan arti tatapan itu. Datar. Bagai tidak ada ekspresi yang tergambar. Setelah itu ia membantuku berdiri, dan melepaskan lengannya di bahuku. Entah mengapa aku merasa kehilangan.   "Lain kali hati-hati," katanya datar. Ia mengedipkan mata dan berdehem.   Aku mengangguk dua kali lalu tersenyum. Melihatnya mau membantuku seperti tadi membuat hatiku menghangat. "Iya, Pak. Terima kasih," balasku. Aku menyingkirkan helaian rambut di pelipisku ke samping telinga. Aku tak henti mengumbar senyuman.   Pak Keano terlihat mengangguk. Ia melanjutkan langkahnya. Aku melihat punggungnya perlahan menjauh. Namun sedetik kemudian aku menyaksikan punggung itu berbalik. Pak Keano berbalik badan. Ia menatapku. Lalu ia melangkah kembali mendekat ke arahku. Gerakan itu bagai slow-motion di mataku. Aku menyeringai.   "Alana, sepulang sekolah kamu temui saya di kantor guru." Ia mengucapkan kalimat itu dengan sangat pelan dan lirih, namun masih bisa kupahami. Aku yakin selain aku, tidak akan yang bisa mendengarnya. Setelah itu, Pak Keano perlahan berbalik dan menjauh lagi. Ia melangkah menuju kantor guru.   Aku lagi-lagi menyaksikan semuanya dengan mataku, dan terperangah. Tanganku terangkat ke arah d**a kiriku, kurasakan jantungku berdetak kencang sekali. Sudut bibirku tertarik.   "Na, Lo gak pa-pa?"   "Ta."   "Heum?"   "Gue barusan ketemu malaikat."   "Hah?"     °°°°   Aku sedang bersantai di depan televisi ketika bel rumah berbunyi. Aku tidak menghiraukannya, karena dari arah dapur Mama bergegas menuju pintu dan membukanya. Mama menemui tamu itu. Sudah satu jam yang lalu sejak aku sampai di rumah. Aku bahkan sudah berganti pakaian dengan kaos oblong dan celana jeans sepahaku. Aku berselonjor kaki di sofa depan tv dengan setoples keripik singkong di dekapanku. Saat ini tv sedang menampilkan tayangan kartun favoritku. Aku tidak bisa melewatkannya se-episode pun.   Aku meraba sofa dan mencari keberadaan ponselku. Begitu ketemu aku langsung mengecek chat di sana. Pesanku untuk Deon belum dibaca sama sekali sejak dua hari lalu. Padahal last seen-nya lima menit yang lalu. Aku mencebik bibir. Lalu tiba-tiba dua buah suara merasuki indera pendengaranku. Arahnya dari pintu depan.   "Tadi Mama bikin bolu tapi kebanyakan, akhirnya dibagiin ke tetangga. Dimakan ya, Tante."   Aku mendengar suara yang familiar bagiku. Itu seperti suara Deon.   "Bilangin makasih ya buat Mama kamu."   "Iya, Tante." Deon mengangguk kecil dan menyungging senyum.   "Gak mau masuk ke dalam? Kamu dari kemarin lusa gak nyamper Alana, kenapa?" Mama Alana menanyakan hal itu. Cowok di hadapannya kikuk dan bingung akan jawabannya.   Deon meringis aneh. "Dari kemarin kesiangan terus, Tante." Pada akhirnya hanya itu yang bisa ia ucapkan. "Deon ditunggu Mama. Mau antar bolu ke tetangga lagi."   "Gak ketemu Alana dulu?" tanya Mama.   Deon mengibaskan tangannya. "Gak, Tante. Besok juga ketemu di sekolah."   Mama mengangguk maklum dan balas tersenyum. "Ya udah. Sekali lagi makasih ya buat bolunya."   Aku bergegas berlari menuju keluar. Saking semangatnya, aku bahkan menabrak bahu Mama saat berpapasan dengannya. Aku hanya meringis. "Maaf, Ma."   Mama menggelengkan kepalanya dan masuk ke dalam rumah. Kini di luar hanya menyisakan aku dan Deon. Cowok itu menatapku datar. "Lo udah mau pulang?" tanyaku. Aku sebenarnya hanya basa-basi menanyakan itu. Deon hanya mengangguk sekali dan hendak berbalik badan, namun berhasil kucegah.   "Lo masih marah sama gue?" tanyaku. Aku berseru dan membuatnya membalik badan kembali. Ia menghela napas menatapku.   Aku memanyunkan bibir dan memasang muka melas. "Maafin gue, Please. Eng-eng?" Aku benar-benar sudah tidak ada harga dirinya sekarang. Tapi tak apa, akan kulakukan apapun agar Deon mau memaafkanku.     Melihatku memasang ekspresi seperti ia sekali menghela napas. Kali ini lebih keras. "Kaki lo gak pa-pa?" tanyanya. Ia menunjuk kakiku.   "Hah?"   "Tadi kan kesandung." Deon sudah tidak begitu datar mengucapkan kalimat itu. Tatapannya juga sudah melunak.   "Oh, gak pa-pa, kok." Aku menyengir. "Gue bisa lompat-lompat, nih." Aku mempraktikkannya dan melompat. Deon hanya menggelengkan kepalanya menyaksikan tingkahku. Cengiranku makin lebar.   "Tadi pulang sama siapa?" tanyanya lagi.   Sudut bibirku tertarik. "Lo udah gak marah sama gue?" Mataku berbinar menatapnya.   "Ditanya, kok," gerutunya. Ia sedikit menarik sudut bibirnya dan tersenyum tipis.   "Ya sendiri dong. Kan gue jomblo." Seperti dugaanku, Deon kini terkekeh. Ia sudah tidak marah denganku sepertinya. "Lo udah maafin gue?" lanjutku. Aku menatapnya dengan tatapan menuntut kejelasan.   "Tergantung."   "Tergantung apa maksud lo?" Aku tidak paham dengan ucapannya.   Ia menarik napas sebelum melanjutkan. "Tergantung lo mau jujur ke gue atau ga?"   Aku mengerutkan dahi. "Jujur? Gue gak ngerti. Selama ini gue selalu jujur ke lo."   "Tadi ... gue dengar kalau Pak Keano ajak lo bicara sepulang sekolah."   Aku terkesiap kecil. Jadi, Deon mengetahui kalau tadi Pak Keano sempat mengajakku bicara sepulang sekolah? "Oh itu ..." Aku menjeda kalimatku. Aku sengaja belum menceritakan semuanya, aku takut reaksi Deon akan berubah.   "Oh jadi lo gak mau jujur ke gue? Ya udah gue balik," ancam Deon. Ia berbalik badan dan melangkah menjauhiku. Aku sebenarnya bingung ingin mengatakan sejujurnya pada Deon atau tidak. Aku bingung harus mengatakan apa. Namun, aku juga tidak ingin hubungan kami menjadi canggung seperti kemarin. Aku tidak ingin Deon menghindariku lagi atau parahnya menjauhiku. Jadi, pada akhirnya aku memutuskan untuk mengatakan semuanya pada Deon. Aku menatap punggung Deon yang hampir menjauh dan menuju pagar rumahku. Lalu berseru, "Gue dibilang gila!" Langkah Deon terhenti mendengar seruanku. Ia membalikkan badannya. Lalu menatapku lurus-lurus. Aku menatapnya serius. Lalu mulai menceritakan semua yang tadi terjadi di kantor guru, sepulang sekolah.   °°°°     "Saya ingin memastikan kalau ucapan kamu tempo hari hanya bercandaan, atau sekarang namanya prank, Alana. Saya akan maafin kamu kalau kamu bilang itu semua hanya prank." Pak Keano menatapku dengan wajah yang tidak sedingin sebelumnya. Ia sedikit melunak. Mungkin ia berpikir kalau pernyataanku padanya beberapa hari lalu hanyalah gurauan semata, makanya ia melembut.   "Saya bilang akan memaafkan kamu kalau kamu hanya bercanda. Jadi kamu jawab jujur." Ia menanti jawabanku.   Aku balas menatapnya. Dari sorot matanya aku menebak kalau ia sungguh berharap kalau aku hanya bercanda atau bergurau. Aku menggeleng, sebagai respon. "Saya gak lagi bergurau atau prank Bapak."   Pak Keano tampak tercengang. Wajahnya menegang. Lalu matanya mengedip-ngedip sambil tertawa sumbang. "Kamu jangan bercanda, Alana."   Sekali lagi aku menggeleng mantap. "Enggak, Pak. Saya lebih serius dari yang Bapak kira," kataku. Aku memandangnya lurus-lurus.   "Maksud kamu ... kamu adalah Jasmin? Maksudnya apa? Jasmin sudah lama meninggal dunia."   Aku menunduk memikirkan jawaban yang tepat. Lalu sedetik kemudian mendongak. "Saya adalah reinkarnasi Jasmin, Pak," yakinku.   "Gak mungkin! Ini gak mungkin, Alana. Kamu jangan main-main dengan saya," tegasnya. Ia menunjukku dengan raut wajah yang mulai menegang. Ia tampak marah? Atau kesal?   "Biar saya jelaskan dulu, Pak. Saya harap Pak Keano bisa dengarkan dengan seksama." Aku melembutkan suaraku. Aku tidak ingin terbawa emosi.   "Apa yang harus dijelaskan? Ini gak masuk akal. Coba kalau kamu bicarakan hal ini dengan orang lain, orang itu akan anggap kamu gila."   Aku tersentak kaget mendengar ucapannya. Benar perkataan Deon. Bahkan Keano akan menganggapku gila. Entah mengapa hatiku tiba-tiba sedih. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku mengalihkan tatapanku darinya. Tatapanku mengedar. Kami saat ini berada di ruang OSIS. Ruang yang sepi karena hanya ada aku dan Keano.   "Saya bermimpi, Pak. Dalam mimpi itu ada dua anak kecil. Mereka diculik, lalu salah satu dari mereka terbunuh. Lalu saya juga bermimpi kalau Jasmin-"   "Tunggu! Maksud kamu ... kamu hanya berbekal mimpi untuk meyakini dirimu kalau kamu adalah reinkarnasi Jasmin?"   Aku mengangguk. "Saya bisa sebutin semuanya tentang Jasmin, Pak. Saya yakin saya-"   "Cukup!" serunya. Ia memotong kalimatku. "Ini gak masuk akal. Ini gila. Saya gak bisa lanjutin. Jasmin sudah meninggal 22 tahun yang lalu, bagaimana bisa dia terlahir lagi?" Ia menatapku dengan geram. Aku melihat urat di lehernya hampir keluar. Ia melanjutkan kalimatnya. "Saya gak percaya dengan hal ini, jadi saya anggap kamu tidak bicara apapun, saya anggap saya gak dengar apapun. Kamu boleh pulang sekarang." Keano menatap lantai. Ia tampak terpukul.   Mataku yang sejak tadi berkaca-kaca kini sudah meneteskan air dari sana. Aku menangis dalam diam. Aku kecewa. Bahkan Keano tidak ingin sedikit saja percaya padaku. "Keano ... Aku Jasmin." Aku tersedak tangisanku.   Keano menyaksikan hal itu dengan wajah tegang. Ia mengusap wajahnya dengan cepat. Lalu menatapku dengan datar. "Kalau kamu gak mau keluar,  biar saya aja yang keluar." Setelah itu ia bergegas beranjak dan melangkah ke pintu, ia membuka pintu itu dan keluar.  Lalu menutupnya dengan keras.   Aku menatap semua itu dengan linangan airmata. Mengapa ini semua terasa sangat sakit bagiku?     °°°°  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD