08.12
Dean menatap keluar jendela. Angin ribut yang bertiup dari arah pegunungan, memukul atap pondok dengan keras. Bree memeringatinya untuk tidak keluar karena cuacanya sedang buruk. Sementara itu Dean terus memikirkan cara untuk keluar dari pondok dan memeriksa mobilnya, mengaktifkan alat pelacak, dan mengecek mesin di lantai mobil yang mengalirkan listrik seperti kata Kate. Rencana itu sudah tersusun di kepalanya setidaknya sampai kedatangan keluarga Bree yang tiba-tiba membuat Dean sibuk sepanjang sore.
Mereka berencana untuk mengadakan acara makan malam bersama dan membicarakan pesta pertunangan yang akan digelar dalam hitungan hari. Tiga hari lagi – jika ia tidak salah ingat. Selama berada disana Dean lupa waktu. Itu adalah hari ketiganya berada disana tapi rasanya seperti sudah berminggu-minggu yang lalu sejak Dean meninggalkan kota. Ia merindukan Sam, tempat tidurnya sendiri, dan juga radio tua yang ia letakkan di kamar penginapannya. Sudah hampir seminggu sejak kali terakhir Dean datang ke sekolah untuk melatih murid-muridnya, sekarang Dean sudah tidak sabar untuk kembali dan bertemu mereka.
Kali pertama datang ke tempat ini Dean tidak begitu terbiasa dengan temperatur udaranya. Disatu waktu udara bisa terasa dingin mencekik, di waktu lain hawa panas membuatnya berkeringat pada tengah malam. Wangi kayu dan cendana langsung menusuk tajam tiap kali ia memasuki pondok. Aroma itu membaur di setiap sudut tempat seperti pengharum yang sengaja dipasang. Padahal tidak ada satupun pengharum disana. Ia tidak bisa menemukan sejumlah barang yang lazimnya tersedia di rumah-rumah perkotaan. Mereka tidak memiliki mesin pemanas elektronik, televisi, bahkan penyedot debu otomatis. Bingkai-bingkai foto tidak diizinkan dipajang di ruangan manapun, sebagai gantinya mereka memajang kepala rusa di dinding dan hiasan berupa kain rajut yang tampak suram.
Keluarga Bree memiliki ruangan khusus yang mereka jadikan sebagai ruang baca. Ruangan itu lebih mirip perpustakaan yang dipenuhi oleh tiga rak tinggi dengan buku-buku bersampul hitam, dua sofa yang saling berhadap-hadapan, sebuah meja kayu dengan lilin di atasnya dan celah persegi di samping sofa yang dijadikan sebagai perapian.
Dean penasaran tentang buku-buku yang tersimpan di rak. Sore itu selagi Bree dan keluarganya sibuk di dapur, ia menyempatkan diri untuk memeriksa sejumlah buku dan mendapati kalau beberapa di antara buku-buku itu merupakan n****+ koleksi pribadi. Sisanya adalah buku-buku yang ditulis menggunakan bahasa pribumi. Buku itu jelas mirip seperti kitab yang ditemukannya di gudang, hanya saja tidak ada ilustrasi seperti sebelumnya.
Dean kemudian memeriksa lacinya, tidak ada sesuatu yang cukup berarti untuk dijadikan petunjuk. Ketika ia menunduk untuk memeriksa lantai kayunya, seseorang dari belakang memanggilnya hingga Dean tersentak mundur karena kaget. Itu Jill - atau Jess, entahlah, mereka sangat mirip.
“Acaranya sudah dimulai!”
Dean mengangguk pelan kemudian memberi isyarat pada gadis itu untuk pergi lebih dulu.
“Aku akan menyusul.”
“Jangan terlalu lama, kita akan berdoa.”
Dean penasaran tentang cara berdoa mereka. Kali terakhir ia berdoa sebelum makam malam bersama keluarganya ketika Dean masih berusia tiga belas tahun. Kemudian saat ia dikirim ke asrama dan menetap disana selama bertahun-tahun, kebiasaan untuk berdoa sebelum makam malam hilang begitu saja. Biasanya Dean hanya akan duduk di atas meja berhadap-hadapan dengan Nikki dan Sam, kemudian menyantap makan mereka sembari bercerita. Semua akan terasa berbeda malam ini. Dean sudah punya firasat ketika ia melihat cahaya lilin membanjiri meja makan panjang yang sudah terisi oleh piring-piring yang terisi penuh oleh makanan. Gelas-gelas kayu dipenuhi oleh anggur hitam seperti biasanya. Daging segar tersaji di tengah-tengah meja, piring-piring kosong sudah terbuka, lengkap dengan alat makan yang terbuat dari kayu lainnya. Dean mengambil tempatnya di samping Bree. Meskipun masih bersikap dingin, Bree berusaha menatapnya dan tersenyum lembut. Di sisinya yang lain ada Irine, duduk dengan punggung tegak dan tatapan lurus ke depan. Ketika Dean memutar wajah untuk menatapnya, wanita itu hanya menghela nafas panjang kemudian bersikap seolah-oleh Dean tidak pernah hadir disana – seolah-olah percakapan mereka di danau siang itu tidak pernah terjadi.
Dean megangumi kemampuan Irine membawa diri, tapi sudah jelas kalau sikap diamnya merupakan kedok semata. Kemudian ia bertanya-tanya apa yang mungkin sedang dipikirkan Irine. Apa yang disebunyikan wanita itu dari keluarganya? Dan bagaimana kalau sebenarnya semua itu hanyalah bagian dari rencana Irine untuk menjebak Dean?
Selain intuitif, Kate juga mengatakan Dean penuh prasangka. Yang mengerikan adalah fakta bahwa sebagian besarnya adalah prasangka buruk. Tapi – demi Tuhan – siapa yang bisa berprasangka baik jika mereka mengalami sejumlah keganjilan yang dialami Dean di tempat itu? Dan ketika semua pertanyaan itu menggelayuti kepalanya, Dean dikejutkan oleh dua wanita di samping yang meraih tangannya. Kesadarannya berkumpul dengan cepat dan dengan mudah ia membawa pikirannya kembali ke atas meja.
Begitulah cara mereka berdoa. Seluruh anggota keluarga saling berpegangan tangan dan Becca mulai mengucapkan sesuatu dalam bahasa asing yang tidak dapat dipahami Dean. Akhirnya Dean hanya memincingkan kedua mata dengan skeptis, mengamati wajah Rebecca yang dibanjiri oleh cahaya lilin dari meja seberang, bertanya-tanya apa isi doanya.
Yang mengejutkan, doa sebelum acara makan malam terdengar panjang dan bertele-tele. Dean mengamati, beberapa kalimat diucapkan berkali-kali dengan tegas seolah wanita itu hendak menekankan maksudnya. Sementara ia merasakan genggaman Irine pada tangannya mengerat dan ketika Dean melirik wanita itu dari sudut matanya, samar-samar ia melihat kedua mata itu tampak berkaca-kaca. Semua itu membuat Dean semakin penasaran saja!
Acara makam malam berlangsung lebih lama dari yang ia duga. Selama hampir dua jam Dean mendapati dirinya terjebak di tengah-tengah meja makan bersama keluarga Bree. Sementara pikirannya sudah berada di tengah hutan, di bagian yang paling dingin dan paling gelap, tepat dimana roger-nya terparkir, menunggu untuk diselamatkan. Dean mulai merasa bersalah pada roger itu. Dapat dikatakan roger itu sudah menemaninya selama tujuh tahun terakhir – sebuah simbol pernikahannya dengan Nikki dan juga barang pertama yang mereka putuskan untuk dibeli bersama-sama.
Tenang, Bi! Aku akan segera datang.
Tiba-tiba saja lamunannya buyar saat mendengar suara tawa Janet yang keras, pecah dari seberang meja. Wajah wanita itu memerah. Dengan mulut yang masih dipenuhi oleh daging rusa, wanita itu berkata, “ya! Aku pernah menggunakan pakaian itu sekali, tapi sejak usiaku tiga puluh tahun, ketertarikanku pada pakaian-pakaian ketat sudah hilang.”
“Tapi jelas kalau ketertarikanmu pada model rambut yang sama tidak pernah hilang,” timpal Becca dari kursinya.
“Itu berbeda, Kak. Lagipula apa masalahnya dengan rambutku? Aku suka rambutku. Jill dan Jess juga setuju. Bukan begitu, nona muda?”
Jill dan Jess mengangguk secara bersamaan kemudian tertawa cekikikan dari tempatnya.
“Kau sepertinya satu-satunya orang di ruangan ini yang tidak menyukai rambutku.”
Bec mengangkat satu jarinya untuk menunjuk Dean. “Jangan lupakan Dean. Kita belum bertanya padanya.”
Sontak Dean mengangkat tatapannya dari atas piringnya yang masih terisi penuh pada dua wanita berkulit pucat di seberang meja.
“Maaf.. apa?”
“Apa pendapatmu tentang rambutku, Dean?” Janet menggoyangkan kepalanya untuk menunjukkan rambut merah ikalnya yang di gelung di belakang pundang. Rambut itu memanjang sampai ke atas pinggul, kecuali karena ada pita hijau yang menahannya.
“Itu umm...”
“Ayo, jujur saja! Katakan pendapatmu tentang rambutku!”
“Menurutku lebih bagus kalau rambutmu tidak terlalu panjang.”
Tawa Jill dan Jess kembali meledak. Bree ikut tersenyum kemudian melujurkan satu tangan untuk meremas pundak Dean, sementara itu Janet tampak terkejut, tapi senyum lebar kembali muncul di wajahnya.
“Apa maksudmu? Bukankah semua pria suka wanita berambut panjang?”
“Tidak, sebenarnya tidak semuanya. Lagipula kupikir kecantikan wanita tidak bisa dilihat dari rambutnya saja..”
Kata-kata itu keluar begtu saja dari mulutnya seperti air keran yang mengalir. Dean terkejut mendapati dirinya mengingat Nikki saat mengatakannya. Tapi itu memang benar. Rambut Nikki pirang dan panjangnya hanya sebatas pundak - mungkin sudah lebih panjang sekarang. Wanita itu jarang mengambil waktu untuk pergi ke salon kecantikan atau mengambil waktu lama untuk membuat rambutnya tampak seindah mungkin. Terkadang Nikki hanya akan menggelungnya secara asal, atau membiarkannya tergerai setiap kali ia membilasnya, dan Dean tetap saja menganggap Nikki menarik.
“Ohh.. itu manis sekali,” Janet menimpali. “Jadi aku penasaran, jika bukan karena rambutnya, apa yang kau suka dari Bree?”
Butuh waktu beberapa detik bagi Dean untuk menjawab pertanyaan itu. Ketika jawaban itu muncul di kepalanya, langsung saja ia ucapkan, “matanya. Dia punya mata yang bagus.”
Beberapa orang di atas meja terenyuh – kecuali Irine, tentu saja. Wanita itu punya ekspresi yang tertutup dan keras. Namun sekilas Dean menangkap bola matanya berputar. Dari sudut matanya yang sendu, wanita itu sedang mengwasinya. Dahinya yang berjengit mengatakan pertanyaan yang tidak pernah ia sampaikan secara langsung: benarkah?
Di sampingnya Bree menggeser kursi kemudian bergerak mendekati Dean untuk mencium pipinya. Bukannya senang, Dean merasa tidak nyaman ketika para wanita itu menjadikannya pusat perhatian. Alih-alih melingkari lengannya ke seputar pundak Bree seperti yang biasa ia lakukan, Dean justru menekuk jari-jarinya di atas meja makan dengan kaku.
“Aku bisa melihat mengapa kau menyukainya,” timpal Becca dari seberang meja. “Jadi beritahu kami jenis bunga apa yang kau inginkan di pesta pertunganmu? Apakah itu lilac atau sesuatu yang lain?”
Dean mengibaskan tangan dengan tidak acuh. “Aku pilih yang terbaik menurut kalian saja.”
“Apa kau sudah mencoba jasmu?” timpal Janet.
“Ya.”
“Apakah ukurannya pas? Karena Bree tidak mengatakan berapa ukuranmu saat aku menjahitnya.”
“Oh..” Dean menatap Bree dan Janet secara bergantian. “Kau yang menjahitnya?”
“Bibi Janet menjahit semua pakaian untuk pengantin pria,” potong Jill untuk menanggapi pertanyaan itu. Gadis itu sepertinya tidak sadar kalau ia berbicara dengan sangat antusias sampai seluruh pandangan tertuju padanya. Baru setelah menyadarinya, wajah Jill memerah. Sebagai saudara kembarnya Jess mungkin ikut hanyut dengan apa yang dirasakan saudarinya karena kini ia menunduk malu.
“Semua?” Dean mengatakannya dengan pelan sampai ia ragu kalau semua orang yang hadir di sana mendengarnya. Tiba-tiba saja wajah Janet memerah dengan gelisah dan untuk mengalihkan percakapan itu, ia bertanya, “jadi kau suka jas-nya?”
Dean membaca ketegangan yang muncul di tengah ruangan, tiba-tiba saja semua orang yang ada disana tampak sibuk dengan pikirannya masing-masing. Kemudian ia sadar kalau Janet masih menunggu jawabannya.
“Ya, aku suka, terima kasih.”
Saat seluruh anggota keluarga terdiam, Dean berdeham untuk memecah keheningan itu kemudian bertanya, “jadi pestanya akan digelar dalam tiga hari dan kalian mengatakan kalau semuanya sudah diatur. Keberatan jika aku ingin tahu siapa saja yang kalian undang?”
“Hanya teman lama dan keluarga,” sahut Becca.
“Apa semuanya wanita?” pertanyaan itu dituturkan begitu saja. Dean tidak sempat memikirkan reaksi mereka saat membuka mulut untuk mengatakannya. Kini seluruh pasang mata tertuju padanya, tidak terkecuali Bree. Langsung saja ia memperbaiki ucapannya, “aku hanya penasaran karena.. semua pria sedang berburu.”
“Tidak,” suara itu datangnya dari seberang meja. Bec menampilkan senyum tipis saat mengatakannya. Tatapannya terarah lurus. Dean pikir wanita itu sedang menatapnya, tapi tatapan Bec terasa terlalu jauh. Kemudian ia sadar kalau Bec bukannya sedang memandangi Dean melainkan Irine. Sekilas Irine tampak tenang, namun kedua tangan yang sedari tadi di sembunyikannya di atas pangkuan kini terkepal erat. Tidak sulit bagi Dean untuk menyadarinya.
Kemudian, Dean mendengar Bec melanjutkan dengan suara pelan, “mereka akan datang jika sudah waktunya,” dan wanita itu tidak bicara apa-apa lagi.