Colorado, 08.30
Dean menggeser tuas mobil ketika hendak berbelok di tikungan. Kedua matanya mengamati jalan selagi mendengarkan radio yang memutar musik The Ozark Mountain Daredevils dalam gema yang samar karena beradu dengan deru mesin mobilnya yang tak keruan.
Ia menatap tas merah kecil pemberian Nikki di atas dasbor, tiba-tiba teringat ratusan atau mungkin ribuan malam yang dilewatinya dengan menelan semua obat-obatan itu. Dean tidak mau berbohong kalau obat-obatan itu membuatnya merasa lebih baik. Namun, setelah bertahun-tahun kondisinya sudah semakin baik dan ia merasa tidak perlu bergantung pada obat-obatan itu lagi.
Nikki menyakini sebaliknya, bahwa tidak ada cara lain yang lebih ampuh untuk menekan kegelisahannya yang muncul secara tiba-tiba selain obat-obatan. Belum. Dan sejak mereka tinggal terpisah, Dean hendak membuktikan bahwa anggapan Nikki sepenuhnya salah. Buktinya, sudah hampir satu minggu berlalu sejak kali terakhir Dean mengonsumsi obat-obatannya. Kini obat-obatan itu dibiarkan tergeletak begitu saja di laci apartemennya, mungkin akan membusuk tidak lama lagi. Dean tergoda untuk membuangnya, tapi ia justru membuka laci dasbor dan melempar tas merah itu ke dalam sana.
Sisa kaleng red bull yang sudah kosong jatuh berkelontang di lantai mobil ketika ban mobilnya tanpa sengaja melindas lubang di jalanan.
Sial.
Kini kaleng kosong itu bergabung di kolong kursi bersama sampah kresek bekas potato chips yang dibelinya kemarin. Dean menjulurkan satu tangan untuk memeriksa laci dasbor, berharap menemukan bungkusan permen karet yang masih tersisa di sana, tapi yang tersedia hanya tumpukan sampah lainnya. Dean punya firasat kalau semua sampah di dalam mobilnya akan membuat Nikki kesal bukan main. Wanita itu selalu menolak minuman yang mengandung kafein tinggi dan makan keripik kentang. Tujuh tahun hidup bersama Nikki dan baru kali ini Dean merasa mobilnya dipenuhi oleh sampah. Tapi Dean sudah berhenti minum obat dan mengonsumsi makanan cepat saji sejak satu bulan terakhir. Bukannya tidak suka, hanya itu cara paling praktis untuk meredam rasa laparnya yang suka muncul secara tak terduga. Biasanya Dean jarang mengonsumsi kafein dalam jumlah besar. Akhir-akhir ini dia membeli sekardus red bull dan mengisi lemari pendingin di tempat penginapannya dengan minuman itu, belasan makanan kaleng, dan sisa pastry yang sudah busuk.
Pagi itu dia pergi dengan perut kosong. Dean tahu nanti ia harus berhenti di tengah jalan untuk membeli kopi dan makanan siap saji lainnya. Tapi begitu mobilnya sudah menempuh perjalanan beberapa blok jauhnya meninggalkan rumah lamanya, Dean langsung memutar kemudi dan memasuki sebuah gang sempit tempat dimana bangunan dua lantai dengan cat dinding hijau berdiri.
Tidak ada pagar, dindingnya sudah mengelupas, dan engsel jendelanya menghitam. Dean menepikan ranger orange-nya di pinggir jalan kemudian menatap lurus keluar jendela mobil. Ia memeriksa ponselnya, belasan pesan dari saudarinya, Katerine, alias Kate, masuk beberapa menit yang lalu. Dean membacanya dengan cepat.
Kau pergi?
Kenapa tidak memberitahuku..
Bagaimana dengan Samanta?
Omong-omong, kemana kau pergi?
Kutebak itu pacar barumu?
Siapa namanya?
Bree ya? Bree si rambut merah?
Dean, tolong hubungi aku sekarang, aku perlu bicara denganmu!
Khas Kate. Wanita itu suka mengetik belasan pesan singkat tak bermakna yang sebenarnya dapat digabung menjadi satu pesan saja. Meskipun usianya akan menginjak angka empat puluh tiga tahun bulan depan, Kate yang bekerja sebagai penyelidik di kepolisian Colorado tidak pernah mengubah kebiasaan lamanya ketika mengirim pesan. Kakaknya sekarang menyewa sebuh rumah dua lantai di pusat kota, sesekali mengunjungi Nikki dan Samanta hanya untuk memeriksa kondisi mereka, terutama sejak Dean pergi. Meskipun sibuk, Kate penuh perhatian. Alih-alih menjadi anak sulung dalam keluarga, Kate sudah seperti ibunya. Dean merasa bersalah karena tidak memberinya kabar tentang rencana itu. Ia hendak mengetikkan sebuah pesan balasan, tapi kemudian mengurung niat dan mengingatkan dirinya untuk membalas pesan itu nanti saat sudah sampai disana.
Saat itu masih pukul delapan lewat empat puluh menit. Jalanan di sekitar masih kosong, pintu-pintu bangunan di tutup rapat. Dean hendak menekan klakson sebelum ia menyaksikan pintu hitam di lantai dua dibuka lebar. Seorang wanita berambut merah baru saja muncul disana. Tingginya sekitar seratus enam puluh lima, bertubuh kurus, wajah berbentuk oval, memiliki sepasang mata besar dengan pupil berwarna hitam. Wanita itu mengenakan hoodie berwarna merah terang, dilengkapi oleh topi hijau dan jins sepanjang lutut. Rambutnya yang masih basah dibiarkan tergerai memanjang di belakang punggung. Meskipun hanya mengenakan riasan tipis, wajahnya tampak cerah pagi itu.
Dean menjulurkan satu lengannya keluar kaca jendela dan melambai padanya. Bree langsung menangkap isyarat itu dan bergerak menuruni tangga untuk menghampirinya. Wanita itu menyeret sebuah koper merah kecil berisi barang-barang dan pakaian. Ketika Dean turun untuk membantunya memasukkan koper ke dalam bagasi, Bree melingkarkan lengan ke seputar pundaknya dan meninggalkan ciuman tipis di bibirnya.
“Bagaimana harimu?” tanya Bree ketika Dean bergabung dengannya di dalam mobil. Wanita itu sudah duduk menempati kursi penumpang. Wajahnya merah merona, kedua matanya berkaca-kaca. Sepasang bibir kecilnya sedikit terbuka dengan menggoda. Dean mendekatinya untuk mencium wanita itu keras-keras. Ia sudah tidak sabar ingin meninggalkan kota itu dan mengunjungi desa tempat dimana Bree dibesarkan, tidak sabar untuk meninggalkan keruwetan hubungannya dengan Nikki dan menjumpai keluarga barunya disana.
“Dean, aku berbicara padamu.”
“Ya. Hariku cukup menyenangkan.”
Bree menyandarkan tubuhnya dengan santai kemudian menaikkan satu kakinya ke atas kursi ketika Dean memutar kemudi dan menginjak pedal gas meninggalkan tempat itu.
“Cukup menyenangkan?” Bree mengulangi. “Kedengarannya meyakinkan.”
“Aku serius. Hariku cukup meyenangkan.”
“Bagaimana Sam?”
“Dia baik-baik saja.”
“Apa kau mengatakan padanya kemana kau mau pergi?”
“Tidak, tapi aku mengatakannya pada Nikki. Aku berjanji akan mengabarinya begitu tiba disana.”
“Bagus.”
Saat ban ranger-nya bergerak memelesat di jalanan besar meninggalkan pusat kota, Bree mencodongkan tubuhnya ke arah Dean. Satu tangannya terjulur untuk menyikirkan helai-helai rambut hitam yang mulai memanjang hingga menutupi dahinya.
“Kapan terakhir kali kau memotong rambutmu?”
Dean tersenyum. Radio menggemakan suara gemerisik aneh ketika mobil kian bergerak menjauhi sumber sinyal. Kini suara Natalie Cole yang sedang melantunkan lagu Pick Cadillac hanya terdengar seperti desikan mengganggu yang tiba-tiba muncul dan lenyap tanpa diduga-duga. Dean menjulurkan tangan untuk mematikan radio dan tiba-tiba saja keheningan yang memekakan dengan cepat dibanjiri oleh suara deru mesin mobil yang tidak enak didengar.
Bree duduk di kursinya tanpa merasa tengganggu. Satu perbedaannya dengan Nikki, Bree dapat duduk di dalam mobil yang dipenuhi sampah selama berjam-jam dan tidak akan merasa terusik sama sekali. Dean pernah mengunjungi tempat tinggalnya sekali, luasnya tidak sampai seratus meter, hanya terdiri dari dua petak ruangan berupa kamar tidur dan dapur. Pakaian bertebaran di setiap sudut tempat, tumpukan kertas berisi coretan sketsa menempel di atas dinding-dinding kayunya yang kokoh. Bree sangat gemar melukis. Bercak-bercak sisa cat menyiprat di atas lantai kayunya. Wanita itu juga mengoleksi puluhan kotak musik dan meletakkannya secara asal di dalam lemari pakaian. Ketika Dean datang, mereka duduk di atas sofa hijau tua-nya sembari mendengarkan salah satu musik klasik kesukaan Bree, meneguk soda dan berlomba makan keripik kentang seperti pasangan yang kerasukan, tapi Dean menyukainya. Ia ingin mengulangi momen yang sama bersama Bree, bercinta semalaman di atas lantai kayu yang dingin tanpa sehelai pakaian, kemudian terbangun pagi harinya untuk memuntahkan soda yang mengocok seisi perutnya semalaman. Saking tergila-gilanya, Dean sampai tidak lagi mengacuhkan kekacauan di dalam ruangan itu.
“Kau benar-benar seorang seniman,” ucap Dean kali pertama Bree membawanya masuk ke sarang seluas sembilan puluh meter yang telah menjadi tempat tinggalnya selama beberapa pekan terakhir.
Meskipun itu sudah satu bulan yang lalu, hubungan mereka terkesan terlalu cepat untuk sebuah pertunangan yang tak diduga-duga. Kali pertama bertemu, Dean sedang mengunjungi pameran lukisan pada galeri besar di pusat kota. Bree yang mengenakan jaket hijau dan terusan jins panjang berwarna gelap berdiri di sudut lorong, menatap lurus pada lukisan abstrak seolah sedang menilainya. Dean hanya mengamatinya sekilas, tidak menyangka kalau wanita itu akan bergerak ke arah yang berlawanan dan tanpa diduga menabraknya hingga menumpahkan cairan kopi yang masih panas di atas tuksedo hitam yang dikenakannya malam itu.
“Maaf! Maaf! Itu salahku..”
“Tidak apa-apa.”
“Biarkan aku menebusnya. Bagaimana jika aku mentraktirmu segelas kopi?”
Saat itulah Dean mulai mengamati wajahnya lebih baik. Wanita dengan rambut ikal bergemlombang yang membingkai wajah ovalnya dengan cantik. Kedua pupilnya yang besar dan berwarna gelap seakan menantang Dean, sedangkan rahangnya tertarik dan sederet gigi putihnya yang rata terlihat ketika wanita itu tersenyum lebar. Kemudian Bree menjulurkan tangannya yang polos, mengindikasikan sebuah isyarat. Dean menangkap maksudnya dengan cepat, tahu bahwa seharusnya ia tidak mudah menyerah pada tawaran itu begitu saja dan meninggalkan gedung pameran dengan cepat.
Satu bulan setelah malam itu berlalu, Dean langsung memutuskan pertunangan dengannya. Gila, tapi tetap saja dia lakukan. Kate orang pertama yang mengomentari keputusannya. Nikki bersikap tertutup dan tidak mau mengatakan apa-apa. Sementara Sam – Dean tidak punya cara yang tepat untuk menjelaskan situasinya pada gadis itu, tapi Bree terus mengingatkannya kalau cepat atau lambat Dean harus memberitahu Sam tentang hubungan mereka dan Dean menyetujuinya. Antara benar-benar setuju atau hanya berusaha menghindari perdebatan dengan Bree.
Beberapa hal tentang Bree masih menjadi misteri untuknya. Wanita itu mengatakan kalau dia dilahirkan di desa terpencil di dekat pegunungan Colorado. Kemudian pergi meninggalkan tempat itu pada usia ke-9 dan tinggal di kota untuk melanjutkan sekolah. Selama lima belas tahun Bree bekerja serampangan pada sejumlah kafe di pinggiran kota, sesekali menghadiri pameran lukisan untuk menjual hasil karyanya dan bernyanyi di bar. Tapi lebih dari itu Dean tidak pernah benar-benar mengenali kehidupan pribadinya: berapa banyak laki-laki yang terlibat dalam hidup Bree? Apa saja yang dikerjakannya sebelum Bree memutuskan untuk pindah ke kota itu dan menyewa apartemen sempit sebagai tempat tinggalnya? Dan juga bagaimana latar belakang keluarganya? Namun, perlahan-lahan Dean mulai mengenalnya. Mungkin setelah mereka menggelar acara pertunangannya nanti, Dean benar-benar akan mengenal Bree lebih baik.
Mungkin.
“Sekitar dua bulan yang lalu,” ucap Dean untuk menanggapi pertanyaan terakhir Bree.
Dari tempatnya di kursi penumpang, Bree berdecak masam dan berkata, “yang benar saja!”