25 - Firasat

1643 Words
        Perkataan Syville yang terhenti sebelumnya meninggalkan rasa yang aneh pada lidahnya. Karena dirinya yang sepertinya hampir kelepasan menyebutkan nama seseorang, kemungkinan besar ia sering memanggil nama orang itu dengan mudah.         Tetapi entah kenapa, ia melupakan siapa pemilik nama itu. Bahkan, ia tidak mengingat sisanya. Ze … Ze … meski dua huruf itu terus ia ulang dalam benaknya, ia tetap tidak bisa melanjutkan sisanya.         Syville tidak tahu apakah ayahnya dan Cainelle sadar kalau ia hampir menyebut nama orang lain. Tetapi karena mereka berdua tidak membicarakan hal itu, sepertinya mereka tidak sadar.         “Jadi … bagaimana? Apa kau tidak keberatan?” tanya Cainelle setelah berdeham pelan.         “Uh, ya?” Syville balik bertanya. Ia sempat lupa dengan perkataan Cainelle sebelumnya karena  pikirannya dipenuhi oleh hal lain. “Bagaimana jika kita melanjutkan pembicaraan ini setelah … keadaannya lebih memungkinkan, Tuan Cainelle?”         “Ah! Itu benar,” kata Cainelle cepat, kemudian berdeham pelan. “Kalau begitu … aku akan memeriksa pasukanku terlebih dahulu.”         “Terima kasih, Cain,” kata ayah Syville dengan senyumannya yang kembali terpasang di wajahnya.         “Tidak masalah, Marquis Lyttleton,” balasnya sambil menganggukkan kepalanya sekali. Kemudian ia tersenyum hangat pada Syville dan keluar dari tenda di mana Syville dan ayahnya berada.         “Ayah, bukankah masih terlalu cepat untukku memiliki tunangan?” tanya Syville. “Lagi pula, bertunangan … dengan salah satu anggota keluarga Duke Livanto sepertinya sedikit—”         “Apa yang kau bicarakan?” potong ayahnya sebelum Syville menyelesaikan perkataannya. “Kedudukan keluarga kita tidak perlu dipertanyakan lagi. Begitu pula dengan umurmu, bukankah Cain setuju akan bertunangan denganmu terlebih dahulu?”         Sambil mengusap keningnya yang mulai terasa sakit, Syville berkata, “Aku tahu ayah pasti memilih … tunangan untukku seseorang yang terbaik dari yang terbaik. Tapi … dalam keadaan seperti ini, bukankah kau sedikit … gegabah? Kenapa beberapa hari ini kau tidak seperti biasanya, ayah?”         “Apa maksudmu dengan gegabah?” tanya ayahnya dengan pandangan yang mulai terlihat dingin. Senyuman dan kehangatan yang ia perlihatkan sebelumnya seketika menghilang.         “Rasanya … kau seperti dikejar oleh sesuatu.”         Kerutan langsung terlihat pada kening ayahnya, dengan suara yang terdengar seperti geraman, ia berkata, “Bukankah seharusnya kau berterima kasih padaku? Jika aku sudah tidak ada, kau bisa mendapatkan bantuan dari keluarga Livanto. Untuk pekerjaan pun kau sudah cukup menguasainya. Bukankah kau bisa menggantikanku tanpa kesulitan kelak?”         “Kenapa kau mengatakannya seperti kau akan pergi meninggalkanku?”         Untuk sesaat, Syville melihat kedua mata ayahnya yang sedikit bergetar. Ketika ayahnya kembali membuka mulutnya untuk kembali berkata, Dan tiba-tiba saja masuk dengan napas yang tersengal.         “Maaf mengganggu, tapi ini cukup penting. Benteng pertahanan timur laut mengirimkan permintaan bantuan. Tiba-tiba pasukan musuh menyerang benteng pertahanan itu dalam jumlah yang besar,” katanya cepat.         “Jadi mereka memilih untuk menyatukan pasukan dan menyerang benteng timur laut dengan jumlah pasukan dua kali lipat dibandingkan dengan sebelumnya, ya?” kata Syville sambil mengambil kembali tombak yang ia letakkan di dekat meja. “Siapkan kudaku. Aku yang akan pergi.”         “Syville, aku belum selesai berbicara denganmu!”         “Apakah pembicaraan ini lebih penting dibandingkan dengan perang yang ada di luar sana, ayah?” kata Syville dengan mata yang disipitkan. Baru kali ini ia berani berbicara seperti ini pada ayahnya sendiri. “Keadaan di luar sana lebih penting!”          “Uhh … laporanku belum selesai,” kata Dan yang tiba-tiba memotong argumen Syville dan ayahnya. “Sayangnya, benteng yang ada di … bagian timur …”         “Mereka menyerang dari dua arah?” tanya Syville dan ayahnya bersamaan.            Dan menganggukkan kepalanya. “Itu benar. Kedua lokasi itu cukup berjauhan, meski pun kita berhasil mendorong kembali pasukan musuh di salah satu benteng itu, untuk mengirim pasukan ke benteng yang lain akan sangat terlambat—”            “Aku akan meminta Cain untuk pergi bersamaku ke bagian timur. Syville, kau bawa semua pasukan yang lain bersama Vayre ke benteng timur laut.”            “Tunggu sebentar, setidaknya bawa beberapa bersamamu, ayah,” usul Syville.            “Tidak perlu. Cain membawa pasukan yang cukup banyak.”            Meski Syville mengetahui hal itu, entah kenapa ada sebuah perasaan yang mengganjal ketika membayangkan kalau ayahnya pergi sendiri tanpa didampingi oleh pasukan dari keluarganya sendiri.            .            .            Karena ayahnya yang bersikeras untuk pergi tanpa didampingi oleh pasukan dari keluarga Lyttleton, akhirnya Syville membawa lima peleton pasukan sebagai bala bantuan untuk benteng timur laut. Sisanya ia minta untuk menjaga menara Deena, khawatir kalau pasukan musuh menggunakan celah itu untuk kembali menyerang.            Dalam perjalanannya menuju benteng timur laut, perasaannya semakin tidak nyaman. Rasanya ada sesuatu yang sangat penting, sebuah kejadian penting yang akan terjadi pada sekitarnya … tetapi ia tidak bisa mengingatnya.            Ditambah dengan gambaran aneh yang sudah beberapa kali tumpang tindih. Gambaran itu terlalu cepat, dan tidak jelas. Ketika ia berusaha untuk lebih fokus, gambaran itu langsung menghilang seketika.            Semakin lama Syville memikirkannya, semakin khawatir dibuatnya. Seharusnya ia memaksa ayahnya untuk membawa beberapa peleton pasukan bersamanya …            Dari ujung matanya, Syville sadar kalau kakaknya terus memerhatikannya. Sebabiknya ia menceritakan semua pembicaraannya dengan ayah dan Cainelle sebelumnya.            Untuk saat ini, ia harus fokus dengan tujuannya untuk mempertahankan benteng timur laut. Ia tidak tahu berapa banyak pasukan musuh yang menyerang benteng timur laut. Karena itu ia tidak begitu yakin dengan pasukan yang ia bawa.            Jika keadaannya sangat merugikan bagi pasukannya, ia terpaksa untuk memimpin semua pasukannya untuk mendorong pasukan musuh secara langsung. Tetapi ia lebih memilih untuk mencari sebuah cara agar pasukannya tidak perlu bertarung secara langsung dengan mereka. Hal ini untuk mengurangi … kemungkinan korban yang akan bertambah pada pasukannya.            Tentu saja, merebut menara pengawas dan menara Deena tanpa adanya korban jiwa membuat Syville merasa sangat beruntung. Tapi, ia tahu kalau keberuntungan tidak akan selalu berpihak pada satu orang, apalagi di dalam sebuah medan perang.            Dari peta kontur yang ia lihat, di sekitar benteng timur laut tidak ada lokasi yang tepat untuk bersembunyi, atau melakukan p*********n mendadak jika pasukan musuh memilih untuk kembali bergerak.             Seperti sebelumnya, Syville meminta seluruh pasukannya untuk berhenti tidak jauh dari benteng timur laut untuk melihat keadaannya. Karena benteng timur laut tidak seperti menara Deena yang sebagian besarnya ditutupi oleh pepohonan yang cukup lebat dan juga bebatuan dari tebing, benteng timur laut ini berada di tengah-tengah padang rumput yang cukup luas. Melihat hal itu, ia jadi tidak bisa mengirim pasukan pengintai untuk melihat keadaan di dalam benteng itu lebih jelas.             “Tidak ada cara lain, ya? Sepertinya kita harus menyerang tempat itu secara langsung,” kata Vayre pelan pada Syville.            “Seperti yang kau bilang, kak. Tidak ada cara lain selain menyerangnya secara langsung,” jawab Syville. “Tetapi, apa kau menyadari sesuatu? Pasukan musuh juga pasti melakukan hal yang sama. Kenyataan bahwa benteng timur laut bisa direbut oleh mereka berarti pasukan musuh lebih banyak jumlahnya.”            Vayre terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, “Selain menyebabrkan pasukan untuk mempertahankan menara Deena, kita juga harus merebubt kembali bebnteng timur laut. Jika sampai pasukan keluarga Livanto tidak memberikan kita bala bantuan, mungkin saat ini kedua benteng pertahanan sudah direbut oleh pasukan musuh dan tidak bisa kita rebut dalam waktu singkat.”            Syville mengerti apa yang dikatakan oleh kakaknya, karena itu ia memilih untuk mendengarkan kakaknya sampai ia selesai bicara dan menyatakan pendapatnya.            “Perang ini begitu tiba-tiba, sehingga persiapan  dilakukan untuk bertahan tidak sesempurna pasukan musuh yang sudah merencanakan hal ini  begitu lama,” tambah Vayre. “Syville … apa kau sadar kalau merebut kembali menara pengawas dan juga menara Deena tanpa adanya korban jiwa itu sudah sangat luar biasa?            “Syville, aku yakin kau sudah sadar hal ini. Tapi, ada atau tidaknya korban jiwa, sedikit atau banyaknya korban jiwa dalam peperangan itu  tidak bisa kita hindari.”            Rasanya, Syville butuh usaha yang lebih keras untuk menelan ludahnya sendiri. Secara tidak langsung, kakaknya berkata meski pun ada banyak korban jiwa karena arahan dirinya yang memilih untuk langsung menyerbu benteng itu, ia tidak bisa menyalahkan dirinya begitu saja. Karena alasan … kurangnya persiapan.            Dan, yang diminta oleh ayahnya untuk ikut menemani Syville berdiri di sebelahnya. “Jika aku berpikir seperti ayahmu, mungkin akan seperti ini, ‘semuanya demi kebaikan kerajaan’ begitu, ‘kan?”            Ah … Syville membenci hal ini. Dari awal dia memang tidak pernah suka hal yang seperti ini. Selama ini ia terus belajar mengenai strategi peperangan untuk menghindari semua hal yang menyangkut dengan korban jiwa dalam sebuah perang.            “Nona Syville,” kata seorang kesatria yang juga berdiri tidak terlalu jauh darinya. “Kami siap berkorban demi kerajaan.”            Ah, lagi-lagi Syville mendengar kalimat yang paling tidak ingin ia dengar. Bukankah mengatakan hal itu seperti menghargai nyawamu sendiri dengan harga yang murah?            “Nona, jika pasukan musuh tidak kita hentikan sekarang, mungkin akan lebih banyak lagi korban yang berjatuhan jika pasukan musuh berhasil membobol pertahanan terluar kerajaan—”            “Aku mengerti, Dan,” potong Syville yang tidak ingin mendengar perkataan menyedihkan itu lebih lanjut. Kening Syville sedikit berkerut, ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah pasukan yang akan dipimpinnya. Mungkin beberapa menit atau bahkan detik ke depan, ia harus melihat nyawa pasukannya yang mulai menghilang satu persatu.            “Maafkan aku yang tidak bisa memikirkan strategi untuk mempermudah kita merebut kembali benteng pertahanan yang saat ini sudah jatuh ke pasukan musuh,” kata Syville yang berusaha untuk membuat suaranya lebih kencang dibandingkan dengan biasanya.            “Seperti yang Dan katakan, jika kita tidak berhasil mendorong kembali pasukan musuh, dan mereka berhasil masuk ke dalam kerajaan lebih jauh dari pada tempat ini … mungkin selanjutnya keluarga kita, orang yang kita kasihi yang akan menjadi korban selanjutnya.            “Semuanya. Aku mohon pinjamkan kekuatan kalian untuk menjaga kerajaan ini … tidak, untuk menjaga semua orang yang kita sayangi,” tambah Syville            Meski Syville merasa kalau pemilihan katanya tidak terlalu bagus, atau bahkan tidak menambahkan sedikit pun semangat kepada pasukannya, balasan yang ia terima justru sebaliknya.            Semua pasukannya berteriak dengan semangat setelah ia menyelesaikan kata-katanya. Semoga saja dengan ini, moral pasukannya bisa lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. []  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD