Too Young To Marry – 16

1063 Words
Semua yang terjadi benar-benar seperti sebuah keajaiban. Daffa dan kedua orang tuanya melewati perjalanan yang terasa sangat menyenangkan. Mobil terus melaju menuju padatnya jalanan Ibukota di malam hari. Di depan sana sang bunda dan sang ayah terlihat terus mengobrol dengan hangat. Sementara Daffa yang duduk di bangku belakang tak henti tersenyum melihat pemandangan yang ada di depannya itu. “Oh iya. Kita mau makan dulu atau nonton di bioskop dulu?” sang bunda tiba-tiba menoleh ke belakang. Daffa gelagapan dan malah memasang wajah bengongnya. Nonton? Makan malam? Itu sungguh sebuah kegiatan langka yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh Daffa. “Daffa! Kenapa kamu malah bengong?” sergah sang ayah yang juga ikut bersuara. “A ... e ....” Daffa merespon seperti orang bodoh yang kehilangan akalnya. “Kamu sudah laper apa belum? Kalau sudah ... kita makan dulu saja,” ucap sang bunda lagi. Daffa berpikir sebentar, lalu cepat-cepat menggeleng. “Aku belum lapar, Bund. Sebaiknya kita nonton bioskop dulu saja.” Sang ayah tertawa pelan. “Kalau begitu buruan kamu pesan dulu tiket dan film yang akan kita tonton nanti. Bisa dipesan melalui handphone, kan?” Daffa mengangguk cepat. “Bisa, Yah! Daffa akan segera memesan tiketnya.” Daffa pun sibuk menyebutkan judul film yang akan tayang malam ini. Malam ini Daffa yang jarang bicara kepada kedua orang tuanya terlihat seperti anak kecil yang sangat nyinyir. Malam ini sepenuhnya Daffa bertingkah seperti anak-anak pada umumnya. Dia tidak lagi berpura-pura cuek dan bersikap dingin. Senyum di wajahnya terus mengembang dan Daffa tidak bisa memungkiri fakta bahwa malam ini dia sangat bahagia sekali. _ Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih dua puluh menit. Akhirnya Daffa besewrta kedua orang tuanya tiba di sebuah pusar perbelanjaan dan mereka pun langsung menuju area bioskop yang ada di lantai lima. Tidak ada banyak hal yang terjadi. Daffa dan kedua orang tuanya hanya mengobrol ringan seraya memasuki gedung bioskop kemudian mulai menonton film yang ditayangkan di sana. Waktu terus berlalu. Sepanjang film diputar, Daffa tidak henti-henti menatap sang bunda dan ayahnya yang duduk di sisi kiri dan kanan. Daffa benar-benar tidak menduga bahwa moment seperti ini akan terjadi dalam kehidupannnya. Wajah sang bunda malam itu terlihat bergitu berseri dibawah terpaan cahaya layar bioskop yang sesekali meredup dan kemudian kembali terang. Tidak ada lagi mata sembab yang menyedihkan. Tidak ada lagi bekas luka lebam di wajahnya karena pertengkaran yang biasanya terjadi. Daffa pun beralih menatap sang ayah. Hari ini tidak ada lagi raut gusar di wajah itu. Tidak ada lagi sorot mata tajam yang menakutkan. Kedua sudut bibir lelaki itu bahkan terus tersenyum. Tatapan mata sang ayah bahkan terlihat sangat teduh. Daffa pun tersenyum pelan seraya kembali menatap layar bioskop di depannya. Dalam hati dia pun berbisik dan mulai merajut harap. “Semoga semua tetap bertahan seperti ini.” Setelah film itu habis. Mereka bertiga langsung beranjak ke sebuah gerai yang menjual makanan jepang. Daffa seperti memiliki banyak energi hari ini. Dia sibuk mencari tempat duduk yang cukup strategis, kemudian memboyong ayah dan bundanya untuk duduk ke sana. “Kita duduk di sini aja, Yah ... Bund ....” Ayah dan bunda Daffa hanya menurut kemudian duduk di kursi yang terletak di pojokan yang lengang. Tidak lama berselang seorang pelayan pun datang membawa daftar menu. Lagi-lagi Daffa masih antusias memilih berbagai menu kesukaannya. “Sebenarnya dalam rangka apa Ayah dan Bunda mendadak menjadi seperti ini?” tanya Daffa kemudian. Ayah dan bunda saling tatap sebentar, lalu tersenyum pelan. “Bagaimana sekolah kamu? Kamu belajar yang rajin, kan? karena sebentar lagi kamu akan mengikuti Ujian Nasional?” tanya sang ayah. Bunda tersenyum pelan. “Akhir-akhir ini dia belajar dengan rajin kok.” Sang ayah terlihat sedikit terkejut. “Benarkah!? Wah, sepertinya kamu bisa belajar dengan baik karena Ayah tidak ada di rumah ya. Suasana rumah pasti menjadi tenang sekali karena tidak ada keributan lagi. iya, kan?” Daffa mengernyit bingung mendengarkan penuturan itu. “Kenapa Ayah berbicara seperti itu. Memangnya ke mana Ayah selama seminggu terakhir ini?” “A-Ayah pulang ke rumah nenek kamu.” Sang bunda pun terlihat salah tingkah. Suasana mendadak berubah canggung. Daffa juga tidak mengerti, namun yang jelas suasana hangat yang sebelumnya memenuhi rongga dadanya juga perlahan menguap begitu saja dan berganti oleh sebuah perasaan ganjil yang tiba-tiba saja mengusik ketenangannya. “Ada apa ini? kenapa Bunda tiba-tiba berubah murung seperti itu?” tanya Daffa. Makanan yang mereka pesan pun akhirnya tiba diantarkan oleh pramusaji. Sang Bunda pun memaksakan bibirnya tersenyum, lalu mendorong piring makanan itu ke depan Daffa. “Sebaiknya kita makan dulu, yuk!” ajak sang bunda. Daffa menatap heran. “Tunggu1 sebenarnya ada apa. Semua ini memang terasa aneh sejak awalnya. Kenapa tiba-tiba Ayah dan Bunda menjadi seperti ini?”  Keadaan berubah menajdi hening. Makanan yang sudah tersaji di atas meja kini tak lagi terlihat nikmat. Tidak ada satu orang pun yang tampak berniat untuk menyentuhnya. Daffa pun masih menunggu jawaban dengan wajah bingung. Sejenak dia terbawa euforia dan rasa bahagia karena kedua orang tuanya mendadak akur hingga Daffa melupakan satu hal yang penting yaitu sebuah alasan kenapa tiba-tiba orang tuanya menjadi seperti itu. “Apa Ayah dan Bunda sudah memutuskan untuk berdamai?” tanya Daffa lagi. Sang bunda dan ayah hanya terpekur diam. “Bunda kan, juga sudah berkata waktu itu kalau Ayah dan Bunda tidak akan bertengkar lagi. Apa sekarang ini adalah realisasi atas ucapan itu?” Daffa beraloh emnatap sang bunda. Sang bunda menelan ludah, lalu mengangkat wajahnya perlahan. “Ya, sepertinya Ayah dan Bunda memang tidak akan pernag bertengkar lagi.” Deg. Pupil mata Daffa bergetar mendengar kalimat itu. Bagaimana pun juga ucapan sang Bunda tersengar aneh di telinganya. “M-maksud Bunda?” kedua alis Daffa bertaut. “Ya. Bunda dan Ayah memang sudah sepakat untuk berdamai. Kami berdua sudah memikirkan semuanya matang-matang. Rasanya tidak mungkin jika Ayah dan Bunda selalu bertengkar terus menerus. Keadaan hanya terus memburuk ketika kami bersama-sama. Ya. Akhirnya Ayah dam Bunda sepakat untuk mengakhiri semuanya,” jelas sang ayah. Daffa menatap nanar. Dia paham betuk ke mana arah pembicaraan itu, tapi Daffa masih emncoba berpikir positif. “Jadi kalian sepakat untuk hidup dengan tenang kan? itu adalah inti pembicaraan ini, kan?” tanya Daffa. Hening. Kedua orang tua Daffa kini terpekur. Sang Bunda bahkan menitikkan air mata dan cepat-cepat mengelapnya sebelum pengunjung lain menyadari hal itu. “Kenapa Bunda malah menangis?” tanya Daffa dengan helaan napas yang sudah sesak. “Maafkan ayah Daffa... tapi kami berdua sudah mengambil keputusan untuk mengakhiri semuanya.” Sang ayah berkata pelan. Hening. Daffa hanya menatap dengan mata sayu dan tidak bisa lagi berkata-kata. “Bunda dan Ayah berpikir mungkin memang inilah jalan terbaik untuk kita semua,” sahut sang mama dengan suara serak karena menahan tangis. Daffa memejamkan matanya pelan, lalu menatap tajam. “Ada apa ini? tolong buat aku mengerti...!” suara Daffa sedikit meninggi. Sang bunda kembali menyeka air mata di pipinya, mengembuskan helaan napas panjang, lalu memberikan jawab atas segala tanya. “Ayah dan Bunda sudah memutuskan untuk bercerai ....” _ Bersambung...    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD