Waktu tepat menunjukkan pukul 16.00 sore saat Daffa tiba di rumahnya. Dia merasa sangat letih dan penat. Daffa ingin segera mandi, makan dan langsung beristirahat saja. Baru kali ini dia benar-benar merasa capek karena ‘belajar’. Hari ini dia benar-benar fokus menyimak semua mata pelajaran dari pagi hingga petang dan ditambah juga dengan pelajaran tambahan yang diajarkan oleh Mita selama jam istirahat berlangsung. Daffa sepertinya benar-benar bertekad untuk lulus dengan nilai yang bagus. Dia bahkan tidak lagi meminta ijin selama jam pelajaran berlangsung. Hal itu pun membuat guru mata pelajaran sedikit merasa heran. Selain itu Daffa juga menghentikan aktivitasnya bermain basket. Hal itu juga membuat dia sadar, bahwa ternyata memeras otak jauh lebih melelahkan daripada melatih fisiknya.
Langkah Daffa melambat saat dia melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah. Itu adalah mobil milik sang ayah. Daffa meneguk ludah. Itu artinya sang ayah yang sudah menghilang selama beberapa waktu sudah pulang ke rumah. Sejenak Daffa termangu menatap mobil itu, lalu beralih menatap pintu rumahnya yang kini tertutup rapat. Sebelum melanjutkan langkah, Daffa mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Dia harus menyiapkan diri dengan segala kemungkinan yang terjadi di dalam sana. Mungkin itu keadaan rumah yang hancur berantakan seperti biasa, perdebatan sengit, atau mungkin juga kekerasan lainnya seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
“Aku hanya perlu mengabaikannya… ya, cukup abaikan saja,” bisik Daffa sebelum memutar knop pintu rumahnya.
Pintu rumah itu pun dibuka pelan. Daffa menatap keadaan sekitar dengan perasaan cemas. Daffa hanya melongokkan wajahnya dibalik pintu itu dan masih belum jugaa melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Sejenak remaja berbadan kekar itu menajamkan pendengarannnya seraya menyipitkan mata.
Hening.
Suasana terdengar sangat sunyi.
Daffa pun akhirnya melangkah masuk sambil menjinjit langkah. Dia bahlan berjalan dengan napas tertahan saking cemasnya. Daffa takut jika sewaktu-waktu kegaduhan itu kembali terdengar. Baginya semua itu terasa sangat melelahkan sekali dan Daffa sudah muak dengan semua itu. Kadang terbersit di hatinya sebuah keingingan yang terkesan jahat. Apa sebaiknya kedua orang tuanya bercerai saja agar semua menjadi tenang?
Daffa kadang berpikir seperti itu. Dia pernah mengharapkan perpisahan kedua orang tuanya. Karena menurut Daffa mungkin memang itulah jalan satu-satunya untuk menghentikan segala kegaduhan yang ada.
“Daffa…! kamu akhirnya pulang!”
Deg.
Daffa memegangi jantungnya karena terkejut mendengar suara sang bunda.
“Kenapa kamu terkejut?”
Daffa beralih menatap sang bunda yang keluar dari kamarnya itu. Seketika Daffa pun mengernyit melihat penampilan sang bunda yang hari ini terlihat sangat cantik. Sang bunda mengenakan sebuah gaun berwarna biru muda dan menata rambutnya sedemikian rupa. Riasan di wajahnya juga membuat wajah sang bunda yang biasanya terlihat letih menjadi segar dan tampak sedikit lebih muda.
“Bunda mau ke mana?” tanya Daffa.
Sang bunda tersenyum penuh arti. Daffa pun mulai menerka-nerka. Jari telunjuknya lalu mengarah pada mobil yang terparkir di halaman rumah.
“A-apa Ayah ada di rumah?” Daffa bertanya dengan suara berbisik.
“Yup. Ayah ada di sini!”
Lagi-lagi Daffa terkejut saat mndengar suara sang ayah yang tiba-tiba menyahut pertanyaannya. Sang ayah baru saja keluar dari kamar mandi sambil tersenyum sumringah. Daffa semakin keheranan melihat penampilan sang ayah yang juga tak kalah rapi dan necis. Sang ayah bahkan memotong rambut dan juga merapikan brewokan di wajahnya. Setelan kemeja dengan celana levis, lengkap dengan sepatu kulit yang memiliki ujung menukik itu membuat sang ayah terlihat seperti sosok yang sangat berbeda.
Daffa beralih menatap sang bunda dan ayahnya secara bergantian dengan wajah bingung. “A-ada apa ini?”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya sang bunda.
Daffa semakin bingung. “Ya… kenapa Bunda dan Ayah tiba-tiba bergaya seperti ini?”
“Bagaimana? Ayah terlihat tampan bukan?” sang ayah tertawa sambil mengusap-usap dagunya.
Daffa sontak tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Sang bunda juga langsung menutup mulut menahan tawa. Pemandangan langka itu benar-benar membuat Daffa merasa tidak percaya. Apa permasalahan antara bunda dan ayahnya sudah selesai dengan baik? Saat ini sang bunda sedang merapikan kerah kemeja sang ayah yang sedikit tidak rapi. Tanpa sadar, kedua ujung bibir Daffa pun terangkat pelan. Ada alirang hangat yang terasa mengaliri rongga dadanya. Sudah lama sekali dia tidak melihat kemesraan ayah dan bunda seperti itu.
“Apa Ayah dan Bunda akan pergi ke suatu tempat?” tanya Daffa kemudian.
Sang bunda dan sang Ayah saling tatap sebentar seraya tersenyum, lalu kompak beralih menatap Daffa.
“Bukan hanya Ayah dan Bunda, tetapi kita bertiga,” jawab sang bunda.
“Sekarang sebaiknya kamu segera mandi dan bersiap-siap agar kita tidak terlambat nantinya,” sambung sang papa.
Daffa terdiam mematung dengan wajah bodohnya. Dia masih belum memercayai pendengarannya. Apakah semua ini benar-benar nyata? bagaimana bisa sang ayah dan bunda tiba-tiba menjadi akur seperti itu. Apa sebuah keajaiban sudah terjadi? Apa jangan-jangan kepala kedua orang tuanya terbentur benda keras saat bertengkar hingga mereka berdua menjadi lupa ingatan?
Plak
Daffa menampar pipinya sendiri dan langsung meringis kesakitan.
Perih.
Berarti semua ini bukanlah mimpi. Sang ayah dan bunda pun tertawa pelan melihat kelakuan Daffa, lalu menggeleng pelan.
“Lebih baik kamu cepetan mandi sana, biar kita bisa segera pergi,” sergah sang bunda.
Daffa pun tersadar, lalu mengangguk pelan. “B-baik Bun, kalau begitu aku mandi dulu.”
Daffa pun berlari ke kamarnya dengan senyum merekah sehangat mentari senja.
_
Tumpukan pakaian sudah menggunung di atas tempat tidur. Daffa terus saja melempar pakaian yang terasa kurang cocok. Malam ini dia benar-benar bersemangat sekali dan ingin tampil sebaik mungkin. Daffa sibuk mencoba berbagai model baju dari baju kaos, kemeja, hingga hodie miliknya. Namun semua itu tetap saja membuat Daffa menggeleng menatap cermin, lalu melepasnya kembali. Otot-otot perutnya terlihat jelas saat Daffa melepas pakaiannya itu. Dia pun menggaruk tengkuknya pelan saat menyadari bahwa lemari pakaiannya itu sudah nyaris kosong.
Daffa terdiam sebentar sembari berpikir. Beberapa detik kemudian dia langsung menjentikkan jarinya dan beralih mengambil sebuah kotak yang ada di atas lemari. Kotak itu berisi sebuah kemeja berwarna hitam yang dibelikan oleh Mita beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya Daffa berencana akan memakai kemeja itu untuk pergi berkencan dengan Mita setelah ujian nasional berlangsung.
“Apa aku memakai baju ini saja?” desis Daffa pelan.
Dia segera mencoba memakai kemaja itu. Ukurannya sangat pas sekali. Daffa merasa nyaman dan terus menatap bayangannya di cermin. Dia tersenyum puas seraya merapikan rambutnya dengan jari tangan. Namun kemudian Daffa kembali terlihat bimbang. Dia pun segera mengambil handphone-nya dan langsung menghubungi Mita.
“H-halo…” Daffa langsung menyapa begitu Mita menjawab panggilan darinya.
“Iya, hallo… ada apa?”
Daffa terlihat sedikit ragu. “Anu… sebenernya hari ini ada kejadian yang terasa sedikit aneh.”
“Aneh? Emangnya apa yang terjadi?” tanya Mita.
Daffa beralih duduk di ranjangnya. “Tiba-tiba saja hari ini Ayah dan Bunda menjadi akur. Mereka berdua bahkan berpenampilan sangat rapi sekali dan juga tertawa bersama.”
“B-Bunda dan Ayah kamu tertawa bersama?” Mita sepertinya juga tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.
“Iya… mereka bahkan mengajak aku untuk pergi keluar,” tambah Daffa.
Sejenak keadaan menjadi sunyi. Mita sepertinya masih belum yakin dan juga merasa terkejut mendengarkan penuturan Daffa. Wajar saja, selama ini Mita tahu betul apa yang sudah terjadi dengan keluarga Daffa. Sudah tak terhitung banyaknya Mita harus berlari menyusul Daffa yang menangis diam-diam di tempat sepi karena tidak tahan dengan pertengkaran kedua orang tuanya.
“K-kamu baik-baik aja, kan? Kamu nggak lagi berhalusinasi kan, Daffa?”
Daffa sontak tergelak pelan. “Nggak, Ta… semua ini benar-benar nyata.”
“Mungkin mereka sudah berdamai. Mungkin juga mereka sudah sepakat untuk memulia lembaran baru. Aku ngerasa ikut senang mendengar kabar bahagia ini. Semoga semuanya semakin menjadi lebih baik,” ucap Mita kemudian.
Daffa mengangguk pelan. “Aku juga berharap seperti itu, Ta. Thanks atas doa kamu, ya.”
“Iya… kalau gitu buruan sana! Nanti mereka malah kelamaan nungguin kamu.”
“Ah… iya. Kalau gitu aku tutup dulu panggilannya, ya.”
“Okey. Selamat bersenang-senang.”
Daffa berniat mematikan panggilan itu, tapi kemudian dia teringat alasan kenapa dia menelepon Mita. “T-tunggu Ta…!!!”
“Iya. Ada apa?” tanya Mita seraya tertawa pelan.
“I-itu… aku memakai baju kemeja pemberian kamu untuk keluar malam ini. Sebelumnya kan aku berencana untuk memakainya saat kita pergi berkencan nanti setelah selesai ujian nasional. Jadi pertanyaannya, apa aku boleh memakainya sekarang?”
“Hahahaha….” Mita tertawa pelan mendengar pertanyaan itu, kemudian berulah memberikan jawabannya.
“Tentu saja kamu boleh memakainya. Selamat bersenang-senang have a nice day with your family….”
_
Bersambung…