Episode 10

1329 Words
Episode 10 #Hujan, ajarkan aku lupa Kebetulan yang aneh Pagi-pagi sekali Nadine sudah bersiap meninggalkan hotel Grand Mahesa. Walau masih mengantuk akibat bercerita panjang lebar bersama Jordy, Nadine memaksakan diri untuk tetap bangun. Pasalnya, pagi ini Nadine punya janji dengan klien.  Semalam Jordy pulang jam 2 dini hari. Laki-laki itu memaksa tinggal lebih lama karena begitu merindukan Nadine. Alhasil, pagi ini Nadine terbangun dengan mata sembab dan menguap berkali-kali. Saat masuk lift, Nadine bahkan tidak menyadari kalau ada Devan diantara orang-orang yang akan turun ke lantai bawah. "Sepertinya kau sangat mengantuk." sindir Devan begitu mereka tiba di lantai bawah. Nadine menoleh sekilas dan mendengus saat tau kalau orang yang mengajaknya bicara adalah Devan. "Bukan urusanmu." jawab Nadine acuh. Sebenarnya Nadine tidak ingin bersikap kasar pada Devan. Hanya saja, gadis itu malu jika harus bersikap biasa-biasa saja.  "Memang sih, tapi aku sedikit penasaran. Kali ini berapa uang yang kau terima dari laki-laki semalam?" tanya Devan setengah berbisik. Nadine menghentikan langkah dan mengepalkan tangan menahan emosi. Devan ikut berhenti sambil berbalik menghadap gadis itu. "Apa maksudmu?" geram Nadine. Devan tersenyum sinis. "Jangan pura-pura lugu Nadine. Memangnya apa yang akan dilakukan wanita dan laki-laki dalam kamar hotel jika bukan menghabiskan malam untuk..." "Diam!? Jordy bukan laki-laki b***t sepertimu." potong Nadine emosi. "Waw kau marah?" ujar Devan mengejek. Nadine tak menggubris ucapan Devan. Gadis itu memilih pergi dengan wajah merah menahan marah. Siapa sangka, Devan menarik tangan Nadine demi menghentikan langkahnya. "Jika aku laki-laki b***t, lalu apa sebutan yang tepat untuk laki-laki yang sudah menikmati tubuhmu semalam?" geram Devan. Nadine menepis tangan Devan dan menatap laki-laki itu tajam.  "Sudah ku bilang, Jordy tidak sama denganmu. Lagipula, kita tidak punya ikatan khusus yang mengharuskan satu sama lain saling campuri urusan masing-masing. Urus saja pacarmu, kenapa kau harus repot-repot mengurusi kehidupan pribadiku." terang Nadine. Devan kehabisan kata-kata. Benar kata Nadine. Mereka tidak punya hubungan apapun kecuali simbiosis mutualisme. Hanya saja, Devan merasa dirugikan. Baru beberapa malam yang lalu dia meniduri gadis itu, tapi semalam Nadine sudah tidur dengan laki-laki lain.  Devan merasa tidak rela jika tubuh Nadine yang indah, dilihat dan dinikmati oleh laki-laki lain. Hal yang sangat membuat Devan kesal adalah, Nadine tidak merengek padanya seperti gadis-gadis yang pernah dia tiduri. "Bawa Nadine ke mobilku!" perintah Devan pada anak buahnya. Merasa tertantang, Devan malah menyuruh anak buahnya menyeret Nadine. Laki-laki itu dengan angkuh berjalan menuju mobil sambil bersiul. Di belakangnya, Nadine meronta dan berteriak memaki-maki Devan.  Nadine baru berhenti berteriak saat tubuhnya di paksa masuk ke dalam mobil Lamborghini milik Devan. "Kau seharusnya berteriak senang karena seorang Devan memaksamu untuk ikut, Nadine. Bukan malah memasang tampang marah seperti itu." ujar Devan. Nadine mendesah malas. Jika bukan karena uang yang sudah Devan beri, Nadine pasti sudah menendang laki-laki menyebalkan itu. "Kau mau kemana?" tanya Devan. "Bukan urusanmu." Devan berdecak sebal. "Sepertinya kau senang sekali mengucapkan kalimat itu."  "Apa sekarang kau sedang mengatur apa yang harus dan tidak harus ku ucapkan?" sindir Nadine. "Karena kau tidak mengatakan mau kemana dan mau apa, berarti kau setuju jika aku membawamu kemanapun aku mau." balas Devan. Nadine mendengus. "Siapa bilang?" Devan menatap Nadine serius. Gadis itu malah mengalihkan pandangan ke luar jendela. Saat Devan menyentuh rambut Nadine, dengan sigap Nadine menepis tangan Devan. "Apa aku juga harus membayar untuk menyentuh rambutmu? Berapa harga yang ditawarkan laki-laki semalam? Atau dia sudah memberimu uang lebih banyak hingga laki-laki lain tidak boleh menyentuhmu?" ejek Devan. Nadine kembali mengepalkan tangan untuk menahan emosi. Alih-alih marah, Nadine malah tersenyum dan mengangguk ke arah Devan. Karena kesal, Devan mendorong tubuh Nadine hingga gadis itu berada dibawah tubuhnya.  "Berapa uang yang kau mau? Aku bisa memberimu lebih banyak jika kau bisa melayaniku disini, di mobil ini." bisik Devan. Bulu kuduk Nadine meremang. Gadis itu mulai takut dengan kilatan emosi di mata Devan. Dengan kasar, Devan menutup tirai pembatas antara kursi penumpang dan sopir. "Kau salah paham, Devan. Ku mohon lepaskan aku." pinta Nadine. Devan menyeringai. "Kenapa? Kau takut? Bukankah semalam kalian tidur bersama? Apa salahnya melayani satu laki-laki lagi pagi ini. Sebutkan saja berapa uang yang kau pinta, Nadine." bisik Devan parau. Nadine bergidik ngeri. Gadis itu semakin takut saat Devan menyatukan bibir mereka dan melumatnya dengan kasar. Nadine memukul-mukul bahu Devan demi menjauhkan laki-laki itu. Devan tak beranjak. Bahkan Devan semakin kasar melumat bibir Nadine. Karena merasa putus asa, Nadine menangis. Saat itulah Devan berhenti. Devan baru sadar kalau bibir Nadine berdarah. Buru-buru Devan berdiri dan membantu gadis itu duduk. Nadine menangis tersedu-sedu sambil mengelap bibirnya dengan tisu.  "Hentikan mobilnya!?" teriak Nadine. Devan tak menanggapi. Nadine menangis semakin kuat dan memukuli Devan. "Hentikan mobilnya sekarang juga atau aku akan lompat." ancam Nadine. Devan berusaha menghentikan Nadine yang mencoba membuka pintu. Karena Nadine terus meronta, Devan terpaksa menuruti kemauan gadis itu. Setelah mobil berhenti, Nadine bergegas turun dari mobil dan meninggalkan Devan yang menatapnya kesal. *** Dua Minggu kemudian. Nadine menatap undangan pernikahan ditangannya dengan gamang. Gadis itu ragu untuk pergi setelah tau dimana resepsi pernikahan sahabatnya di adakan. Hotel Grand Mahesa, sepertinya hotel itu sedang naik daun akhir-akhir ini. Banyak kalangan elite dan sosialita yang menikah di wedding hall hotel tersebut. Sayangnya, bagi Nadine hotel itu adalah sebuah kesialan. Di hotel itu Nadine mengetahui kalau Marcel cuma mengincar harta orang tuanya. Di hotel itu juga Nadine menghabiskan malam bersama Devan. Sejak kejadian waktu itu, Nadine tidak pernah bertemu Devan lagi. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Nadine meraih gaun yang sejak tadi diletakkannya di atas kasur dan berganti pakaian. Saat gadis itu sedang merias diri, Gio masuk ke kamarnya tanpa permisi. Dari pantulan cermin, Nadine berdecak sebal tanpa menoleh ke arah Gio. "Apa yang kau lakukan disini?" tanya Nadine ketus. Gio beranjak mendekati Nadine dan meletakkan kedua tangannya di pundak gadis itu. "Aku harus mengkonfirmasi sesuatu. Sepertinya ada yang kau sembunyikan dari kami." ujar Gio. "Apa?" tanya Nadine malas. Gio membungkukkan tubuhnya hingga sejajar dengan kepala Nadine. "Apa hubunganmu dengan Devan Abraham Mahesa?" bisik Gio. Raut wajah Nadine menegang meski masih bisa menyembunyikannya. Hanya saja, Gio terlalu pintar untuk dibodohi dengan senyum palsu Nadine. "Kami berteman, itu saja." jawab Nadine berbohong. Gio tertawa mengejek. "Teman? Sepertinya kau tidak mengenal Devan dengan baik, Nadine. Selain Evelyn, laki-laki itu tidak pernah dekat dengan perempuan manapun. Kecuali ..." Gio sengaja menggantung kalimatnya. Dengan cermat laki-laki itu menilai raut wajah gelisah yang tak sengaja Nadine tampakkan. "Ke-kecuali apa?" tanya Nadine terbata. Gio mendekatkan bibirnya ke telinga Nadine. "Kecuali kau adalah wanita yang akan atau pernah dia tiduri." Wajah Nadine memucat. Gio kesal dengan reaksi itu. Dugaannya tentang uang yang Nadine berikan pada Heru beberapa waktu yang lalu, sepertinya tidak salah. Dengan angkuh, Gio menegakkan tubuhnya kembali. "Jika waktu itu kau masih perawan, sangat mungkin kalau Devan membelimu dengan harga mahal. Cih, ternyata kau lebih murahan dari ibumu." ejek Gio. Nadine buru-buru menyudahi riasannya dan menyambar tas tangan dengan tergesa. Mengetahui Nadine akan segera pergi, Gio mencegahnya dengan berdiri tepat di depan pintu yang tertutup. "Jelaskan dulu apa yang sebenarnya terjadi, Nadine. Jika tidak, jangan harap kau bisa keluar dari kamar ini." ancam Gio. Nadine berusaha menyingkirkan tubuh Gio. Laki-laki itu dengan sengaja mengunci kamar Nadine dan menyimpan kuncinya di saku celana. Nadine ingin berteriak, tapi gadis itu tidak jadi melakukannya karena takut disalahpahami Fatma. "Gio, please! Aku punya janji malam ini." mohon Nadine. Gio malah berjalan ke arah ranjang dan berbaring dengan santai di sana. "Kau boleh pergi jika kau mengakui kebenarannya." ujar Gio acuh. Nadine yang merasa kesal, berusaha merebut kunci di saku Gio. Dengan cepat Gio mengelak hingga Nadine terjatuh tepat di atas tubuhnya. Nadine dan Gio sama-sama terdiam. Pandangan mereka bertemu. Dengan berani, Nadine mendekatkan wajahnya ke wajah Gio.  Gio jadi salah tingkah dan gelagapan. Kedua tangan Gio menahan wajah Nadine untuk tidak semakin dekat dengan wajahnya. Saat itulah Nadine memanfaatkan kesempatan untuk mengambil kunci di saku Gio. Dengan sekali tarikan, Nadine berhasil mendapatkannya. "Kali ini kau terkecoh, kakak." sindir Nadine. Gadis itu melenggang meninggalkan Gio yang merasa kesal karena berhasil dibodohi oleh Nadine.  "Apa dia benar-benar menjual diri pada Devan?" gumam Gio pada dirinya sendiri. To be continue...  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD