Dean Hogdes memeriksa ponsel yang bergetar di sakunya. Sebuah pesan singkat baru saja masuk disana. Tubuhnya bergelenyar, sudut bibirnya terangkat. Ia sudah dapat menebak siapa yang mengirim pesan itu bahkan sebelum melihatnya:
Semua sudah dikemas, siap berangkat, Kapten iblis.
Kedua matanya terpaku saat memandangi pesan itu. Kemudian sebelum ia mengetik balasan, sebuah pesan lain masuk.
Aku merindukanmu, dimana kau?
Suara pintu yang dibuka terdengar dari arah teras. Kemudian suara itu disusul oleh derap langkah kaki yang tergesa-gesa ketika menuruni tangga. Dean terburu-buru mengetik balasan pesan: sampai disana dalam 15 menit. Kemudian mengantongi ponselnya dan merentangkan kedua tangan dengan lebar untuk menyambut gadis pirang berusia lima tahun yang berlari ke arahnya. Bintik-bintik merah muncul di wajahnya akibat pantulan sinar matahari. Gadis itu tersenyum lebar dan menampilkan dua lubang kecil bekas gigi susunya yang baru tanggal. Ekor rambut pirangnya yang dikepang mengayun di belakang pundak. Rambut itu kian memanjang dari hari ke hari, hanya saja Dean baru menyadari perubahannya. Setelah dua hari tidak kembali ke rumah untuk menemui putrinya, ada begitu banyak perubahan yang terjadi disana hingga rasanya sudah bertahun-tahun sejak kali terakhir Dean datang.
Istrinya – atau lebih tepatnya mantan istrinya, Nikki, muncul tidak lama kemudian. Wanita itu baru saja menuruni tangga di teras. Ia mengenakan kemeja putih polos di balik jaket coklat tua yang familier. Nikki suka mengenakan jaket itu setiap kali hendak berpergian. Hari ini, tampilannya sedikit lebih kasual. Tapi Nikki bukannya hendak berpergian. Saat itu adalah senin pagi, hari dimana orang-orang sibuk untuk bekerja, dan Nikki sudah bersiap untuk pergi ke klinik tempat dia bekerja sebagai terapis.
Sementara Dean datang untuk berpamitan.
Rencana itu terkesan mendadak, dan Dean baru mengabari Nikki malam tadi. Akhir-akhir ini Dean menghindari komunikasi langsung dengan Nikki, jadi dia hanya mengirim pesan.
Pesan singkat yang terkesan terlalu dingin: aku pergi besok, tapi sebelum itu aku akan datang untuk berpamitan dengan Sam.
Nikki membaca pesan itu satu jam setelah Dean mengirimnya, tapi tidak ada balasan. Paginya, ketika Dean terbangun, dia langsung mengecek ponsel. Masih tidak ada balasan, jadi Dean melakukan apa yang diperlukan: bersiap-siap kemudian mengendara langsung dari tempat penginapannya menuju rumah untuk menemui putrinya.
Dean harus menunggu selama lima belas menit sebelum Nikki dan Samanta, putrinya, muncul di ambang pintu. Saat itu sekitar pukul delapan. Nikki biasa pergi ke klinik puluh delapan tiga puluh. Hari ini sepertinya Nikki pergi lebih awal. Sam sudah berpakaian rapi: kaus biru cerah dan rok hijau sepanjang lutut. Punggung kecilnya dibungkus oleh jaket marun tebal dengan motif kartun kesukaannya. Mata hijaunya yang mewarisi Dean, berbinar-binar. Sisa krim coklat masih menempel di sudut bibirnya. Dean langsung menyeka sisa krim itu dengan ujung jarinya.
“Ayah!”
“Sam, jangan berlari!” Nikki memeringati dari arah teras.
Sam mengayunkan boneka beruang di satu tangannya kemudian dengan cepat mengalungkan lengannya yang kecil ke seputar pundak Dean dan mengecup pipinya dengan cepat seolah-olah gadis itu tidak sabar untuk menceritakan petualangan hebat lainnya pada Dean. Ratusan kata menyerbu keluar dari mulut kecilnya yang cerewet. Dean mendengarkannya seperti biasa, kemudian tertawa cekikikan bersama gadis itu sampai Nikki mendatangi mereka.
“Sam, jangan lama-lama, ayahmu mau pergi, kita harus pergi juga.”
Sam tidak mengindahkan ucapan Nikki ketika mendekat untuk membisikkan sesuatu ke telinga Dean. Bisikan itu keluar secara serampangan dari bibirnya, diucapkan dengan susunan kata yang membingungkan seperti biasanya, tapi Dean tidak kesulitan untuk menangkap maksudnya.
“Ayah, aku punya rahasia kecil tentang ibu–”
Dean membeliakkan mata ke arah Sam, kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Sam dan balas berbisik: “beritahu aku!”
Sam menggerakan bibir kecilnya tanpa bersuara. Samar-samar Dean membaca gerak bibirnya sebagai: “ibu menangis..”
Pernyataan itu sempat membuat Dean terpaku. Sam mengamatinya dengan penasaran, seolah gadis itu sedang menunggunya bereaksi. Barangkali Sam mengatakan hal lain, tapi sebelum Dean mendapat kesempatan untuk meminta Sam mengulangi ucapannya sekali lagi, Nikki sudah sampai di depan mereka kemudian menjulurkan tangannya ke atas pundak Sam.
“Sam, ayo! Kita akan terlambat. Bibi Lorrie sudah menunggu.”
Di bawah pantulan cahaya matahari, kulit Nikki tampak lebih pucat. Kedua matanya yang sayup tampak sembab dan aroma parfumnya menyeruak tajam. Nikki gemar memakai merek parfum yang sama. Wanita itu menggunakan dua merek parfum berbeda. Hari ini aroma yang menguar dari kulitnya tercium segar seperti wangi cendana. Setelah hampir tujuh tahun menikah dan tinggal bersama wanita itu, Dean tidak merasa kesulitan untuk mengenali aromanya. Bahkan dalam jarak beberapa meter saja, ia sudah dapat menebak jenis parfum apa yang sedang digunakan Nikki.
“Kau akan mengantarnya ke rumah Lorrie?”
Lorrie adik perempuan Nikki yang telah memiliki seorang anak laki-laki. Rumahnya hanya berjarak beberapa blok tak jauh dari rumah mereka dan sejak memutuskan untuk hidup berpisah, Nikki sering kali mengajak Sam berkunjung kesana. Tapi tetap saja Dean bertanya.
“Ya,” sahut Nikki dengan enggan.
Wanita itu mengangkat satu tangan untuk menghalau cahaya matahari yang menusuk wajahnya. Kedua matanya menyapu ke sekitar. Dean punya firasat kalau Nikki hanya berusaha menghindari tatapannya.
“Kau baik-baik saja?”
Nikki mengangguk dengan tenang sebelum menatap melewati bahu Dean untuk memandangi papan tanda dijual yang dipasang di dekat pagar. Papan itu sudah ada disana sejak dua bulan yang lalu. Mereka melewati dua malam yang panjang, berdebat tentang apa yang harus dilakukan sebelum akhirnya memutuskan untuk menjual rumah pernikahan mereka. Meskipun sepakat, Nikki tampak berat hati saat menandatangani perjanjian dengan seorang makelar rumah bernama Jean. Dean sendiri tidak yakin tentang keputusannya untuk menjual rumah itu. Ia hanya mengikuti instingnya yang mengatakan bahwa itu adalah keputusan terbaik yang dapat mereka ambil, meskipun akhir-akhir ini pikirannya kacau.
“Mumpung kau ada disini,” mulai Nikki. “Jean menghubungiku kemarin, dia mengatakan ada dua penawar. Dia sudah mengirim surel untuk perinciannya. Aku tidak tahu apa kau sudah membacanya..”
“Aku belum sempat membaca e-mail, tapi tidak apa-apa, putuskan saja yang terbaik. Aku percaya padamu.”
Nikki menyeringai lebar. Sikap defensifnya kembali muncul setelah hampir satu pekan tidak berbicara langsung dengan Dean. Bibirnya terbuka, wanita itu sudah siap untuk mengutarakan pendapatnya, namun disaat yang bersamaan, Nikki mengurung niat itu dan sebagai gantinya ia menyeringai lebar.
“Oke,” sahut Nikki akhirnya. “Aku tahu kau sibuk.”
Dean hendak meluruskan maksudnya, tapi percaya bahwa itu bukan waktu yang tepat. Nikki kelihatannya sedang terburu-buru, dan ia sendiri hanya punya waktu lima belas menit sebelum pergi. Jadi setelah mengucapkan salam perpisahan singkat dengan Sam, Dean bergerak mendekati mobilnya dan bersiap untuk pergi.
Ia sedang merogoh saku celananya untuk menemukan kunci ketika mendengar derap langkah kaki yang beregerak mendekatinya dari belakang. Seseorang yang sedang berjalan mendekatinya adalah Nikki. Dean dapat menebak dengan mudah hanya dengan mencium aroma parfumnya.
“Hei, tunggu!”
Ketika berbalik, Dean melihat keraguan dalam raut wajah Nikki. Wanita itu seakan telah diberondong oleh ribuan pertanyaan yang ragu-ragu untuk disampaikan. Tapi Dean mengenal Nikki, dia tahu pada akhirnya Nikki akan bertanya.
“Kemana kau pergi?”
Sembari memuntar-mutar gantungan kunci di tangannya, Dean menanggapi pertanyaan itu dengan cepat.
“Aku tidak tahu dimana persisnya, tapi yang pasti jaraknya kurang lebih dua mil dari pegunungan. Itu akan memakan waktu seharian – mungkin dua hari untuk sampai disana. Jadi aku akan singgah di penginapan sebentar kemudian melanjutkan perjalanan.”
“Pegunungan?” dahi Nikki mengerut, luka baret tipis yang dikenali Dean muncul disana. Ia sudah lupa betapa ia menyukai luka itu dulu. “Kau akan pergi ke kawasan pegunungan?”
“Ya. Kenapa?”
“Kau tidak akan tahan barang sehari saja.”
Dean menyeringai dan kembali bertanya, “kenapa?”
“Terlalu dingin untukmu.”
Kali ini Dean tertawa. Nikki sepertinya berharap Dean tidak meremehkan ucapannya, jadi Dean langsung memasang raut wajah serius, tapi dia tidak bicara apa-apa untuk menanggapi Nikki.
“Berapa lama kau pergi?” tanya Nikki kemudian.
“Seminggu – mungkin lebih.”
“Bagaimana dengan pengobatanmu?”
“Aku akan baik-baik saja.”
Nikki menggeleng dengan keras. “Seminggu disana? Kedinginan, tanpa obat-obatan? Tidak, kau tidak akan baik-baik saja. Tunggu disini sebentar!”
“Hei, kita sudah membahas ini.. jangan.. Nikki, dengarkan aku!”
Tapi Nikki sudah berbalik pergi. Dean melihatnya berlari menyebrangi halaman depan rumah mereka dan menghilang di balik pintu depan. Tak lama kemudian wanita itu kembali dengan sebuah tas merah kecil yang mengayun di satu tangannya.
“Bawa ini!” katanya.
Dean memandanginya sembari memincingkan kedua mata, kemudian dengan keras kepala menolak.
“Sial, ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat, Hodges! Bawa ini!”
Nikki hanya pernah sesekali memanggil Dean dengan nama belakangnya ketika mereka terlibat pertikaian hebat pada malam sebelum mereka memutuskan untuk berpisah. Pagi itu namanya terdengar seperti suar pertanda buruk saja.
Meskipun enggan, Dean akhirnya luluh dan menerima pemberian itu. Ia sudah dapat menebak apa yang diletakkan Nikki di dalam tas merah kecil itu: obat-obatannya. Pil-pil besar berwarna hijau dan biru yang berkelontang di dalam wadah bening kecil dengan sebuah stiker kuning kecil bertuliskan: satu kali sehari untuk hidup yang lebih baik, Dean!
Dulu tulisan pada stiker itu terkesan menghibur, sekarang Dean membencinya. Ia sudah menghubungi seorang petugas apotek untuk mencopot stiker itu, tapi tetap saja mereka mengirim lebih banyak wadah berisi pil hijau dan biru dengan stiker yang sama. Mungkin, seorang apoteker yang dihubunginya saat itu lupa mencatat permintaannya. Atau mungkin Dean hanya bermimpi menghubungi apoteker untuk mencopot stikernya.
Apapun itu, Dean tetap menerima pemberian Nikki, kemudian tanpa berbicara lagi, ia memasukkan ekor kunci ke dalam lubang di pintu Ford Ranger-nya yang sudah tua, kemudian menyalakan mesin dan duduk di depan kemudi sembari menatap Nikki yang masih berdiri di luar jendela. Gemuruh suara mesin yang terdengar seperti jeritan samar besi-besi tua yang kurang diapisi oli serasa menusuk telinga. Nikki juga menyadarinya, wanita itu bergerak mundur setelah mencium bau oli yang tajam menguar dari kenalpot mobil tuanya. Dean mengingatkan dirinya untuk memeriksa mesin mobil itu nanti.
“Aku tidak akan lama, aku janji. Ketika sampai disana aku akan menelepon. Kau juga akan menghubungiku untuk mengabaikan kondisi Sam, kan?”
Nikki mengangguk, kedua tangannya terlipat di depan d**a dan lagi-lagi kedua matanya menyipit.
“Bagaimana dengan Eric? Dia jadi datang malam kemarin?”
“Tidak.”
Dean memiringkan wajahnya, spontan bertanya, “kenapa?”
Alih-alih menjawab pertanyaannya, Nikki justru bergerak menjauh sembari berkata. “Aku harus pergi, kau juga. Hati-hati di jalan! Telepon aku kalau kau sempat.”
Ada kekecewaan yang ganjil dalam suara Nikki, tapi Dean hanya diam untuk memandanginya. Sampai Nikki berbalik pergi menuju ford hitamnya yang terparkir tak jauh disana, Dean masih mengawasinya kemudian begitu Nikki masuk dan bergabung dengan Sam di dalam mobil, Dean akhirnya menginjak pedal gas dan meninggalkan halaman rumah.
Ada sebuah perasaan ganjil yang memintanya untuk tetap tinggal. Perasaan itu berbisik di kepalanya malam sejak ia memutuskan untuk meninggalkan Nikki dan Sam di dalam rumah itu. Setelah dua bulan berlalu, perasaan itu menghantui Dean seperti mimpi buruk. Berkali-kali meyakinkan Dean untuk kembali ke rumahnya dan kembali pada keluarga kecilnya: pada Nikki dan Sam. Namun seperti yang selalu dilakukannya, Dean malah mengabaikan bisikan itu dan pergi begitu saja untuk menjemput Bree, tunangannya.