Tamu Tak Diundang

1636 Words
            “Di mana kamu, Del?” Rasti bertanya tak sabar di ponsel. “Mama di depan apartemen kamu. Sudah ketuk dan tekan bel pintu berkali-kali tapi tidak ada yang bukain pintu.”             “Mama ngapain ke apartemen Adel?” Adelia balas bertanya. Dia melihat jam di dinding ruangan yang ketika itu menunjukkan pukul 11.00. Setelah itu dia refleks melihat ke arah meja kerja milik Shandy yang kosong karena pemiliknya sedang meeting dengan para pimpinan perusahaan. Katanya sih, begitu. Rupanya Shandy Gobel orang penting sampai diajak meeting sama orang penting juga.             “Kamu ini kebiasaan. Ditanya malah balik nanya. Mama mau ajak kamu makan siang. Kita kan sudah lama tidak pernah makan siang berdua lagi.”             “Mama tumben jam segini tinggalin bakeri.” Adelia menimpali. Rasti memiliki usaha bakeri yang menjual kue-kue dan penganan tradisional cita rasa nusantara. Dia merintis bisnisnya itu dari nol sejak Adelida dan saudara kembarnya itu masih kecil.             “Sudah nggak usah banyak tanya! Kamu di mana, sih?”             Adelia mendengkus lalu menjawab. “Adel kerja, Ma.”             “Kerja? Santai-santai sambil menggambar maksud kamu? Kalau kamu di dalam apartemen, ayo cepat bukain dulu Mama pintu!”             Adelia memutar kedua bola matanya dengan sedikit kesal. Mamanya itu bisa jadi sangat menyebalkan untuk urusan ini. Sampai kapan mamanya tidak pernah menganggap pekerjaannya sebagai ilustrator itu juga adalah sebuah profesi? “Adel di kantor sekarang lagi kerja.”             “Kantor? Mama tidak salah dengar, kan? Kamu jangan bohongin Mama, Del.”             “Ya, ampun Mama! Kapan sih Adel pernah bohong sama Mama. Adel lagi kerja sekarang. Sudah, ya. Tutup dulu.”             “Eh, tunggu Del! Ini kan sudah mau jam makan siang. Kamu share location ya alamat kantor kamu. Mama ke sana sekarang.”             “Mama mau ngapain ke kantor Adel?”             “Ya mau ajak kamu makan siang.”             “Ma, nggak perlu repot-repot Adel….”             “Sudah Mama tutup dulu, Mama mau pesan taxi. Kamu cepatan WA alamat kantor kamu. Mama tunggu!”             Dan sambungan telepon itu pun terputus. Adelia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sembari membagi lokasi tempatnya berada sekarang kepada kepada ibunya itu lewat pesan. Ibunya memang tidak bisa dibantah jika sudah menghendaki sesuatu. Tidak lupa juga Adelia memberitahu di lantai mana dia berada.             Tidak sampai setengah jam kemudian satpam lantai tiga di mana ruang kerja Adelia berada mengetuk pintu kaca tiga kali lalu menyembulkan kepalanya di sana, “Ibu Adelia. Ada tamu mencari ibu. Ibu Rasti. Sudah saya minta menunggu Ibu di lobi.”             “Oh!” Adelia tersentak dan gegas beranjak dari kursinya sembari menyambar dompet dan ponsel dari laci meja. “Iya, terima kasih ya, Pak.”             Adelia keluar dari ruangannya dengan tergesa-gesa. “Mama.”             Rasti beranjak dari sofa lobi dan memeluk Adelia sekilas. “Akhirnya kamu mau mendengarkan Mama untuk mulai bekerja lagi, Del. Mama senang sekali.”             Adelia tersenyum kecut namun dalam hatinya berulang kali berterima kasih kepada Rinai karena berkat dirinya dia bisa memperoleh pekerjaan ini. “Iya, Ma.”             “Sejak kapan kamu kerja lagi?”             “Belum juga seminggu, Ma.”             “Oh begitu. Semoga kali ini kamu betah ya, Del. Mama itu khawatir kalau kamu tidak punya penghasilan untuk menghidupi dirimu sendiri.”             Adelia kembali tersenyum kecut. Bisa-bisanya mamanya ini berkesimpulan demikian. Memangnya selama dua tahun ini setelah resign dia hidup terlunta-lunta apa? “Iya Ma. Ya sudah, yuk kita makan siang. Mama yang traktir Adel ya. Kan Mama yang ajak.”             “Beres! Kamu mau makan apa saja Mama traktir. Untuk merayakan kamu yang kembali bekerja.” Rasti terlihat sangat bahagia.             Ibu dan anak itu berjalan beriringan menuju lift. Adelia menekan tombol basement dan saat pintu lift terbuka Rasti terpekik, “Loh, Nak Shandy!?”             Adelia melongo melihat Shandy berada di dalam lift bersama Cindy dan beberapa karyawan lain.             “Tante?” Shandy keluar dari lift diikuti karyawann lain yang mengangguk penuh hormat padanya sebelum pergi dari sana dan menuju ruangan masing-masing. Kecuali Cindy yang kelihatannya memiliki keperluan dengan pemuda itu karena dia tampak masih menunggu.             “Kamu kerja di sini juga, Shandy?” Rasti tampak antusias. Adelia menjadi begitu salah tingkah. Sementara Shandy, dengan ketenangan yang luar biasa, justru mengulurkan tangannya pada Rasti dan menciumnya dengan takzim. Selayaknya seorang anak kepada ibunya. Cindy yang berdiri agak jauh dari mereka namun dalam radius yang masih bisa melihat seluruh adegan dan mendengar pembicaraan itu tampak terheran-heran. Siapa wanita yang sedang bersama Adelia ini?             “Iya, Tante. Aku kerja di sini juga.”             “Shandy, sudah berapa kali kan Mama bilang jangan panggil Tante. Panggil Mama saja. Calon suami Adelia sudah Mama anggap sebagai anak Mama sendiri.”             Adelia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak melongo. Cindy jelas terkejut stengah mati mendengar hal itu. Calon suami? Oh, pantas saja Bapak Shandy bersikeras meminta Adelia bekerja di sini. Rupanya karena Adelia itu calon istrinya? Ih, ini nepotisme dong, namanya. Sementara Shandy hanya bisa berdehem lalu tersenyum.             “Iya, Tante. Eh, maksud aku, Mama.”             “Nah! Begitu dong.”             “Ma…Ma… yuk. Kita pergi. Katanya mau makan siang.” Adelia merasa inilah saatnya untuk mengakhiri pertemuan ibunya dengan Shandy. Aduh! Kenapa dia tidak mengantisipasi hal ini saat mengirimkan alamat kantornya kepada mamanya tadi? Adelia sama sekali tidak kepikiran bahwa ibunya bisa saja bertemu dengan Shandy di sini.             “Eh, iya. Sekalian saja kita ajak Shandy, Del. Yuk, Shandy, makan siang sama Mama dan Adel.”             “Tidak usah, Ma!” Adelia berseru secepat kilat. “Shandy sibuk. Dia biasanya makan siang di ruangan. Iya, kan?” Adelia kemudian menatap ke arah Shandy. Dengan sorotan mata penuh kode-kode meminta pemuda itu untuk membenarkan ucapannya.             “Ah, iya….aku ada sedikit pekerjaan, Ma.” Syukurlah Shandy mengerti permintaan yang disampaikan Adelia dengan isyarat mata.             “Wah, sayang sekali.” Rasti tampak kecewa. Tidak dibuat-buat. “Ya, sudah. Tapi lain kali kita harus makan siang sama-sama ya, Nak Shandy. Atau nanti malam kamu ke rumah Mama ya sama Adel. Kita makan malam sama-sama.”             “Tidak bisa, Ma!” Kembali Adelia yang menyahut. “Shandy harus lembur nanti malam.”             “Oh, begitu….”             “Iya, Ma.” Shandy kembali membenarkan ucapan Adelia.             “Ya, sudah. Kalau begitu selamat bekerja.” Rasti tersenyum. Menepuk lengan Shandy dua kali. “Mama kaget tapi senang sekali karena tau ternyata kamu kerja di perusahaan yang sama dengan Adel. Mama minta tolong jangan sakiti Adel, ya.”             “Mama!” Adelia berseru. Tak menyangka ibunya akan mengatakan hal itu. Dulu dia dan Beno adalah teman sekantor dan ibunya tahu dengan baik bagaiaman hubungan Adelia dengan pemuda bernama Beno itu berakhir. Mungkin karena itu Rasti mengatakan hal tersebut kepada Shandy.             Sementara itu, Shandy yang tak mengetahui sama sekali apa maksud Rasti hanya bisa terpaku sambil mengerutkan keningnya tak mengerti. Namun demi melihat bagaimana reaksi Adelia, dia tahu ada banyak hal yang wanita ini sembunyikan darinya. Dia harus mendapatkan penjelasan nanti.             “Aku tidak akan menyakiti Adelia, Ma.” Balas Shandy. “Mama tenang saja.”             Rasti tersenyum lebar, “Mama tau kamu orang baik, Shandy. Ya sudah, Mama dan Adel makan siang dulu, ya. Pinjam Adel-nya sebentar.”             Shandy menangangguk, “Tapi, aku juga mau minta tolong pada Mama.”             Rasti yang tadinya sudah akan melangkah masuk ke dalam lift kembali terhenti, “Apa itu, Shandy?”             “Tolong pastikan Adelia makan dengan lahap.” Shandy menyengir setelah mengucapkan hal itu. “Jangan biarkan dia diet. Karena dia sudah cantik.”             Rasti tertawa sambil melangkah masuk ke dalam lift diikuti Adelia yang tekerjut di belakangnya. “Tenang saja, Nak Shandy.” Apa-apaan sih Shandy Gobel ini? Kenapa dia bicara seperti itu? Dan kenapa pula wajah Adelia terasa panas hanya demi mendengar ucapannya?             Shandy berbalik menuju ruangan saat pintu lift sudah menutup dan membawa Adelia dan Rasti turun ke basement. “Ayo kita bicara di ruanganku, Cin. Kamu bawa CV pegawai-pegawai outsourcing itu, kan?”             “Ba…baik, Pak Shandy! Iya, saya bawa semuanya.” Cindy sedikit tergagap dan tergesa-gesa mengikuti langkah Shandy yang panjang-panjang. Pikirannya belum sepenuhnya teralihkan dari kejadian di depan lift tadi. Wah, Rinai kok tidak bilang padanya sih kalau Adelia ini calon istri Bapak Shandy?             “Sialakan duduk.” Shandy sudah duduk di kursinya dan kemudian mempersilakan Cindy duduk pada kursi di hadapannya. “Bisa aku lihat berkas-berkasnya?”             “Eh, iya Pak.” Cindy menyerahkan berkas yang dimaksud. “Eh, maaf Pak. Boleh saya bertanya sesuatu.” Cindy benar-benar tidak tahan untuk menanyakan hal ini.             “Ya, tentu saja. Apa itu?” Shandy menerima berkas dari Cindy sambil mengamati lawan bicaranya itu. Shandy selalu memberikan perhatian sepenuhnya pada lawan bicaranya. Tidak peduli dari kalangan mana mereka berasal. Satpam, cleaning service, karywan-karyawan. Shandy memperlakukan mereka dengan sama hormat dan baiknya. Setiap orang yang berbicara pada Shandy atau bahkan orang yang baru pertama kali bertemu dengannya sekali pun akan langsung dapat merasakan bagaimana kebaikan hati pemuda itu. Orang tuanya telah mendidik Shandy dengan baik sehingga dia tumbuh menjadi pria yang hangat namun tetap berwibawa. “Adelia….eh maksud saya, Ibu Adelia, apakah benar Ibu Adelia calon istri Bapak?” Cindy bertanya, “Eh, maaf, tadi saya tidak sengaja mendengar pembicaraan Bapak di depan lift.” Shandy tersenyum lebar, “Jangan minta maaf. Tidak masalah kalau kamu mendengarnya.” Cindy mengangguk sembari tersenyum salah tingkah. “Bagaimana menurutmu?” “Hah?” Cindy tidak mengerti arah pertanyaan anak dari pemilik perusahaann tempatnya bekerja ini. “Maksud Bapak?” “Apa kami serasi?” Shandy melanjutkan, “Aku dan Adelia.” “Ah….ya! tentu saja. Bapak dan Ibu Adelia adalah pasangan yang serasi.” Shandy Gobel mengangguk, “Syukurlah.” Dia kemudian mulai membuka berkas yang diberikan Cindy padanya, “Bisa kita beralih pada dokumen-dokumen ini sekarang? Atau masih ada lagi yang ingin kamu tanyakan?” “Tidak ada, Pak!” Cindy menjawab tegas.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD