Keano jadi mengingat kejadian kemarin. Saat ia mendapati lampu di toilet guru mati, dan memanggil cleaning service yang baru untuk membenarkannya. Ternyata cleaning service itu adalah Robi. Penculik sekaligus pembunuh Jasmin. Pria itu sudah keluar dari penjara. Rupanya ia benar-benar bisa bebas sekarang.
Namun sepertinya pria itu tidak lagi mengingat Keano. Buktinya, kemarin pria itu memasang wajah ramah seolah memang berbicara dengan orang asing yang baru ditemui.
Tidak seperti Keano yang justru memasang raut tegang. Jujur ia bingung apa yang harus ia lakukan sejak kemarin. Dua hal yang membuatnya kebingungan. Ada seorang siswi yang tiba-tiba mengaku sebagai reinkarnasi Jasmin yang sudah meninggal 22 tahun yang lalu. Juga fakta bahwa Robi telah bebas dan berkeliaran di sekelilingnya. Kedua hal itu mengusiknya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa tiba-tiba hal ini terjadi secara bersamaan?
Mengapa Keano merasakan hawa aneh dan mencekam saat menatap sorot mata Robi? Keano pikir, pria itu pasti akan menuntut balas padanya. Karena bukti kesaksian yang Keano berikan untuk memenjarakan Robi 22 tahun silam. Keano yakin Robi pasti mencarinya, dan terbukti dari dirinya yang mendapatkan surat misterius dari Robi. Namun, kedatangan sosok gadis yang mengaku reinkarnasi Jasmin itu ... Ah mengapa bisa hal ini terjadi?
Apa ini pertanda kalau artinya Keano harus melindungi dirinya sendiri dan juga gadis itu?
"Ah, ini gak ada sangkut pautnya sama Alana. Dia mungkin benar memang reinkarnasi, terus apa? Gak ada sangkut pautnya." Keano bergumam sendiri. Ia sejak tadi memandang bunga matahari di genggamannya.
"Tapi, kenapa bisa mereka tiba-tiba muncul di waktu yang bersamaan dan tempat yang sama?" tanyanya dengan dirinya lagi.
Keano mengusap wajahnya frustrasi. Semakin dipikirkan, kepalanya rasanya semakin akan pecah.
"Ah, Alana kan dikelilingi orang-orang yang sayang sama dia. Pasti bakal banyak orang yang ngelindungi dia." Keano bergumam lagi dan mengangguk. Namun hati kecilnya berkata berbanding terbalik dengan gumamannya barusan.
"Aih, s**t!"
Kenapa aku kepikiran Alana terus? Apa benar aku harus melindungi Alana?
°°°°
Keano berjalan dari toilet pria khusus guru dengan raut muram. Pasalnya lampu toilet tiba-tiba saja mati. Ia geram. Sedangkan saat itu tidak ada siapapun di sana selain dirinya. Jujur ia masih memiliki trauma akan gelap dan ruangan sempit seperti toilet.
Berjalan menuju kantor guru, Keano mencari guru yang bisa diajak diskusi terkait lampu yang mati itu. Pasalnya ia adalah guru baru di sana. Jadi belum tahu sistemnya jika ada lampu yang mati.
Begitu melihat salah satu guru yang masih ada di kantor guru -disaat guru lainnya sudah bergegas pulang ke rumah masing-masing- Keano bergegas menemuinya. Itu guru mata pelajaran Biologi. Beliau cukup ramah sejak pertama kali Keano menapakkan kakinya di sekolah ini.
"Pak," sapa Keano begitu mereka bersitatap. Keano tersenyum ramah. "Belum pulang?" tanyanya.
Guru laki-laki paruh baya dengan rambut yang hampir memutih semua itu membalas sapaan Keano tak kalah ramah. "Eh, Pak Keano. Iya, masih ada yang perlu dikerjakan di sekolah. Pak Keano sendiri?"
Seperti dugaan Keano, guru itu pasti akan bertanya balik. Dan dengan begitu Keano akan memberitahu yang sebenarnya. Terutama tentang lampu toilet itu.
"Anu, Pak. Tadi saya mau pulang, terus mampir ke toilet dulu, eh tiba-tiba lampu toilet mati."
Guru yang memakai baju batik itu mengangguk-angguk, seolah paham dengan permasalahan Keano.
"Coba Pak Keano cari cleaning service, minta diperbaiki lampunya. Mereka bakal langsung paham kok," sarannya. Lagi-lagi dengan senyum mengembang.
Gantian Keano yang tersenyum sumringah. "Oke, Pak. Saya langsung cari aja orangnya. Terima kasih," kata Keano. Ia mengangguk dan bergegas keluar ruangan. Kakinya menuntunnya mencari sosok cleaning service yang dimaksud. Sekolah benar-benar hampir sepi. Dan hanya beberapa siswa saja yang sedang berkegiatan ekskul, sedangkan guru-guru yang lain sudah pulang.
Keano melirik arlojinya. "Padahal baru jam empat," gumamnya. Ia menyusuri koridor kelas dua belas yang terletak di lantai satu. Lalu kakinya membawanya ke koridor searah dengan parkiran belakang.
Matanya menemukan satu sosok pria berseragam biru muda, khas cleaning service sekolah ini. Pria itu tengah memangkas rumput di sekitar parkiran. Keano tersenyum dan mempercepat langkahnya.
Begitu sudah tepat di belakang pria itu, Keano menepuk pundaknya. Dan begitu pria itu berbalik badan, senyum Keano tiba-tiba luntur. Matanya melebar. Wajahnya tiba-tiba menegang. Lidahnya kelu, tak dapat difungsikan untuk bicara sebagaimana biasanya.
Sosok cleaning service di depannya membuatnya terkejut. Seluruh aliran darah di tubuhnya langsung memompa jantungnya kian cepat. Keano merasakan jantungnya berdetak tidak senormal frekuensi biasa.
Pria itu ... Robi. Si Penculik sekaligus pembunuh Jasmin.
"Iya, Pak?" tanya pria di depannya. Masih bingung ketika mendapatkan tepukan di pundaknya. Dahinya berkerut menyaksikan keterkejutan orang di depannya, Keano.
Keano masih mengenali sosok itu. Sosok yang sejak 22 tahun lalu sering muncul di mimpinya. Yang membuatnya sering tak bisa tidur nyenyak karena mimpi buruk. Sosok mengerikan yang membunuh Jasmin. Dan sosok itu kini ada di depan matanya.
Keano melirik pin nama di baju pria itu. Namanya sama tercetak jelas di sana. Robi. Benar, pria itu.
"Pak?" Pria itu masih dengan wajah ramahnya. Ia masih bingung. Namun juga tidak bisa membalas apa-apa, karena sejak memanggilnya, Keano tidak berucap apapun.
Keano tersentak seketika. Lalu menelan ludahnya susah payah. Tiba-tiba ia merasa seperti dihantam batu yang keras sekali di belakang kepalanya. Lidahnya ia paksa untuk bicara, namun masih belum juga mengeluarkan suara apapun. "Eng-" Hanya itu yang bisa ia ucapkan. Bahkan seketika ia lupa niat awalnya memanggil pria itu untuk apa.
Lalu ia merasakan ada orang yang mendekati mereka. Keano merasa ada orang di sana selain dirinya dan Robi. Jadi, ia paksakan kali ini untuk bicara. Ia tidak boleh takut begitu saja. Sepertinya Robi tidak mengenalinya karena penampilan sekarang. Ingat, anak kecil usia delapan tahun itu kini sudah menjadi tiga puluh tahun.
Keano menetralkan raut mukaku. "Lampu di toilet guru laki-laki mati, Pak. Bisa tolong diperbaiki?" tanyanya.
Senetral mungkin ia tersenyum ramah. Lalu pria di depannya pun mengangguk.
"Baik, Pak. Nanti saya perbaiki," katanya. Tanpa ada raut amarah sedikitpun. Tidak mungkin ia mengenali Keano saat ini. Buktinya Robi masih tersenyum ramah dan tatapan tenang.
Sedangkan Keano menyaksikan itu dengan tatapan ngeri. Ia ngeri melihat pria pembunuh itu kini bersikap sok ramah di depannya. Senyum miring tercetak di wajah Keano.
"Permisi, Pak."
Dua orang siswi tiba-tiba melewati mereka. Keano hanya mengangguk membalas sapaan itu. Satu siswi yang berjalan di depan, yang juga tadi menyapa Keano ia tahu bernama Rani, salah satu anggota OSIS yang tempo hari bertemu dengannya di rapat OSIS. Rani menggandeng temannya di belakangnya dan terus menggandeng tangannya seolah menarik temannya untuk mengikutinya.
Keano mau tak mau terkejut saat mengetahui siapa teman yang digandeng Rani itu. Dia Alana. Mata mereka bertemu di suatu titik. Dan Keano benar-benar tidak mengerti harus bagaimana.
"Mengapa tak sengaja aku menatap sosok Jasmin terpantul dari mata Alana?" batin Keano.
Ia masih terkejut bahkan saat Alana melewatinya dan berjalan menuju parkiran. Lalu ia bergegas meninggalkan tempat itu setelah melihat Robi sudah kembali memangkas rumput.
Keano berjalan dengan cepat. Ia bahkan sampai di kantor guru hanya dengan waktu kurang dari satu menit. Begitu sampai di meja gurunya, ia langsung terduduk di kursinya. Jantungnya masih berdetak kencang. Ia buru-buru meredakan detak jantungnya.
"Ini apa?" tanyanya frustrasi.
Keano mengusap wajahnya kasar. Ia bahkan meremas rambutnya sendiri.
"Apa yang barusan terjadi?"
Keano masih bertanya pada dirinya. Ruangan guru sudah sepi. Dan menyisakan dirinya sendiri di sana. Suaranya hampir menggema di ruangan itu.
"Kenapa bisa?"
Kenapa ... Robi muncul lagi?
Lalu Alana yang mengaku reinkarnasi Jasmin?
"Apa maksudnya?"
Keano berakhir menelungkupkan kepalanya di lipatan tangannya. Lalu tangan kanannya terangkat ke atas meja dan memukul mejanya dengan keras.
Apa maksud Robi kini berkeliaran di sekelilingnya?
"Argh! Sial!"
°°°°
"Tadi Pak Keano benar-benar gak respon apapun?" Lita bertanya padaku. Ia menatapku dengan tatapan tidak percayanya. "Lagi?" sambungnya.
Aku yang sedang mengemasi buku dan tasku tidak menoleh sama sekali. Aku hanya memasang wajah muram dengan bibir yang dimanyunkan. "Iya," balasku.
Lita ikut memanyunkan bibirnya lalu menepuk pundakku. "Yang sabar ya, Na." Ia mengelus bahuku. "Lo coba lagi, okay?" sarannya. Lita tersenyum dan menatapku lebih dekat.
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Lalu sedetik kemudian, anggukanku berganti menjadi gelengan. "Gue udah janji sama Deon kalau Pak Keano gak percaya, gue bakal nyerah."
"Yah ... terus lo beneran bakal nyerah?" Lita bertanya dengan wajah terkejut. Berikutnya ia memanyunkan bibirnya mengikutiku.
"Iya," jawabku. Aku mengangguk. "Gue udah janji."
Lita tidak membalas lagi ucapanku dan hanya mengusap bahuku. Ia menyemangatiku dan menyuruhku agar tidak bersedih lagi. Lalu ia pamit duluan pulang ke rumah, karena Lita membawa motor dan rumahnya memang lebih jauh dariku, ia bergegas berjalan ke ambang pintu. Aku melihatnya menghilang di ambang pintu dan digantikan Deon yang sudah berdiri dengan tangan yang dimasukkan saku celana.
"Cus, balik." Deon kini melambaikan tangannya ke arahku.
"Iya," jawabku. Aku langsung menggendong tas ranselku dan berjalan menghampirinya. "Yuk."
Kami berjalan perlahan melewati koridor kelas dan kini sudah menuruni tangga. Langkahku terayun berat seiring napasku yang sejak tadi terus saja kuembuskan. Rasanya seperti habis ditolak cinta.
"Kenapa?" tanya Deon. Ia benar-benar peka. Sangat peka.
Aku mengangkat wajahku, lalu kembali menunduk. Sedetik berikutnya aku menghela napas kasar. "Keano gak percaya lagi sama gue."
Mendengar itu Deon menghentikan langkahnya. Kakiku sontak ikut berhenti melangkah. Aku memperhatikan sekitar, ternyata kami sudah berada mendekati gerbang sekolah. Aku menatap Deon. Mengapa ia jadi tinggi sekali sih? Padahal dulu aku yang lebih tinggi darinya.
"Lagi?" tanyanya. Deon persis seperti Lita.
Aku mengembuskan napas kasar untuk kesekian kali. "Iya. Dia gak percaya. Lagi. Lagi, dan lagi." Aku lalu menggelengkan kepalaku. "Kenapa sih susah banget percaya sama gue?"
Bibirku sudah manyun seperti bebek. Wajahku sudah tidak terlihat cantik pokoknya.
"Kan ..." Deon mendesah. "Udah mulai sekarang lo gak usah ingat-ingat dia lagi."
Aku mengangguk lemas. "Iya. Gue udah janji. Gue gak akan sebut nama mereka lagi. Gue bakal lupain fakta bahwa gue reinkarnasi Jasmin," jelasku. Nada bicaraku sudah benar-benar tidak karuan. Aku lemas. Mau bagaimanapun aku meyakinkan Keano, lelaki itu tidak akan pernah memercayaiku.
"Gue bakal lupain Jasmin, juga Keano," sambungku lagi. Aku kini menunduk. Aku memilin ujung seragam OSISku dengan pelan. Seperti kehilangan tenaga.
"Gue-"
Sret
Ucapanku terhenti. Aku terkejut saat tanganku tiba-tiba ditarik oleh seseorang hingga menyebabkan aku memutar badanku. Dan begitu terkejutnya aku saat mendapati sosok itu di hadapanku. Keano.
Dadanya naik turun seperti sehabis berlari. Ia mencoba menetralkan napasnya. Lalu berulang kali mengembuskan napas. Ia menarikku mendekat ke wajahnya.
"Kamu ... benar Jasmin?"
Mataku membelalak.
°°°°