Anton menoleh untuk melihat siapa yang datang, dan begitu tahu kalau Sein yang datang, barulah Anton memutar tubuhnya menghadap ke arah sang istri. "Ok, terima kasih atas informasinya, Steve," ucapnya pada Steve yang ada diseberang telepon.
"Sama-sama, Tuan."
Panggilan antara Anton dan Steve pun berakhir.
"Bagaimana, Dad?" Sein terdengar sekali tidak sabaran, kekhawatiran terlihat jelas di raut wajahnya.
"Crisstian ada di kantornya, Mom, dan dia baik-baik aja." Anton menuntun Sein untuk duduk di sofa.
Sein menghela nafas panjang, merasa lega begitu tahu kalau Crisstian ada di kantor. "Lalu kenapa dia enggak bisa kita dihubungi, Dad? Dia beneran baik-baik aja, kan?"
Sejak tadi siang, Crisstian tidak bisa dihubungi. Tidak biasanya Crisstian sulit dihubungi, karena itulah Sein merasa panik sekaligus juga khawatir. Sein takut kalau sudah terjadi sesuatu yang buruk pada Crisstian. Sein juga sempat ingin pergi mendatangi kantor Crisstian, tapi Anton melarangnya pergi.
"Mungkin dia sedang bertengkar dengan kekasihnya, Mom."
Kerutan di kening Sein semakin bertambah banyak, menandakan kalau saat ini Sein kebingungan. "Maksudnya?"
"Maksud Daddy, mungkin saja Crisstian sedang bertengkar dengan kekasihnya, dan itu merusak suasana hatinya. Jadi Crisstian memilih untuk menenangkan diri dengan cara mengurung diri di ruangannya." Anton tidak tahu, apa tebakannya benar atau tidak. Anton sudah bertanya pada Steve, dan Steve bilang, memang mood Crisstian hari ini sedang tidak stabil.
"Ah begitu," gumam Sein.
"Tapi Mommy enggak akan bisa tenang sebelum melihat atau mendengar suara Crisstian, Dad."
"Mommy tetap mau pergi menemui Crisstian?"
"Iya," jawab lirih Sein.
"Mom, kan tadi Daddy udah bilang, kalau Crisstian baik-baik aja. Dia hanya sedang tidak mau diganggu."
"Ta–"
"Biarkan saja, Mom. Crisstian sudah dewasa." Anton menyela ucapan Sein.
"Iya sih."
Anton dan Sein sama-sama menoleh ke samping ketika mendengar suara langkah kaki mendekat.
"Bagaimana, Dad? Apa Crisstian sudah bisa dihubungi?" Sean lalu duduk di sofa yang ada di hadapan orang tuanya.
"Crisstian masih belum bisa dihubungi, Kak, tapi Daddy sudah berbicara dengan Steve, dan Steve bilang kalau sampai saat ini Crisstian masih ada di kantor. Dia baik-baik aja, hanya saja sedang tidak mau diganggu."
"Syukurlah kalau dia baik-baik aja." Sean langsung mengucap syukur begitu tahu kalau sang adik baik-baik saja, tapi ucapan terakhir Anton membuat Sean penasaran, kira-kira, apa yang baru saja terjadi pada Crisstian?
"Apa Kakak tahu siapa wanita yang saat ini sedang menjalin hubungan dengan Crisstian?" Sean dan Crisstian sangat dekat, membuat Anton berpikir kalau mungkin saja Crisstian sudah memberi tahu Sean tentang sosok kekasihnya.
Sean menggeleng. "Kakak enggak tahu, Dad."
"Oh, Daddy pikir Kakak tahu."
"Crisstian menolak untuk memberi tahu Kakak siapa kekasihnya. Lalu bagaimana dengan Daddy? Apa Daddy dan Mommy tahu siapa orangnya?" Sean ingin sekali mencari tahu siapa wanita yang sudah berhasil meluluhkan hati Crisstian, tapi kalau Crisstian tahu, Crisstian pasti akan sangat marah.
"Daddy dan Mommy juga enggak tahu, Kak." Anton yang menjawab pertanyaan Sean.
"Daddy tidak mau mencoba untuk mencari tahunya?"
"Mommy melarang Daddy untuk mencari tahu siapa orangnya, Kak."
Atensi Sean beralih pada Sein. "Mommy tidak merasa penasaran?"
"Bohong kalau Mommy bilang Mommy tidak penasaran, Kak, tapi Mommy tidak mau mencoba untuk mencari tahu siapa orangnya. Mommy takut kalau nanti Crisstian merasa tidak nyaman, atau marah. Toh kalau dia memang serius, cepat atau lambat, dia pasti akan segera memperkenalkan kekasihnya pada kita semua, Kak."
Pembicaraan antara Anton, Sein, dan Sean terus berlanjut. Awalnya memang membahas tentang Crisstian, tapi semakin lama, pembicaraan diantara ketiganya semakin meluas.
***
Olivia sudah berdiri di depan lift, menunggu lift terbuka. Untuk kesekian kalinya, Olivia menoleh ke arah ruang kerja Crisstian, menghela nafas panjang saat pintu ruang kerja Crisstian tak kunjung terbuka. Sejak keluar dari ruangan Crisstian beberapa jam yang lalu, Olivia tidak pernah lagi bertemu Crisstian, karena Crisstian tidak keluar dari ruang kerjanya.
"Apa dia baik-baik aja?" Olivia sangat mengkhawatirkan Crisstian sampai rasanya ingin sekali memasuki ruang kerja Crisstian untuk melihat keadaannya, tapi Olivia tidak berani melakukannya, Olivia takut, takut kalau Crisstian akan memarahinya.
Lift yang terbuka menyadarkan Olivia dari lamunannya. Olivia bergegas memasuki lift.
"Bodoh, kenapa juga gue harus mengkhawatirkan Crisstian?" Umpat Olivia pada dirinya sendiri. Olivia menyandarkan tubuhnya sambil memejamkan matanya.
"Saya mencintai kamu, Olivia." Kata-kata Crisstian terus terngiang-ngiang dalam otak Olivia, membuat pusing kepala Olivia.
"Sial! Sial! Sial!" Olivia kembali mengumpat, kali ini sambil membenturkan kepalanya ke lift.
Tak lama setelah lift yang Olivia masuki tertutup, dan bergerak turun, Crisstian keluar dari ruangannya, berbarengan dengan Steve yang juga baru saja keluar.
Steve bergegas menghampiri Crisstian, merasa luar biasa lega ketika sang atasan akhirnya menunjukkan batang hidungnya. Steve pikir, Crisstian akan terus mengurung diri sampai hari besok.
Crisstian dan Steve sudah berada di dalam lift.
"Tuan, tadi Tuan Anton menghubungi saya."
"Lalu?"
"Tuan Anton menanyakan Anda, khawatir karena sejak tadi siang, Anda tidak bisa dihubungi."
"Apa Daddy menanyakan hal lain?"
Steve mengurungkan niatnya untuk menjawab pertanyaan Crisstian ketika Crisstian mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat jika dirinya harus diam.
Crisstian meraih ponselnya yang terus berdering, senyum lebar menghiasi wajahnya ketika tahu kalau Seinlah yang menghubunginya. Crisstian tidak mau membuat Sein terus mengkhawatirkan dirinya, jadi Crisstian segera mengangkat panggilan Sein. Belum juga Crisstian menyapa Sein, Sein sudah terlebih dahulu berbicara, menanyakan di mana posisi Crisstian saat ini.
"Crisstian dalam perjalanan pulang, Mom."
"Oh, syukurlah." Sekarang Sein benar-benar lega. Awalnya Sein berpikir kalau malam ini Crisstian akan menginap di kantor. "Kamu baik-baik aja kan, Sayang?"
"Crisstian baik-baik aja, Mom." Crisstian menjawab tenang pertanyaan Sein karena tidak mau membuat Sein semakin mengkhawatirkan dirinya.
"Kamu yakin?"
"Yakin, Mom. Udah dulu ya, Crisstian mau nyetir." Biasanya Crisstian akan pulang bersama supir, tapi tadi Crisstian sudah memberi tahu Steve kalau dirinya mau pulang sendiri tanpa ditemani oleh supir.
"Ok, hati-hati ya, Sayang."
"Iya, Mom. Bye." Setelah mendengar balasan dari Sein, barulah Crisstian mengakhiri panggilannya.
Crisstian dan Steve memasuki mobil masing-masing. Steve sempat menawarkan diri untuk mengantar Crisstian pulang, tapi Crisstian menolak. Mobil keduanya melaju pergi meninggalkan area basement.
Hampir 15 menit sudah berlalu sejak Crisstian mengatakan kalau Crisstian dalam perjalanan pulang, tapi sampai saat ini, Crisstian belum juga muncul, membuat Sein khawatir. "Duh, kok Crisstian belum datang juga ya?"
"Sabar, Mom. Paling sebentar lagi juga datang."
Ucapan Anton terbukti benar, karena selang beberapa detik kemudian, Crisstian datang.
Sein langsung berlari keluar untuk menyambut kepulangan Crisstian, diikuti oleh Anton yang berjalan tepat di belakangnya.
Berjam-jam sudah berlalu sejak Crisstian sampai di mansion. Setelah menikmati makan malam bersama keluarganya, Crisstian memutuskan untuk kembali ke kamar, berniat untuk mengistirahatkan tubuh serta pikirannya. Hari ini adalah salah satu hari yang paling Crisstian benci.
Crisstian mengurungkan niatnya untuk memasuki kamar mandi ketika mendengar notifikasi pesan masuk. Crisstian duduk di sofa, kembali meraih ponselnya untuk melihat siapa yang mengiriminya pesan.
Hai, Criss. I miss you.
"Rose." Tanpa sadar, Crisstian bergumam, menyebut nama sang mantan kekasih. Setelah membaca pesan yang baru saja masuk, Crisstian 100% yakin kalau pesan tersebut berasal dari Rose, mantan kekasihnya. Crisstian sama sekali tidak berniat untuk membalas Rose. Crisstian baru saja akan meletakkan ponselnya ketika ada panggilan masuk dari nomor yang baru saja mengirimkan pesan padanya. Dengan perasaan malas, Crisstian mengangkat panggilan Rose.
"Halo," sapa Crisstian dengan datar.
"Hai, Criss." Berbeda dengan Crisstian, Rose malah terdengar sekali sangat bersemangat.
"Ada apa, Rose?"
"Dari mana kamu tahu kalau ini aku, Crisstian?" Kebahagiaan Rose semakin bertambah. Rose bahagia karena Crisstian bisa langsung tahu kalau dirinyalah yang menelepon.
Crisstian menekan ikon merah pada layar ponselnya, mengakhiri panggilannya dengan Rose secara sepihak. Rose tidak menjawab pertanyaannya dan malah balik bertanya, membuat Crisstian kesal.
Crisstian mematikan ponselnya karena yakin kalau Rose pasti akan kembali menghubunginya.
"Dia tahu nomor gue dari siapa sih?" Crisstian tak bisa menutupi rasa kesalnya. Crisstian mengurungkan niatnya untuk istirahat. Crisstian akan pergi menemui Sean, siapa tahu, Seanlah yang sudah memberi tahu Rose nomor barunya.
Kebetulan, Sean juga baru saja keluar dari kamar.
"Criss!" Sean terlebih dahulu menegur Crisstian.
Crisstian berbalik menghadap ke arah Sean yang kini mendekatinya.
"Kamu mau ke mana?"
"Menemui Kakak."
Jawaban Crisstian membuat bingung sekaligus penasaran Sean.
"Kamu mau menemui Kakak?" Ulangnya sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri.
"Iya, ada yang mau Crisstian tanyakan."
"Bagaimana kalau ngobrolnya sambil ngopi?"
"Ok, ayo." Crisstian tidak menolak ajakan Sean.
Sean dan Crisstian pergi menuju lantai 1. Keduanya memutuskan untuk mengobrol di ruang keluarga.
"Jadi ... apa yang mau kamu tanyakan?" Tanya Sean sesaat setelah meneguk kopi.
"Apa ada yang mau Kakak katakan pada Crisstian?" Crisstian malah balik bertanya.
Sean mengangkat wajahnya, menatap adiknya dengan kerutan di kening. "Maksudnya?"
Crisstian berdecak. "Apa Rose sudah kembali?"
"Ah, tentang Rose." Sean lantas meletakkan gelas yang berisi kopi di meja.
"Iya, dia baru saja menghubungi Crisstian."
Sean melotot. "Apa? Dia menghubungi kamu? Kapan?" tanyanya dengan nada tinggi.
"Barusan. Kakak memberikan nomor baru Crisstian pada Rose nomor?" Crisstian menatap lekat Sean.
"Bukan!" Dengan tegas, Sean memberi bantahan. "Kakak enggak pernah lagi berkomunikasi dengan Rose setelah dia pergi ke luar negeri."
Crisstian terus menatap lekat Sean. Sean tidak menghindari tatapan Crisstian. Sean tahu kalau Crisstian pasti sedang mencoba mencari tahu, apa dirinya berkata jujur atau sedang berbohong?
"Ok." Crisstian mempercayai ucapan Sean. Crisstian menyereput kopinya, tak lama kemudian, Crisstian tersenyum sinis.
Sean melihat senyuman sinis Crisstian, senyuman yang langsung membuat perasaannya berubah tak enak.
"Crisstian, jangan macam-macam ya!" Dengan tegas, Sean memberi peringatan.
Raut wajah Crisstian berubah datar. Crisstian menatap bingung Sean. "Maksud Kakak apa?" tanyanya sambil menaikkan salah satu alisnya.
"Entah kenapa perasaan Kakak mulai enggak enak saat melihat kamu tersenyum seperti tadi."
Crisstian malah terkekeh, dan tidak menanggapi ucapan Sean. Crisstian meneguk habis kopinya.
"Eh, kamu mau ke mana?" Sean menatap bingung Crisstian yang kini malah berdiri.
"Istirahat, Kak." Crisstian pergi meninggalkan Sean.
"Crisstian!"
Crisstian mengabaikan panggilan Sean, dan malah melambaikan tangan kanannya. Sedangkan Sean hanya bisa menggerutu ketika melihat tingkah laku Crisstian.