Pengecut

3212 Words
"Eh.. ngapain kamu disini?" tanya seorang laki-laki asing pada temannya. "Tadi, aku melihat seseorang yang berlari. Sepertinya dia tahu apa yang kita lakukan." jawabnya. "Apa katamu? Dimana dia pergi?" tanya temannya. "Apa mereka tahu apa yang kita lakukan tadi?" tanyanya. Wajahnya terlihat lebih panik. "Sepertinya mereka tahu?" "Terus kemana mereka pergi? Dan, ada berapa orang." "Kalau aku tahu, aku tidak mungkin mencarinya. satu pasangan." Terlihat seorang wanita berjalan melewati dua orang laki-laki asing itu. Tanpa rasa takut, tau bahkan curiga. Dia berjalan di sampingnya. Salah satu laki-laki asing itu meraih tangannya. Menariknya berdiri di depannya. "Kamu melihat pasangan tadi kemana?" tanya dua laki-laki yang mengejar Varo dan Queen tadi. "Aku tidak melihatnya." jawab wanita itu. "Jangan bohong padaku?" bentak mereka. "Siapa yang bohong, aku hanya bicara jujur. Aku tidak melihatnya." ucap wanita itu. "Kamu katakan sebenarnya atau aku akan membunuhmu." ancam laki-laki itu mencoba untuk menggertak wanita itu. Salah satu dari mereka mengeluarkan senjata yang sudah siap menerima tembakannya. "Maaf, tuan.. Saya benar tidak melihat mereka." ucapnya tertunduk takut. Tubuhnya mulai gemetar. Melihat senjata di tangan salah satu laki-laki itu. Siapa yang tidak takut melihat pistol di depannya. Dan, mengarah tepat ke arah keningnya. *** Sementara Queen melihatnya dari jauh. Dia melihat jelas wanita yang berada di sana. Dia terlihat ketakutan. Queen mencoba untuk beranjak. Dengan cepat, Varo menarik tangannya untuk kembali bersembunyi. Dia mendorong tubuhnya kesekian kalinya mendaftar fi dingin gedung itu. Queen menahan rasa sakit di punggungnya akibat benturan itu. Dia hanya diam, sedikit mengumpat kesal dalam hatinya. "Kamu mau kemana?" tanya Varo. "Menolong dia." tajam Queen. "Untuk apa?" tanya Varo. Melotot tajam padanya. Queen memincingkan salah satu matanya. "Untuk apa katamu? Apa kamu pikir aku membuatnya untuk apa? Aku hanya menyelamatkan nyawa wanita itu." Queen mengeraskan nada suaranya. "Mereka bawa senjata." tegas Varo. "Apa.kamu yakin bisa melawan mereka. Apalagi, gimana jika mereka ternyata punya teman di sekitar sini. Kita tidak tahu jumlah mereka berapa. Dan, yang penting membahayakan nyawa kita. Mereka juga punya senjata." jawab Varo penuh emosi. Queen berdengus kesal. Dia mengerucutkan bibirnya. Memasang wajah cemburut. "Aku tidak peduli." mereka berdua saling menatap tajam. Percikan api kekesalan mulai menyambar di mata Queen. Kedua mata mereka saling menatap lekat. Seolah aliran kemarahan mulai menjalar antara pandangan matanya. Alis mata Queen tersentak bersamaan. "Apa, kamu tidak peduli. Dasar pengecut. Sekali pengecut tetap akan jadi pengecut." ledek Queen menarik sudut bibirnya sinis. Mengangkat tangannya, menepuk pundak Varo dua kali. "Jangan sentuh aku!" geram Varo. Menepis tangan Queen di pundaknya. "Alergi disentuh wnaita?" tanya Queen. Queen memutar matanya malas. Dia kembali fokus melihat situasi di sana. Kedua tanganya mengepal sangat erat. Rahang Queen mulai menegang. Dia tidak bisa melihat orang ditindas. Tapi, laki-laki di depannya selalu menghalanginya. Rasanya ingin sekali menendang jauh laki-laki di depannya ini. Queen menatap sekilas dengan tatapan penuh kebencian. "Apa?" ucap Varo nyolot. "Pe.. Nge.. Cut.." ucap Queen dengan nada rendah dan sengaja di pelankan. Dia sengaja mengeluarkan tatapan mengejek. Sembari menggerakkan kepalanya, dia sengaja mengekspresikan wajahnya mengejek. Tak mau kalah dengan wajah angkuh di depannya. Queen mengamati pergerakan dua laki-laki tadi. Dia menatap lekat wajah yang tak begitu asing di matanya. Queen menakutkan kedua alisnya. Dia terus mengamati detak wajahnya. Meski terhalang pohon pendek, dan hanya terlihat sekilas wajahnya dari samping. Varo juga mengamati mereka. Sementara Queen bergantian mengamati wajah Varo. Dia melihat Varo nampak aneh. Kenapa juga dia takut? Pikirnya. Kedua matanya meneliti setiap pergerakan mimik wajah Varo. Dia mencoba melihat ada yang aneh tidak darinya. Tetap saja pikirannya yang aneh. Dia terus menatapnya kagum jika mengamati wajahnya. Lagian, salah siapa dia harus tumbuh jadi laki-laki yang tampan. Dan, menggoda dj matanya. Meski kedua sahabatnya di rumah juga tidak kalah tampan darinya. Tapi, entah kenapa dia berbeda. Punya ciri khas sendiri yang bisa menarik hatinya. Mungkin memang sifatnya yang angkuh, dingin, jutek, seolah tidak peduli. Tapi, sebenarnya dia sangat peduli dengan orang di sekitarnya. Varo sadar wanita di depannya sedari tadi terus memperhatikan dirinya. Dia kembali menatap wajah Queen dengan tatapan sinis dan juteknya. Apalagi, terlihat dari wajah dinginnya. Dia laki-laki yang sangat angkuh. "Ada apa?" tanya Varo, tanpa melirik ke arahnya. Queen hanya meringis. Menunjukan gigi putihnya. "Tidak ada apa-apa." ucap Queen beralasan. Dia yang masih segera memalingkan wajahnya. Perlahan kini mulai memerah di buatnya. "Jangan bilang jika kamu suka denganku. Aku sama sekali tidak tertarik denganmu. Ingat itu." ucap Varo. Queen mengernyitkan wajahnya. "Suka?" Queen ganti mengerutkan keningnya. Dengan lirikan tajam. "Iya.. Memang benar, kan. Tapi. Sayangnya. Kamu bukan tipeku." Kedua mata Queen semakin melebar. Dia mengatupkan bibirnya menahan amarah yang ingin meledak. Kedua tangannya mengepal dan siap untuk memukul wajahnya. Tapi, Queen mencoba untuk tetap sabar. Dia menarik napasnya dalam-dalam. Lalu, mengeluarkan secara perlahan. "Terserah kamu!" pasrah Queen memutar matanya malas. Tak mau lagi beradu argumen dengan laki-laki di depannya. baginya buang-buang waktu. Varo tersenyum samar. Tidak terlihat sama sekali senyuman di bibirnya. "Aneh!" ejeknya lirih. Queen mengabaikan ucapan Varo. Dia kembali menatap dua laki-laki yang kini sibuk mencarinya. Sepertinya mereka sudah melepaskan wanita itu. "Kenapa mereka melawan wanita? Apa mereka laki-laki yang tak pernah didik oleh wanita?" ucap kesal Queen. Kedua mata Queen mulai menyipit. Saat dia sekilas melihat wajah dua laki-laki itu dari depan. Terlihat jelas wajah mereka. Queen menghela napasnya, menggelengkan kepalanya. Melihat kelakuan laki-laki itu. Dia merasa mereka hampir sama dengan laki-laki di depannya. Queen mengerutkan alisnya. Menarik bibir bawahnya masuk ke dalam sela-sela giginya. Dengan penuh ragu, dia mencoba menatap Varo. Dan, seketika dianterkehut Saat Varo sudah lebih dulu menatapnya. Dia mendekatkan wajahnya. lebih dekat dari biasanya. Varo semakin mendekatkan wajahnya sembari berbisik pelan. "Kamu pikir aku sama seperti mereka?" tanya Varo. Queen mengedipkan matanya berkali-kali "Siapa yang bilang pergi itu?" tanya Queen. Mencoba acuh padanya. *** "Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana?" Queen mengerutkan keningnya. Menatap lekat beberapa orang itu dari jauh. Lalu, kembali menatap wajah Varo yang kini berada tepat di depannya. Hembusan napasnya terasa berdesir di wajahnya. Laki-laki itu terlihat panik, hingga tetesan keringat keluar dari keningnya. Queen menyipitkan matanya. Dia mengatur napasnya yang membuat dirinya semakin gugup saat berhadapan dengannya. Terbesit dalam otaknya ucapan kagum melihat wajah cantiknya. Kenapa aku merasa gugup saat bersama dengannya. Laki-laki ini begitu tampan. Queen mengangkat tangannya perlahan, dengan penuh keraguan, dia menyeka keringat di kening Varo dengan ibu jari tangan kanannya. "Kenapa kamu gugup?" tanya Queen. Varo yang terkejut, menatap wajah Queen. Kedua mata mereka saling bertemu satu sama lain. Varo yang semula takut jika dua orang itu menemukannya. Kini dia harus gugup di hadapan wanita cantik di depannya. Tatapan mata cantik itu menusuk sampai ke hatinya. Dia tidak bisa berbicara apa-apa lagi. Bibirnya tertutup sangat rapat. Kedua matanya mengenal sejenak. Queen menahan senyumnya, dia menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Kedua matanya mengamati wajah gugup Varo. Rasanya ingin sekali tertawa keras-keras melihat tingkahnya. Sementa Varo semakin gugup melihat senyum manisnya. Melihat wajah yang menggemaskan di depannya. "Aku pikir, kamu mulai tertarik denganku." sindir Queen. Dia mengalihkan pandangan matanya. Queen tidak peduli dengan laki-laki pembuat masalah tadi. Kali ini kedua matanya fokus menatap kagum wajah tampan di depannya. Varo segera menyadarkan dirinya dari lamunannya. Dia tidak mau terbuai oleh rayuan wanita yang membuat dirinya harus segera kontrol darah setiap hari nantinya. Gimana tidak, baru sabtu hari dia harus menahan emosinya berkali-kali. takutnya lama-lama darah tinggi dibuatnya. "Apa aku cantik?" tanya Queen, mengeluarkan senyuman manisnya. Varo mengerutkan keningnya dalam-dalam. Menatap aneh Queen. "Tidak!" jawabnya jutek Varo. Pandangan matanya masih saja fokus pada dua orang yang terlihat seperti preman pasar. Menyerang wanita tanpa rasa malu sekali. Tetapi, Varo seolah sengaja bersembunyi. Entah apa yang di sembunyikan. Lagian, dia laki-laki kenapa tidak berani menyerangnya. Menolong wanita itu. "Ih.. Nyebelin, dasar pengecut." umpat kesal Queen. Menarik sudut bibirnya sinis. Senyum manis di wajahnya perlahan mulai memudar. Melihat sifat dingin dan acuh Varo. Varo membalas dengan tatapan tajamnya. Kedua mata tajam itu menyorot mata kecoklatan Queen. Tak mau kalah, Queen menatap lekat kedua mata Varo. "Apa yang kamu katakan?" tanya Varo. Queen memainkan bibirnya, menarik sudut bibirnya. Memutar bola matanya. "Memangnya aku bicara apa?" tanya Queen. "Eh.. Iy, aku ingat." Queen melayangkan senyuman piciknya. "Kamu, laki-laki pengecut." mereknya, wajahnya mulai serius. Queen mengangkat kedua alisnya ke atas bersamaan. "Lihatlah, wanita itu ditindas tapi kenapa kamu hanya diam saja. Kamu laki-laki atau jangan-jangan kamu perempuan, ya?" ucap Queen. Dia menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Menahan cekikikan yang hampir saja keluar. "Oh, ya. Jika kamu tidak bisa membantunya biar aku saja yang akan membantu dia." Queen sudah mengeluarkan salah satu kakinya di balik gedung itu. Dengan cepat, Varo menarik tubuhnya lagi. "Apaan, sih." ucap Queen. Varo menutup mulut Queen dengan telapak tangannya. Dia menggerakkan kepala Queen ke arah dua laki-laki tadi. Mereka sedikit menunduk, sembari mengintip di balik gedung pencakar langit Mereka yang masih bersembunyi, tanpa sadar Varo memegang erat tangan Queen. Mengamati sekelilingnya. "Diamlah! Lebih baik kamu selamatkan dirimu sendiri. Jika kamu berurusan dengannya. Aku tidak akan ikut campur." ucap Varo lirih. "Aku juga tidak mau berurusan dengan mereka. lebih baik hidup tenang daripada bermusuhan dengan mereka. Kamu tidak akan pernah bisa selamat." Queen menatap lekat wajah Varo. "Sepertinya kamu sangat mengenali mereka?" tanya Queen mencoba memastikan lagi. Rasa curiga mulai terbesit di pikiran Queen. Apalagi, Varo terlihat sangat gugup bertemu dengan mereka. Seolah mereka akan mengincar dan membunuhnya. Dia bisa melihat rasa takut itu terlintas di wajah Varo. "mereka terkenal di kita. Aku akan ceritakan nanti di kontrakanku. Jangan bicara disini. Jika mereka tahu, tidak hanya nyawa kamu. Nyawanya juga terancam." jelas Varo. Queen hanya bisa diam. Dia tidak punya pilihan lagi. Lagian, dia juga tidak tahu siapa dua orang asing itu. Queen menakutkan kedua alisnya. Memutar otaknya untuk berpikir sejenak. Apa mereka adalah kelompok mafia? Atau, hanya geng di kota ini? Jika memang dia adalah Geng di kota ini. Aku bisa membersihkannya. Tapi, jika dia adalah anggota mafia. Sama saja aku cari masalah dengan mereka. Jika mereka tahu aku ada disini. Mereka pasti akan membuat aku jadi tawanan dengan berbagai ancaman. "Haa... Haahh... Haach..." Queen membuka matanya. Wajahnya terlihat menyedihkan saat dia ingin bersin tetapi tidak bisa berkali-kali. "Haaa... Hachhuuu…." Spontan Varo berdiri tepat di depan Queen menutup mulutnya dengan telapak tangannya untuk kedua kalinya. Varo sedikit lebih menempelkan tubuh Queen ke dinding. "Sssttt.." "Jangan bersuara." ucap Varo lirih. "Apa kamu mau mereka tiba-tiba datang." lanjutnya. Queen menggelengkan kepalanya dua kali. Tangan kanan memegang lengan tangan Varo. Tangan yang sekarang masih menutupi mulutnya. Queen menatap wajah tampan Varo dari dekat. Wajahnya begitu sempurna. Tangannya terasa sangat lembut, apalagi mata biru, hidung mancung dan alis tebalnya membuat semua wanita yang menatapnya pasti bertekuk lutut padanya. Tapi, memang benar. Queen sekarang sudah bertekuk lutut dengan sikap dingin dan acuhnya. Membuat wanita itu tertantang untuk mendekatinya. Meski harus berpura-pura sebagai wanita yang jual mahal. Agar tidak dikatakan wanita murahàn. Meong…. Suara kucing itu tiba-tiba mengejutkan Varo. Ketika dia melompat takut. Dan, tanpa sengaja memegang buah milik Queen. Apa ini? Kenapa begitu kenyal? Pikirnya mulai traveling. Astaga.. Ini benda apa? Tapi, bentar. sebelumnya aku tahun Ini apa? Varo yang tak sadar. Dia mengangkat kepalanya Perlahan. Kedua matanya terbelalak saat melihat kedua tangannya menyentuh bahkan bermain sejenak. Varo mengangkat kepalanya lagi. Menatap wajah Queen yang sudah mulai memegang. Rahang dan giginya mulai menggertak menahan amarahnya. Hembusan napas penuh kekesalan itu mulai terasa berat, Dan. Plaakk… Sebuah tamparan keras dari tangan Queen mendarat tepat di pipi Varo. Dia menginjak lagi kaki kanannya. Lalu mendorong tubuh Varo menjauh darinya. "Dasar mesùm." umpat Queen kesal Menutup kedua dadànya dengan tangannya. "Siapa itu?" teriak laki-laki asing itu. "Disana!" ucap salah satu temanya. Berlari menepuk temannya yang berdiri di depan nya. Merek berlari ke arah gedung. Varo yang melihat mereka berlari ke arah tempat mereka bersembunyi. Varo me.egang pergelangan tangan kanan Queen. Dia menariknya pergi. "Kita mau kemana?" tanya Queen. "Diamlah! Jangan sampai mereka tahu jika kita ada disini." ucap Varo. Dia terus berlari. Langkah Varo terhenti, dia menoleh ke kanan. Melihat sebuah gedung tua yang sudah tidak berpenghuni. Varo menghela napasnya. Senyum tipjs terukir di bibirhya sata msluaht jalan keluar. dia melihat sebuah bangunan tua. Bangunan iitu nampak sangat lusuh. Lantai putih yang penuh dengan debu menutupi lantai sampai beberapa senti. Dinding yang berlumur dan retak-retak. Sarang lama-lama menjalar di pintu masuknya. Varo menoleh, memastikan dua laki-laki tidak mengejarnya. Setelah melihat bayang-banyang laki-laki itu. Varo menghela nafasnya. Dia terpaksa berlari masuk ke dalam gedung tua itu. Queen memutar matanya, mengamati sekelilingnya. Dia mengernyitkan wjaganya. Saya melihat beberapa kecoa berlari di bawahnya. Queen menahan rasa geli melihat hewan berkeliaran di sana. Varo mendorong tubuh Queen bersembunyi di balik tumpukan bpk kayu. Mereka duduk jongkok. Mengintip dari celah-celah kayu itu. Sementara Queen dia lebih sibuk menatap wajah tampan Varo. Entah dirinya mungkin sudah semakain gila berhadapan dengan laki-laki jutek itu. Wanita itu menelan ludahnya susah payah. Kedua natanya tak mau berhenti menatap anugrah terindah untuknya. Apalagi, sekarang berada dekat di sampingnya. Queen mendekatkan wjaganya. Dia mengernyitkan wajahnya. Melihat wajah oenuhnkeringat itu Ingin skealintangannya menyeka keringatnya. Tapi, dia tahu. Pasti Varo marah padanya. Dia sangat tampan.. Wajahnya benar-benar membuat hatiku meleleh. Jika ayahku menikahkanku dengannya. Aku tidak akan mungkin lagi banyak mikir. Langsung saja menikah. "Kemana mereka pergi?" tanya laki-laki itu. "Entahlah, sepertinya kita sudah kehilangan jejak mereka." ucap salah satu temannya. "Kita cari kesana." mereka segera berlari menjauh dari depan rumah tua itu. Varo menatap ke arah laki-laki yang dari tadi mengejarnya. Dari balik jendela kaca tepat di samping kanannya. Merasa sudah aman Varo bersandar di tembok, sambil menghela napasnya lega. "Hah… Akhirnya mereka pergi juga." gumam lirih Varo. "Apa mereka sudah pergi?" tanya Queen tepat di samping Varo. Mengejutkan laki-laki itu. "Bisa tidka jangan menjeutkanku." kata Varo. "Enggak!" Queen menarik sidut bibirnya. Sembari tersenyum tipis. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Varo pada Queen. Dia yang semula cuek berubah jadi khawatir hanya hitungan detik saja. Varo memegang kening Queen. Memeriksa kondisi. Seketika wajah Queen memerah di buatnya. Dia hanya bisa diam, membungkam bibirnya seribu bahasa. Apa dia mengkhawatirkan diriku. Tapi jika aku jujur. Aku sesak napas. Apa dia mau memberikan napas buatan? "Hello… Apa kamu baik-baik saja?" tanya Varo lagi, mengibaskan tangannya tepat di depan wajahnya. Queen menelan kudanya berkali-kali hingga melegakan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa sangat kering. Ia memegang dadanya, mencengkeram bajunya, merasakan napasnya seakan berada di ujung tanduk. Saat Varo tiba-tiba mendekatkan wajahnya. "Kamu kenapa?" "Sesak napas!" ucap gugup Queen. Apa yang terjadi padaku. Padahal aku adalah anak dari ketua mafia. tapi kenapa aku seakan tanduk pada laki-laki yang baru saja aku temui... Papa, aku sudah menemukan pujaan hatiku sekarang.. Apa boleh aku menikah. Gumam Queen dalam hatinya. Dia tersenyum, mengedip-ngedipkan matanya menatap kedua bola mata Varo yang menusuk langsung ke dadanya. "Dasar aneh!" pekik Varo, mencoba untuk pergi. Dengan cepat Queen menarik baju Varo. Krakkkk… Varo tak sengaja menginjak tumpukan kayu tempat di bawah kakunya. "Isstt..." desis Varo kesal, menatap wajah Queen. "Apa aku salah?" tanya Queen, memasang wajah tanpa rasa bersalah. "Memang kamu salah!" geram Varo. "Kenapa?" Queen menakutkan salah satu alisnya. "Lihat saja nanti. Mereka akan menangkap kita." decak kesal Varo. "Tidak akan bisa," "Kenapa?" Queen menarik kedua alisnya ke atas. "Lihat saja nanti." "Siapa di sana?" suara berat seorang laki-laki dengan tubuh sedikit berotot berjalan menuju ke sumber suara. "Jangan main-main denganku. Siapa di sana?" Varo menarik tangan Queen bersembunyi di gang sempit. "Kenapa kita bersembunyi?" tanya Queen polos. "Memangnya kamu mau melawan dia?" "Boleh!" "Jangan gila. Kamu bisa mati dengannya." pekik Varo tak percaya. Queen berdengus kesal. "Jangan remehkan kemampuan wanita." "Udah, diamlah! Ini waktunya diam. Jangan banyak bicara dan lihat sendiri nanti apa yang terjadi." ucap Varo, berdiri, sembari bersandar tepat di samping Queen. "Di sini itu semua tidak semudah yang kamu lihat. Di selesaikan pakai otot. Kita juga harus pakai otak. Karena tak selamanya otot akan menang." jelas Varo, sesekali dia melirik ke arah laki-laki itu. Yang sudah kembali menemui temannya. Varo sudah lama hidup sendiri. Dia belajar semuanya sendiri. Di kita kehidupan sangat keras. Apalagi dia harus hidup di negara yang mayoritas di kuasai para mafia. Varo mencoba bertahan hidup sendiri mengandalkan kecerdasannya dalam segala hal. Varo berstatus kuliah S2, dan dia bekerja sebagai dokter. Meski pekerjaannya adalah dokter. Namun ia tak pernah sama sekali meminta gaji lebih. Bahkan dia memilih hidup sederhana meski dirinya bisa membeli segalanya. Karena ia tahu, semua akan di anggap r3ndah oleh seseorang jika orang itu tak sepaham dengan pra mafia. Dan dia tak mau menunjukan semuanya. Dan memil8h membuang semua kekayaannya dan hidup sederhana tinggal di kos yang hanya bisa di tiduri satu orang saja. "Jadi aku harus berlajar banyak dari kamu." bisik lirih Queen, sembari tersenyum, menarik turunkan alisnya menggoda. "Ssssttt" desis Varo, menutup bibir Queen dengan telunjuk tangannya. Queen menoleh. Melihat ke dua laki-laki yang sedang membicarakan sesuatu. Bahkan tak ada seseorang yang menemani mereka sama sekali. Hanya berdua dis ana, seolah ada sesuatu yang mencurigakan mereka bicarakan. "Siapa laki-laki di sampingnya itu?" tanya Queen Setelah melihat ke dua laki-laki mencurigakan itu. Ia menoleh cepat beberapa detik ke arah Varo. "Lihat saja dulu, jika dia di beri uang olehnya. Mereka pasti sedang melakukan sebiah" tugas." Queen terdiam, dia menatap setiap detailnya. Melihat jelas jika seorang laki-laki memberikan segebok uang untuk seorang wanita itu, sembari berbisik sesuatu yang sama sekali tidak bisa di dengar olehnya. "Apa yang mereka bicarakan?" tanya Queen. "Jangan ikut campur." "Tidak! Sepertinya kita harus lebih dekat. Aku gak akan biarkan mereka berbuat kejahatan di kota." "Sudahlah jangan ikut campur urusan mereka. Jika kamu tidak mau berurusan dengan dunia mafia." tegas Varo. Mencengkeram pergelangan tangan Queen. Dia sudah bersiap untuk menarik tangannya segera pergi. Namun, Queen tetap bersikukuh untuk tetap diam di tempat. "Aku mau kita tunggu di sini dulu. Meski aku tak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Setidaknya aku bisa melihat gerak gerik mereka." Queen mulai memasang pandangan mata tajamnya. Dia menatap setiap detail tubuh mereka. Bahkan setiap gerak gerik sedikitpun Queen terlihat begitu jelasnya. Bagi dia, itu hal mudah melihat apa yang akan dilakukan seseorang hanya melihat gerakan tubuhnya. "Hah… Baiklah.." ucap Varo memutar matanya malas. Baru kali ini dalam hidupnya menurut dengan apa yang dikatakan seseorang wanita. Dia bahkan yang belum pernah dekat dengan wanita merasa sangat dingin bertemu dengan siapa saja. "Apa sebenarnya yang mereka lakukan?" gumam lirih Queen. Yang tak hentinya dia terus mengamati gerak -gerik mencurigakan dari mereka. "Ada apa lagi ini. Kenapa di sini banyak sekali preman." ucap Queen menghela nalasnya frustasi. Dia merasa capek terus berlari dari tadi. "Aku juga gak tahu, lebih baik kita pergi Sepertinya...." Queen menutup cepat mulut Vero agar tidak meneruskan ucapannya. Seorang laki-laki itu berjalan dengan pandangan was-was mengamati lingkungan di sekitarnya. Laki-laki kekar itu menatap curiga ke arah tembok. "Sepertinya ada orang yang mengintai kita." ucap laki-laki garang itu. "Tidak akan ada yang mengintai kita. Lebih baik sekarang kita pergi sebelum ada orang lewat di sini." jelas seorang wanita yang menggunakan kelupuk kepala hitam. Dan dirinya memakai topeng tak menunjukan wajahnya sama sekali. "Jangan melihat ke arahnya." decak kesal Varo, menurunkan nada suaranya satu oktaf. "Kenapa?" Varo menarik tangan Queen. "Sstttt... Diam!" Queen memelankan suaranya. "Jangan gugup!" kata Varo datar. Queen mengerutkan keningnya. Menoleh perlahan menatap Varo. "Apa maksud kamu?" gumam Queen memastikan. "Memangnya kamu kira aku gugup padamu?" tanya Queen semakin kesal. "Oke, memang kamu gak gugup tapi takut." sindir Varo menarik alisnya tebalnya bersamaan ke atas. "Takut jika berkata jujur kalau kamu gugup berada di sampingku." "Lupakan!" Queen mengibaskan kepalanya. Memerintah tegas Varo untuk tetap diam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD