29 - Mimpi

2357 Words
           Baron mencengkeram tangan Viola dengan erat, mencoba untuk menghentikan langkah kakinya yang berlari ke arah hutan yang sangat gelap. Tidak hanya hutan, tetapi keadaan di sekitarnya sangat gelap.            Tidak ada sedikit pun sumber cahaya, bahkan bulan mau pun bintang tidak dapat menyinari hitamnya malam yang pekat ini.            Karena tangannya yang ditarik oleh Baron, Viola terpaksa harus berhenti di tempatnya. Ia memutar tubuhnya, menatap ke arah Baron yang masih menggenggam tangannya dan tidak mau melepaskannya sama sekali.            Viola memiringkan kepalanya sedikit ke samping, dengan suara yang terdengar seperti bisikan, ia berkata, “Ada apa, Baron?”            “Viola, jangan pergi—”            Perkataan yang keluar dari mulut membuat tenggorokkannya serasa tercekat. Ia memaksa dirinya untuk memohon agar Viola tidak pergi ke dalam hutan itu. Namun, baik suara mau pun helaan napas tidak keluar sedikit pun dari tenggorokkannya.            Seseorang menepuk bahunya dari belakang, membuatnya sedikit terperanjat. Tangan yang menepuk bahunya semakin lama semakin kencang, bahunya serasa diremas dengan kekuatan yang luar biasa.            Dengan cepat ia memutar tubuhnya, dan menemukan Fein yang berdiri di belakangnya dengan senyuman tipis penuh kemenangan pada wajahnya.            “Apa yang kau lakukan di sini, Baron? Kenapa kau tidak mengantar Viola ke hutan itu?”            Viola menarik kembali tangannya, membuat cengkeraman Baron pada pergelangannya terlepas. Kemudian, ia mengikuti Fein ke dalam hutan yang sangat gelap itu.            Entah mengapa, tiba-tiba hutan yang baru saja dimasuki oleh Viola dan Fein terbakar. Api berwarna merah melahap habis semua pepohonan yang ada di depan Baron. Yang awalnya sekelilingnya dipenuhi dengan kegelapan,  cahaya dari lautan api seketika menerangi sekitarnya.            Hawa panas dari api yang membakar hutan tersebut membuat tubuh Baron sakit tanpa sebab yang pasti. Sedikit panik, Baron berlari ke dalam hutan itu untuk mengejar Viola dan Fein.            Asap akibat hutan yang terbakar itu membuat Baron sulit untuk bernapas dan matanya mulai terasa sakit. Meski ia berdiri sangat jauh dari kobaran api itu, panasnya dari api yang ada di sekitarnya membuat dirinya serasa berdiri di tengah-tengah cincin api itu sendiri.            “Viola!” Baron memaksa dirinya untuk meneriakkan nama itu, membuat tenggorokkannya sangat sakit bagaikan disayat oleh benda yang sangat tajam.            Jawaban yang Baron tunggu tidak pernah ia dapatkan. “Viola! Fein!”            Tidak ada jawaban apa pun.            Baron berusaha untuk memasuki hutan itu lebih dalam. Namun, apa yang ia lihat berbeda dari yang seharusnya. Bukan pepohonan yang menyambutnya ketika ia memasuki hutan itu, tetapi lorong panjang yang sempat ia ketahui sebelumnya.            Entah bagaimana, Baron berdiri di tengah-tengah lorong rumah Trey. Ia tidak bisa melihat ujung lorong itu, sebelah kiri mau pun kanannya terdapat banyak pintu menuju ruangan yang lain.            Ia membuka pintu yang terdekat. Di dalamnya, kobaran api melahap habis seisi kamar itu. Namun, bagaikan sebuah keajaiban, di tengah-tengah api yang membakar seluruh ruangan itu, ada sesuatu yang tidak tersentuh oleh api sedikit pun.            Setelah dilihat baik-baik, sesuatu yang tidak tersentuk oleh api sedikit pun adalah tubuh seorang wanita yang berada di atas kasur dengan kepala yang menoleh ke arah yang tidak seharusnya. Leher wanita itu terlihat patah, seseorang mungkin menggunakan kekuatan yang sangat besar yang membuat kepala wanita itu menoleh hingga sejajar dengan punggungnya.            Tidak hanya di ruangan itu saja, tetapi semua ruangan yang ada pada lorong panjang rumah Trey itu terdapat kejadian yang sama, tetapi tubuh orang yang berada di atas kasur tanpa tersentuh api sedikit pun berbeda-beda.            Psst..            Psst..            Ketika dirinya sudah tidak bisa lagi melihat hal yang sama berulang kali, dari belakangnya ia mendengar sesuatu yang berbisik. Dengan cepat, Baron memutar tubuhnya ke arah sumber suara.            Lorong panjang yang gelap sudah menghilang, digantikan dengan kobaran api yang membakar habis sekitarnya. Di balik punggungnya, hanya ada dinding api yang membuat dirinya terperangkap.            Kreak...            Kreak...            Suara gemericik api membuat bulu kuduk Baron meremang. Ketika ia kembali memutar tubuhnya untuk menelusuri lorong yang gelap ini, seseorang keluar dari dinding api itu dan mulai mendekatinya.            Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Trey. Dengan puluhan luka tusuk pada tubuhnya, ia berkata dengan suara yang parau, “Tolong ... tolong jangan lukai keluargaku …”            Baron langsung memalingkan wajahnya untuk menghindari apa yang ia lihat. Namun, pilihannya untuk memalingkan wajah juga salah.            Karena apa yang berada di depannya saat ini adalah tubuh Viola yang menggantung terbalik di sebuah pohon besar. Kedua kakinya diikat dengan seutas tali pada sebuah dahan pohon, pakaian yang ia kenakan sudah robek dengan bercak darah di mana-mana, terlihat bekas luka cengkeraman tangan di sekitar lehernya. Kedua matanya yang biasa berbinar cerah ketika melihat ke arah Baron, kali ini terlihat kosong tanpa nyawa.            Seketika, tanah yang diinjaknya berguncang dengan hebat, retakan panjang pada tanah yang dipijaknya mulai terlihat. Kemudian, apa yang ia lihat selanjutnya hanyalah kegelapan yang menelan dirinya.            .            .            Baron terbangun karena hentakkan yang keras. Napasnya tidak teratur, tubuhnya dibanjiri oleh keringat tetapi tangan dan kakinya terasa sangat dingin. Di sampingnya, Fein ikut terbangun dari tidurnya.            Sambil mengusap mulutnya yang basah karena air liur, Fein berkata, “Ada apa? Mimpi buruk?”            Baron menarik dan menghembuskan napasnya beberapa kali untuk menenangkan dirinya sebelum akhirnya menjawab, “Bukan. Tidak ada apa-apa.”            Setelah ‘misi’ mereka selesai, dengan menaiki kuda yang Baron ambil dari kediaman Trey, mereka menuju ujung kota sebelum matahari terbit.            Lalu tanpa sengaja mereka berpapasan dengan seseorang yang mengendarai kereta kuda bermuatan barang dagangan yang kebetulan akan melewati kota tempat di mana serikat mereka berada.            Setelah memohon untuk ikut menumpang ke atas kereta kuda bermuatan itu tidak berhasil, tanpa suka rela, Fein memberikan beberapa koin emas untuk menyuap pemilik kereta kuda tersebut.            Dengan mata yang bersinar, akhirnya pemilik kereta kuda tersebut memperbolehkan Baron dan Fein ikut dengannya ... meskipun mereka harus berada di bagian belakang kereta, yang berarti tempatnya memuat barang dagangan.            Meski begitu, Baron merasa beruntung karena kereta kuda dengan muatan alat dagang itu tertutup oleh kain. Tidak hanya itu, tumpukkan kotak yang sangat banyak membuat mereka berdua dapat bersembunyi di dalamnya tanpa khawatir            Fein menahan kuap sambil mengintip melalui kain yang menutupi muatan kereta kuda tempat mereka berada. “Hmm ... mungkin sekitar satu jam lagi untuk sampai di serikat. Aku akan tidur lagi, Baron.”            “Baiklah. Saat sudah sampai aku akan membangunkanmu,” jawab Baron singkat.            Fein langsung kembali berbaring, dan menggeliat beberapa saat untuk mencari posisi yang membuatnya nyaman. Setelah beberapa detik ia terdiam, Baron bisa mendengar napas teratur dari Fein.            Di sisi lain, setelah mimpi buruk yang terasa sangat nyata itu, tentu Baron tidak akan bisa kembali tidur. Setiap ia ‘membereskan’ seseorang, ia pasti akan terus memimpikan mereka selama beberapa hari.            Ia tidak memiliki masalah jika orang yang muncul di mimpinya merupakan orang lain yang berusaha untuk membunuhnya. Namun, beda lagi ceritanya ketika orang yang mampir ke dalam mimpinya merupakan orang yang tidak berusaha sedikit pun untuk menghindari kematian mereka yang sudah pasti.            Ketika Baron sedang memaki-maki mimpinya yang tidak bisa ia atur sendiri, suara keras sebuah benda jatuh membuatnya terkejut. Ia langsung melihat ke arah Fein, yang ternyata masih tertidur dengan pulas.            Sepertinya suara benda jatuh yang sangat keras itu tidak cukup untuk membangunkannya. Anehnya, meski suara yang sangat keras tidak bisa membangunkannya, tetapi jika Baron mencoba untuk menyentuh Fein, ia akan langsung terbangun.            Baron memanjangkan lehernya untuk melihat ke sekelilingnya, mengingat kembali di mana suara benda jatuh itu berasal.            Ia khawatir kalau suara benda jatuh itu ternyata salah satu barang dagangan. Karena dirinya dan Fein yang menunpang di kereta barang dagangan ini, kemungkinan besar salah satu dari mereka harus ganti rugi meski barang yang rusak itu bukan ulah mereka.            Setelah mendesah panjang, akhirnya Baron memilih untuk mencari tahu benda apa yang baru saja terjatuh itu. Dari apa yang ia lihat, sepertinya tidak ada yang berubah pada letak kotak berisi barang dagangan dari apa yang ia lihat terakhir kali.            Namun, Baron bisa melihat sebuah pergerakan dari ujung matanya. Sesuatu yang ditutupi oleh kain terus bergerak, seperti berusaha untuk membuat kain yang menutupi benda itu terjatuh.            Karena penasaran, dengan hati-hati Baron mengangkat kain itu. Di baliknya, ia melihat dua orang gadis dengan kaki dan pergelangan tangannya yang diikat dengan tali. Ikatan kain yang menutupi mulut mereka membuat isak tangis dari kedua gadis itu teredam. Wajah mereka sudah dibanjiri oleh air mata, ia juga bisa melihat luka lebam yang sudah membiru pada pipi mereka.            Mmffh!            Mmffh!            Baron hanya mendengar suara yang teredam dari kedua gadis itu. Sepertinya mereka berdua meminta tolong kepada Baron untuk membebaskan mereka.            Mmffh!            Salah satu gadis itu mulai menangis lagi, bahkan kali ini kakinya berusaha untuk menendang barang-barang di sekitarnya. Jika seperti ini, bisa-bisa barang yang ada di sekitar mereka rusak.            Baron berlutut, membuat pandangannya sejajar dengan mereka. Ia mengeluarkan belati yang ia miliki dari balik punggungnya. Sambil memperlihatkan belati miliknya pada kedua gadis itu, jari telunjuk pada tangannya yang bebas ia letakkan di bibirnya, membuat gerakkan untuk menyuruh kedua gadis itu tetap diam.            “Jika aku memilih untuk menolong kalian, dan di masa depan kalian akan diperlakukan seperti ini lagi, apa kalian yakin akan ada orang lain yang menolong kalian seperti diriku selanjutnya?” tanya Baron pada kedua gadis itu. “Gunakan kekuatan kalian sendiri untuk pergi dari sini.”            Setelah mengatakan hal itu, Baron meletakkan belati miliknya di dekat kaki mereka. Kemudian ia menutupi tubuh mereka lagi dengan kain seperti sebelumnya.            Mereka bebas memilih masa depan mereka sendiri, Baron hanya memberikan pilihan lain kepada mereka.            “b***k?” tanya Fein setelah Baron kembali duduk di sebelahnya.            “Mhm, mereka lumayan menarik,” jawab Baron.            Fein tertawa pelan. “Mungkin mereka akan dijual pada seorang bangsawan hidung belang, membuat mereka menjadi b***k s*x atau mungkin kelinci percobaan obat-obatan. Terkadang aku berterima kasih karena dilahirkan sebagai seorang lelaki.”            .            .            Sinar matahari membuat Baron membuka kedua matanya. Dengan senyuman yang tidak kalah cerahnya dengan matahari, pemilik kereta kuda itu membuka kain yang menutupi kereta bermuatan dagangannya.            “Kita sudah sampai di dekat kota Musrle. Seperti yang kalian inginkan. Apa kalian yakin tidak perlu diantar sampai ke tengah kota?”            “Tidak perlu,” jawab Baron singkat kemudian memukul kepala Fein untuk membangunkannya.            Dengan mata yang masih sulit dibuka, Fein berkata, “Oh sudah sampai? Terima kasih, pak tua. Tunggu, karena kita bayar untuk menumpang, seharusnya kita tidak perlu berterima kasih.”            Baron memutar kedua bola matanya, kemudian melompat turun dari kereta kuda itu. Fein menyusul di belakangnya.            “Oh iya. Kau tahu keluarga Salazzar? Dari pada menjual kedua gadis itu di pasar b***k, kau akan lebih untung jika menjualnya ke hidung belang itu!” tambah Fein sambil menepuk-nepuk bahu pedagang itu.            “Oh, benarkah!? Terima kasih, terima kasih! Semoga harimu menyenangkan!” kata pedagang itu sambil membungkukkan punggungnya beberapa kali, kemudian ia kembali menaiki kereta kudanya.            “Kau memberi tahu informasi itu secara gratis?” tanya Baron sedikit kesal. “Setelah kita bayar mahal hanya untuk menumpang, kau juga memberi informasi yang membuatnya untung?”            Fein tersenyum tipis sambil menaik turunkan sebelah alisnya. “Eyy ... tidak perlu khawatir, temanku! Kau lihat apa yang kupegang?” katanya sambil memperlihatkan sebuah kantong yang terbuat dari kulit.            Fein memainkan kantong itu di tangannya. Sekilas, ia bisa mendengar suara besi atau semacamnya dari dalam kantong itu.            Baron langsung ikut tersenyum tipis kepada Fein. “Terdengar dari suaranya ... dua ratus koin emas?”            Fein menjentikkan jarinya dengan bangga di depan wajah Baron. “Dua puluh kali lipat dari apa yang kita berikan, bukan? Anggap saja ini bayaran dari informasi yang aku berikan. Ayo kita makan sampai puas dan minum sampai mabuk!”            “Kita lakukan itu setelah selesai laporan pada ketua.”            Senyuman di wajah Fein langsung menghilang. “Ahh, aku sudah lapar! Dari semalam kita belum makan apa pun. Eh tunggu, semalam kau sudah makan masakan buatan nona muda itu, ‘kan?”            Mendengar Fein yang mengatakan hal itu, ia langsung teringat kembali pada Viola. Padahal, ia sempat melupakannya beberapa saat.            .            .            “Oh Fein, Baron,” kata ketua serikat sambil membuka tangannya lebar-lebar. “Akhirnya kalian tiba. Apa informasi yang aku inginkan sudah kalian dapatkan?”            “Kami tentu mendapatkannya, ketua~” kata Fein kembali memasang senyum palsunya yang selalu ia pasang di depan ketua serikat. “Mana mungkin kami berani kembali ke tempat ini sebelum mendapatkan apa yang kau mau!”            Baron mendesah pelan sambil memberikan amplop berwarna cokelat berisi berkas yang ia ambil dari Trey. Ketua serikat menerimanya dengan senang hati.            “Duduk di mana pun yang kalian inginkan, aku harus memeriksa berkas ini terlebih dahulu,” kata ketua sambil menunjuk ke salah satu sofa yang ada di ruangannya.              Fein langsung menegakkan tubuhnya dan duduk di sofa terdekat darinya, Baron ikut duduk di sebelahnya dan menunggu ketua serikat untuk selesai melihat isi bekas itu.            Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya ketua serikat meletakkan berkas yang ada di amplop cokelat itu dan berkata, “Seperti biasa, kerja kalian sangat bagus. Ini bayaran hasil pekerjaan kalian.” Ia melempar sebuah kantong kulit. Ketika kantong kulit itu terjatuh di atas meja tepat di depan Fein dan Baron, puluhan atau mungkin ratusan koin emas terdengar oleh mereka berdua.            “Cukup banyak, ya?”            Terlihat ujung bibir ketua serikat terangkat. “Sebenarnya cukup misi ini sudah diambil oleh beberapa orang dari serikat. Tapi mereka yang mengambil misi ini tidak pernah kembali dan menghilang,” kata ketua serikat dengan santai. “Tidak hanya kalian kembali hidup-hidup, tetapi kalian juga menyelesaikan tugas kalian. Anggap saja beberapa koin emas itu hadiah dariku.”            Jadi ketua serikat mengirimku dan Fein untuk menjalankan misi yang kemungkinan besar bisa membunuh kami berdua?            “Oh! Ketua serikat~ kau baik sekalii~ aku mencintaimuu,” kata Fein sang penjilat sambil mengambil kantong berisi koin emas secepat kilat.            “Bagaimana dengan misi memata-matai desa itu, ketua?” tanya Baron.            “Selama kalian pergi, sudah ada beberapa orang yang menerima misi itu. Kurang empat lagi, mungkin kalian harus menunggu dua sampai tiga hari untuk menjalankannya,” jawab ketua. “Kalian bisa beristirahat selama menunggunya.”            Fein memukul dadanya dengan bangga. “Tidak masalah, ketua! Kami akan menggunakan hadiah darimu sebaik mungkin!”            Ketua serikat kembali melemparkan lima keping koin emas ke depan Fein dan Baron. “Kau memang mahir membuatku senang, Fein. Aku tambah beberapa keping lagi. Belilah makanan atau wanita untuk menyenangkan hati kalian!”            Fein mengambil koin emas itu tidak kalah cepat dari sebelumnya. “Eyy ... ketua serikat sungguh baik!” []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD