Steak di hadapan Shandy dan Melani sudah beberapa menit lalu tandas. Restoran mewah yang terletak di pusat kota ini adalah pilihan Fahria. Dia mengatur segalanya dengan sangat baik sehingga Shandy dan Melani hanya perlu datang ke sana untuk saling bertemu dan harapannya bisa saling mengenal satu sama lain dengan lebih baik lagi.
Herlin, ibu Melani, adalah sahabat sekolah Fahria. Keduanya sama-sama bagian dari keluarga yang berlatar belakang bisnis. Fahria merasa Melani adalah pendamping yang pas untuk Shandy, putra sulungnya itu tidak pernah terlihat dekat dengan wanita mana pun itu. Bagaimana dia bisa mewujudkan impiannya menimang cucu dalam waktu dekat kalau Shandy dibiarkan berbuat seenaknya seperti itu? Bisnis keluarga memang penting. Tapi membina rumah tangga di usianya yang sudah sangat matang bukankah hal yang juga tak kalah penting?
“Bagaimana makanannya? Enak?” Shandy bertanya basa-basi.
Melani meneguk air mineralnya sejenak sebelum menjawab, “Enak. Terima kasih telah memilih restoran ini. Ini juga restoran favoritku.”
Shandy tersenyum, “Bukan aku. Tapi ibuku.”
“Ah…Tante Fahria?”
Shandy menaikkan kedua belah alisnya. Terkejut karena Melani mengenali ibunya, “Kamu kenal?”
“Ya. Tentu saja. Mama sering memintaku menemaninya arisan, reuni, atau perkumpulan-perkumpulan entah apa bersama teman-temannya. Aku mengenal Tante Fahria di acara-acara seperti itu.”
Shandy mengangguk paham. “Kalau begitu, maafkan ibuku.”
“Hah?” Berganti Melani yang terkejut, “Maaf untuk apa?”
“Untuk makan malam dadakan ini. Ibuku juga pasti memaksa kamu untuk datang kemari. Maafkan aku kalau kamu merasa tidak nyaman dan….”
“Tidak.” Melani gegas menimpali, “Maksudku, ya, ibuku juga yang memintaku datang kemari. Mama dan Tante Fahria pasti telah mengatur semua ini. Tapi, aku senang bisa datang kemari dan mengenal kamu.”
Shandy tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih. “Baguslah kalau begitu. Setidaknya ini bisa mengurangi rasa tidak enakku padamu.”
Melani balas tersenyum. Ya Tuhan, pria macam apa yang sedang ditemuinya ini? bukan hanya tampan dan menarik tapi dia juga sangat sopan sekali. Apakah memang dia seperti ini ataukah hanya sedang jaga image di depan Melani?
“Aku beberapa kali bertemu dengan Aidan dan Jusuf di acara perusahaan, tapi aku tidak pernah melihatmu.”
“Ya. Aku baru bergabung dengan perusahaan ayahku dua tahun terakhir dan itu pun tidak bekerja di sini. Beliau memintaku mengurus kerja sama di Jepang.”
Melani menanggapi dengan kerutan di kening. Kenapa sang putra sulung justru baru bergabung dengan bisnis keluarga?
Seperti bisa membaca isi pikiran Melani, Shandy kemudian menambahkan, “Sebelumnya aku bekerja di perusahaan milik kakekku dan saudara-saudaranya. Jocom Group.”
“Ahh…Josse Mall?” Melani terperangah. Ibunya ternyata benar tentang Shandy yang bukan berasal dari kalangan biasa. “Kamu masih saudara dengan Andromeda? Dia yang meneruskan usaha itu sekarang.”
“Oh, kamu kenal Andro? Ya, dia sepupuku dari sebelah ibu.”
“Wah, dunia ini benar-benar sempit sekali, ya. Aku sering bertemu Andro. Produk-produk perusahaan kami juga dipasarkan di jaringan mall miliknya.”
Shandy mengangguk paham. Pembicaraan mereka pun terus berlanjut. Membahas tentang bisnis, pendidikan Melani yang sebagian besar ditempuhnya di luar negri, perannya di perusahaan milik ayahnya dan hal-hal lain yang sedikit basa-basi.
Pembicaraan itu terinterupsi karena pelayan restoran datang untuk menyerahkan tagihan makan malam mereka. Shandy mengeluarkan kartu debitnya sambil bertanya “Datang kemari dengan siapa?”
Melani baru saja akan bilang kalau dia kemari bersama supir, namun ucapannya segera tertahan ketika Shandy bilang, “Kalau sendirian, aku bisa antar kamu pulang.”
“Ya. Aku tadi diantar supir tapi dia harus ke kantor untuk menjemput Papa.” Tidak ada salahnya berbohong demi bisa bersama Shandy lebih lama.
“Oke, kalau begitu aku akan antar kamu pulang. Kita pulang sekarang atau…”
“Ya.” Waktu sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam. Melani tidak memiliki alasan lagi untuk lebih lama berada di restoran. “Ayo.”
“Oke.” Shandy beranjak dari meja makan diikuti Melani di belakangnya. “Kamu tunggu di sini sebentar. Aku ambil mobil dulu.”
Melani mengangguk dan memperhatikan punggung lebar Shandy yang menjauh menuju parkiran. Tuhan, apa yang sedang dia rasakan ini? Melani tidak pernah merasa setertarik ini pada seorang pria sebelumnya. Pada perjumpaan pertama pula. Untuk kriteria pria yang dia kencani, dia sendiri memiliki standar yang sangat tinggi. Dia tidak suka pria yang berlomba-lomba mencari perhatiannya. Dia suka pria yang isi otaknya cemerlang. Dia suka pria yang sopan tapi menarik. Dan sepertinya semua itu ada pada Shandy.
“Melan, lama juga kita tidak bertemu.” Sebuah suara bariton terdengar datang dari belakang tubuh Melani. Suara yang sangat familiar di telinganya namun sudah lama tidak dia dengar. Melani refleks membalik dan seorang pemuda tampan dalam balutan pakaian kasual-yang sedikit tidak pas dikenakan untuk makan di restoran semewah ini- namun tentu saja tidak ada yang akan protes karena yang memakainya sangat charming- berdiri sembari tersenyum ke arahnya.
“Beno?” Melani menyahut dengan nada terkejut. “Wah! Kebetulan apa ini sampai bisa bertemu dengan kamu lagi?”
Beno adalah salah satu dari sedikit pria yang membuat Melani tertarik. Semua kriteria yang Melani tetapkan pada seorang pria yang berhak memiliki hubungan dengannya juga ada pada Beno. Meski terkenal playboy, Beno memperlakukan wanita dengan sangat baik. Mereka pernah dekat sebagai….ah, apa sebutannya untuk sepasang pria dan wanita yang sering menghabiskan malam berdua tapi sama-sama enggan terikat komitmen? Beno tidak bisa menerima Melani sepenuhnya karena Adelia masih kerap menghantui pikirannya, sedangkan Melani tidak mau terikat hubungan apa pun dengan Beno karena pemuda itu tampak belum bisa melupakan mantan kekasihnya. Friend with benefit? Mungkin itu istilah yang tepat untuk mereka.
Tapi, seperti yang Beno katakaa tadi, mereka sudah lama tidak lagi saling bertemu. Mungkin sudah hampir setahun ini. Beno sering pergi ke luar daerah dan Melani disibukkan dengan proyek-proyek di perusahaan. Lambat laun mereka tak saling bertemu dan hubungan mereka pun merenggang.
“Aku perhatiin kamu terus dari tadi. Aku ingin menyapa tapi tampaknya kamu sedang asik ngobrol.” Beno mengulurkan tangannya, “Apa kabar, Melan?”
Melani tersenyum. Senyumannya masih sama memikatnya seperti ketika mereka pertama kali bertemu di sebuah pameran teknologi satu setengah tahun yang lalu. “Aku baik, Ben.” Melani menyambut uluran tangan pemuda itu, “Kamu sendiri gimana? Sama siapa di sini?”
“Tadi temani expatriate dari Kanada makan malam.” Beno menjawab singkat, “Sudah mau pulang? Aku antar?”
“Ahh, makasih tapi tidak usah repot-repot. Aku pulang sama….”
“Pacar baru?” Beno menimpali bahkan sebelum Melani menuntaskan kalimatnya.
“Hah?”
“Yang makan sama kamu tadi. Pacar baru kamu?”
“Bukan….” Melani ragu-ragu menjawab. Dan dari keragu-raguannya, pemuda playboy seperti Beno bisa menilai bahwa sudah pasti Melani tertarik pada pria itu.
Beno baru saja akan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu saat terdengar bunyi klakson yang berasal dari sebuah mobil yang berhenti di depan lobi restoran. Kaca mobil itu turun dan Shandy tampak di kursi kemudi.
“Kita pulang sekarang?” tanya Shandy. Dia mengamati Melani dan Beno bergantian dari dalam mobil.
“Ya. Ya.” Melani gegas menjawab. Dia kemudian berpaling ke arah Beno, “Ben, aku duluan ya.”
“Okay, take care.” Beno melambai ke arah Melani yang berjalan masuk ke dalam mobil. “Aku telepon nanti.”
“Okay.” Melani menutup pintu mobil dan detik berikutnya Shandy membawa mobil itu melaju meninggalkan bangunan restoran.
“Teman lama.” Shandy tak bertanya apa pun tapi entah kenapa Melani merasa perlu menekankan hal itu padanya agar Shandy tak salah paham.
“Hah?” Shandy yang awalnya sedang konsentrasi pada badan jalan sedikit teralihkan.
“Cowok tadi. Dia temanku. Sudah lama kami tidak bertemu. Eh, siapa sangka ketemu lagi di sana.” Melani menambahkan.
“Oh, begitu.” Shandy tidak tahu harus menanggapi apa. “Tolong kasih tau arah ke rumahmu, ya. Aku belum tau alamat rumah kamu.”
Melani mengangguk. Setelah itu mereka tenggelam dalam keheningan yang mulai tercipta. Shandy sudah tidak lagi memiliki bahan untuk diperbincangkan. Begitu pun Melani. Tapi duduk berdiam di samping Shandy entah kenapa membuatnya bahagia. Seketika dia berharap jarak menuju rumahnya bertambah 50 kilometer lagi.
“Ah, Shandy.” Melani memutuskan untuk memecah sunyi yang tercipta di antara mereka, “Kamu tau kan apa tujuan orang tua kita mengatur makan malam ini?”
Shandy masih tampak tenang menyetir namun sesungguhnya dia menjadi tidak nyaman dengan pembicaraan ini, “Melani, sekali lagi aku minta maaf atas perluakuan ibuku. Mungkin itu membuatmu tidak nyaman. Aku akan coba menjelaskan kepada ibuku bahwa kita tidak berpikir untuk melakukan perjodohan dan sebagainya ini.”
“Kenapa?” Melani tak mengerti. Apakah Shandy tidak berencana untuk meneruskan rencana perjodohan yang diatur ibunya ini?
“Kenapa?” Shandy balas bertanya.
“Eh, di depan belok kanan!” Melani berseru dan seketika itu juga Shandy memutar kemudi mobilnya. “Itu rumahku.” Melani menunjuk sebuah bangunan mewah di sisi kiri jalan. “Kita bisa mencoba.” Melani kemudian menambahkan sembari melepaskan seatbelt-nya.
Mobil Shandy sudah berhenti sempurna di depan bangunan rumah bergaya eropa klasik. Dia kini menghadapkan sepenuhnya wajah ke arah Melani. “Maksud kamu?”
“Aku tidak keberatan untuk mencoba.” Melani menegaskan. Senyum yang sangat menarik terukir di bibir ranumnya. “Apa salahnya mencoba. Iya, kan Shandy?”
Shandy membalas dengan kerutan di kening. Dia ingin bilang bahwa dia sama sekali tidak tertarik dengan rencana perjodohan ini. Tidak. Bukan karena tidak tertarik pada Melani. Siapa sih yang bisa mengabaikan pesona gadis cantik di sampingnya ini? Hanya saja, Shandy belum memikirkan hingga sejauh itu. Dia tidak berencana sama sekali untuk memiliki hubungan serius dengan gadis mana pun dalam waktu dekat ini. Yang ada di otaknya kini hanyalah rencana pengembangan bisnis yang harus dia kerjakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
“Ah, itu….”
“Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Ini pertemuan pertama kita. Kita masih saling asing satu sama lain.” Melani gegas menyela. Dia tidak ingin menerima penolakan dari Shandy. Yang benar saja! Ditolak pada pertemuan pertama? Melani tak pernah mengalami hal itu seumur hidupnya, “Kita bisa makan malam lagi nanti, kan?”
Shandy terdiam, namun beberapa detik kemudian mengangguk, “Oke. Tidak masalah.”[]