Selendang Hijau

1559 Words
Beberapa hari kemudian, mereka bersama anak-anak desa berkumpul di teras rumah Pak Arya. Mereka mengikuti arahan dari keempat anak kampus yang sedang di KKN di desa itu. Mereka belajar bersama mengenai tarian tradisional. Mereka melanjutkan aktivitas yang sudah terlaksana beberapa waktu yang lalu. Saat ini, mereka juga menggunakan seperangkat gamelan dan beberapa alat lainnya. Sayangnya, gadis yang waktu itu ikut bergabung dan menyumbangkan suaranya, kini tidak hadir. Padahal, suara menyindennya begitu indah untuk mengiringi kegiatan hari ini. Beberapa anak perempuan telah siap menggunakan selendang di pinggangnya. Sebuah kain seperti jarit yang digunakan sebagai salah satu atribut pokok seorang penari, khususnya penari tradisional. Hari ini, mereka akan mempelajari sebuah tarian tradisional yang berasal dari Jawa Barat. Mereka sebagai penduduk asli, seharusnya bisa melestarikan kesenian khas yang ada di sana. Oleh karena itu, keempat mahasiswa itu akan memberikan arahan-arahan yang mengedukasi mengenai indah dan istimewanya sebuah kesenian tradisional. Di mana setiap wilayah memiliki keunikannya masing-masing. Tapi, tidak bisa dipungkiri, banyak pemilik kesenian itu yang enggan untuk melestarikannya. Justru, terkadang orang dari daerah lain yang dengan bangga melestarikannya. “Kak, apa kita harus memainkan gamelan lagi?” tanya seorang gadis yang memakai kaos panjang berwarna kuning. “Kak, kenapa tidak belajar matematika, saja,” timpal si cowok dekil memakai celana pendek yang sudah robek di bagian lutut serta memakai kaos warna putih yang lusuh. “Matematika ... kapan-kapan saja. Bukankah jauh lebih menyenangkan dengan seni?” kata Dewi dengan menunjukkan deretan giginya yang putih. Akhirnya, kegiatan hari ini telah selesai. Gadis itu mengembalikan selendang berwarna hijau milik Pratiwi. Tapi, kesalahan gadis itu yang mengembalikannya kepada Bram, membuat Pratiwi kelabakan mencarinya. Sebab, selendang itu turun temurun dari nenek moyangnya yang selalu dijaga dengan baik. Memang, seluruh kampus tahu, Pratiwi memang keturunan dari keluarga berdarah seni. Nenek yang seorang penari, dulunya. Ibu Pratiwi yang bekerja sebagai seorang musisi, ayah yang juga bekerja sebagai pemain gitar di salah satu studio musik. Sedangkan, Pratiwi memiliki bakat yang sama dari neneknya. Sayangnya, dia merasa lalai dalam menjaga selendang itu. “Tiwi, lo nyari selendang?” tanya Dewi. “Iya, kira-kira di mana, ya? Soalnya kata adik yang tadi, sudah dikembalikan. Tapi, gue ngerasa tidak menerima apa pun tadi,” jawab Pratiwi sembari mengacak-acak tasnya yang memang digunakan untuk mengemas barang-barangnya. “Gue bantu,” kata Dewi berjalan menuju bangku kayu. Di matanya, dia melihat ada sebuah kain berwarna hijau. Namun, saat dihampiri bukan selendang milik Pratiwi, melainkan handuk kecil milik Bram yang digunakannya kala selesai mencuci wajah. Selendang hijau, sebuah selendang yang diberikan secara turun temurun. Sebuah kain panjang yang memberikan sejarah kemenangan nenek moyang Pratiwi kala mengikuti kontes seni beberapa tahun silam. Rasanya, Pratiwi telah mengecewakan ibu dan keluarganya, dia telah lalai. Pratiwi menyerah lalu duduk di bangku kayu. Menatap ke bawah dengan mata sembab. Saat itu, hujan pun ikut menemani tangis itu. Bahkan, petir-petir kecil pun ikut menyambar. “Dewi, pertanda apa ini?” tanya Pratiwi sembari membuka kain tipis yang dipasang sebagai gorden jendela itu. Walaupun rumah itu hanya sederhana dan sudah reyot, sirkulasi udara tetap teratur dan terdapat jendela yang membantu memberi ruang untuk cahaya masuk ke dalamnya. “Percaya, tidak akan ada apa-apa. Lebih baik, kita lanjut mencari lagi,” sahut Dewi berjongkok sembari mencari selendang itu di dalam kotak kardus bekas teh gelas plastik. Pratiwi mengangguk lalu menutup kain itu kembali. Beranjak lalu mencari selendangnya. Beberapa saat kemudian, Nalendra kembali dalam keadaan basah kuyup. Dia baru selesai membantu pak Arya dalam mengemas kembali seperangkat gamelan yang tadi digunakan. Sampai detik itu juga, selendang belum ditemukan. “Kalian nyari apa?” tanya Nalendra dengan air yang berjatuhan dari rambutnya. Nalendra masih mematung di ambang pintu itu. “Ini selendang milik Pratiwi belum ketemu, apa ketinggalan di rumah Pak Arya? Ndra, lo lihat di sana enggak?” jawab Dewi dengan penuh harap bahwa selendang itu tertinggal di teras rumah gedung dengan dinding putih itu. “Selendang warna hijau?” jawab Nalendra sembari mengambil handuk putih miliknya. Dia mengelap rambutnya yang basah akibat air hujan yang belum juga reda. “Iya, warna hijau ada manik-manik di ujung, warna kuning kaya emas,” jawab Pratiwi masih sibuk membongkar tas ranselnya. “Oh, itu ... bukannya tadi sudah dikembalikan sama adiknya, ya? Tapi, dikasihkan ke Bram, tadi gue lihat pas ngasih. Lah, Bram di mana?” kata Nalendra sembari menuangkan air panas dari benda berbentuk tabung. “Bram?” Pratiwi dan Dewi secara bersamaan menghadap ke arah Nalendra. Menunjukkan tatapan mata yang menuntut penjelasan. Seharusnya, jika selendang itu berada di tangan Bram, saat ini juga selendang itu sudah harus kembali pada Pratiwi. Tapi, justru Bram turut tidak ada di sana. Padahal, hari sudah mulai gelap dan hujan petir belum juga mereda. Anehnya, tidak lama kemudian, ada sebuah petir yang jauh lebih keras. Dewi mengintip dari balik jendela yang dipasang kain tipis itu. Di luar sana, banyak warga yang rela berdiri di tengah hujan dengan membawa payung. Mereka khawatir jika akan terjadi badai atau hal lain. “Dewi ... Pratiwi .... “ Ibu Rahma mengetuk pintu tiga kali. Dewi berjalan menghampiri pintu. Membuka lalu menatap ibu Rahma yang terlihat panik dengan membawa payung berwarna ungu dengan motif bunga. “Ada apa, Bu?” tanya Dewi dengan lirih. “Keluar dari dalam rumah. Berkumpul di sana untuk mempermudah evakuasi, jika terjadi sesuatu,” ujarnya. Dewi melihat ke arah yang ditunjuk oleh ibu Rahma, di sana Pak Arya tampak melambaikan tangan agar dia segera hadir ke sana. Akhirnya, ketiga mahasiswa itu ikut bersama warga untuk berdiri di satu titik kumpul. Anehnya, di situasi saat ini, Bram tidak kunjung kembali. Sebenarnya, ke mana laki-laki itu pergi? “Nalendra, ke mana Bram?” tanya pak Arya dengan sedikit teriak agar suaranya visa didengar. Sebab, hujan kali ini begitu dahsyat dan jarang terjadi, kecuali ada seseorang yang melanggar aturan yang ada di desa itu. “Pak Arya, menurut saya, hujan ini terjadi karena ada yang melanggar. Sesuatu yang dilanggar, pasti akan memberikan dampak yang buruk,” ucap salah satu warga. “Nalendra, Bram ke mana?” tanya pak Arya sekali lagi. “Saya pun tidak tahu, Pak. Saya kembali ke rumah saja, Bram tidak ada di sana,” jawab Nalendra sembari mengusap wajahnya yang telah basah menyeluruh. Bram. Sosok laki-laki yang tengah dicari-cari. Kini, dia sedang berada di kebun terlarang itu. Bram duduk di atas panggung yang ada di sana dengan kaki bersila. Mengikuti arahan gadis cantik yang menghuni tempat itu. “Selendang ... hijau ... Ah, kamu baik sekali, Sayang. Aku butuh selendang cantik ini, apakah ini boleh untukku?” kata gadis yang memakai mahkota emas itu. “Iya, ambil saja. Tapi, aku menginginkan timbal balik,” jawab Bram yang pasrah disiram dengan air kembang. “Apa itu?” tanyanya. “Aku mencintai perempuan bernama Dewi. Tapi, dia tidak mencintaiku, dia justru mencintai Nalendra. Aku ingin kamu membantuku agar Dewi membalas perasaanku,” kata Bram dengan sekali tarikan napas. “Sebenarnya, kamu siapa?” “Kamu tidak perlu tahu aku siapa. Aku akan membantumu dalam menyelesaikan masalah kecil itu. Dewi ... akan menjadi milikmu, asalkan kamu mengorbankan salah satu perempuan untuk bekerja di sini. Bawalah dia ke mari secepatnya,” ujarnya dengan senyum yang begitu manis. Padahal, matanya yang terlihat seram dan lidah yang sedikit panjang membuat bulu-bulu merinding. Ketika Bram menyanggupi permintaannya, hujan pun ikut berhenti. Tepat pukul tujuh malam, Bram kembali ke rumah. Pakaian yang terlihat basah dan badan beraroma mawar busuk. Aroma itu tercium di hidung teman-temannya yang sedang asyik menikmati teh hangat untuk menjaga kehangatan tubuh. Tiba-tiba, terasa mual akibat bau yang menyengat itu. Kecuali, Dewi. Ya, Dewi tidak mencium bau busuk, justru aroma terapi yang tercium dengan nyaman di telinganya. “Bram, lo mandi di mana? Pakai apa? Kenapa, aromanya menyegarkan gini,” tanya Dewi berdiri dari bangku lalu membuat satu gelas teh untuk Bram. “Gue ... Gue tadi dari kali.” “Loh, hujan badai lo malah ke kali? Lo sehat, kan?” tanya Pratiwi. “Bram, mana selendang gue,” tagih Pratiwi saat itu juga. “Sehat, selendang? Coba, lo lihat, apa gue bawa?” katanya sembari berlalu untuk membersihkan diri di kamar mandi belakang rumah itu. Dia membawa handuk dan pakaian ganti. Beberapa waktu kemudian, Bram memberikan buah jeruk kepada Pratiwi. Buah yang diberikan oleh gadis yang tinggal di tempat tadi. Katanya, dengan jeruk itu akan membuat pikiran Pratiwi mudah dipengaruhi dan luluh untuk dibawa ke tempat itu. Tentu saja, Bram memberikannya tanpa ada Dewi ataupun Nalendra. Hal itu, agar tujuan busuknya bisa tercapai dengan mulus. Semulus jalan tol. Ternyata, apa yang dikatakan gadis itu benar. Pratiwi telah berada di bawah alam sadar. Bram mencoba merayunya dengan alasan membantu mencari selendang. Akhirnya, Bram berhasil membawa Pratiwi ke tempat itu. Mengajaknya duduk di tempat yang sama dengan tadi. Kemudian, gadis itu pun memberikan sebuah cairan bening. Rupanya, cairan yang bisa mengganggu kesadaran seseorang. “Bram, harusnya kita tinggal di sini, jauh lebih layak,” kata Pratiwi yang menganggap bangunan itu jauh lebih baik. Padahal, kenyataannya tempat itu merupakan tempat terlarang bagi siapa pun, termasuk warga asli desa itu. “Hai, Pratiwi, lo mau tinggal di sini?” tanya gadis itu. Pratiwi mengangguk seperti orang yang tidak terkendali dengan dirinya sendiri. Gadis itu mulai melepas pakaian yang dikenakan Pratiwi. Membantu memasang jarit lalu menyiramnya dengan air mawar. Tapi, ada sebuah mantra berbeda yang telah dibacakannya terlebih dahulu. “Bram, kalau lo mau dapatin Dewi, lo harus melakukan sesuatu terlebih dahulu. Lo harus .... “
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD