“Melani? Apa kabar?” Fahria menyambut kedatangan Melani di ruang kerjanya di sebuah gedung yang telah digubah menjadi kantor yayasan sosial, dikelola oleh Fahria dan beberapa sahabat wanitanya. Wanita paruh baya itu tampak celingukan seperti sedang mencari sesuatu atau seseorang. “Aku datang sendiri, Tante.” Melani meraih tangan Fahria. Diciumnya dengan takzim punggung tangan sahabat ibunya itu. Melani tahu, meski Fahria tidak bilang, bahwa wanita itu pasti mencari keberadaan Herlin. “Aah, ada apa, Sayang? Tante kira kamu datang sama Mama kamu.” Fahria sudah menganggap Melani sebagai anaknya sendiri. Pertama, karena dia tidak memiliki anak perempuan. Kedua, karena dia melihat Melani tumbuh dewasa. Kedua alasan itu jugalah yang membuatnya tempo hari