"Papa ... papa bawa pizza pesenan aku?" bocah kecil itu berlari lalu memeluk pinggang sang ayah yang baru turun dari mobil.
Lelaki tampan itu menepuk kening. "Aduh! Papa lupa!"
Sontak jawaban itu membuat sang jagoan kecil merengut lalu melepaskan pelukannya. "Yah ... Papa."
"Maaf, ya, Papa beneran lupa, tadi Papa ada meeting sampe sore, terus langsung pulang." Samuel mengangkat tubuh mungil sang putra lalu menggendongnya. "Gimana kalau sekarang kita mandi, terus kita makan di luar. Abraar mau pizza, 'kan? Kita makan pizza sepuasnya."
"Yeeeyy ... Papa emang keren!" sorak Abraar dalam gendongan Samuel yang berjalan mendekati seorang wanita cantik yang berdiri di teras rumah mereka, dengan lembut wanita itu mencium punggung tangan sang suami yang baru pulang bekerja, dengan lembut pula Samuel mencium kening sang istri tercinta.
"Mama Abraar mau mandi." Bocah berusia lima tahun itu memerosotkan diri dari dekapan sang ayah lalu berlari kecil ke dalam rumah.
"Abraar, hati-hati, Nak. jalannya pelan-pelan." Karena memang sudah kebiasaan anak kecil yang selalu tertantang akan kata larangan, maka Meisya merubah kata jangan lari-lari dengan perintah untuk berjalan pelan-pelan.
"Iya, Mama," jawab Abraar, Meisya dan Samuel tersenyum melihat sang putra berjalan lebih pelan meniti anak tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua rumah itu.
"Kak, aku udah masak buat makan malam kita, loh," ujar Meisya sebagai bentuk protes karena Samuel yang tanpa meminta persetujuan mengajak mereka makan di luar.
"Aku tau, istriku yang cantik ini pasti sudah masak buat makan malam." Samuel mencolek ujung hidung mancung sang istri. "Tapi, aku juga enggak mau bikin anak kita kecewa, jadi ... masakan kamu untuk makan malam kita setelah membelikan pizza untuk Abraar, ya."
Meisya tersenyum lebar lalu masuk dalam pelukan sang suami. "Terima kasih, Kak Sam. kamu selalu dan selalu menjadi yang terbaik, ayah dan suami yang sempurna," ujar Meisya dalam pelukan sang suami.
"Aku hanya selalu berusaha memberikan yang terbaik, Sya. Karena aku cinta dan sayang kalian. Enggak ada yang sempurna di dunia ini, buktinya aku lupa beli pizza pesenan Abraar," jawab Samuel sambil terkekeh.
"Lupa begitu, mah, enggak masalah. Asal jangan sampai lupa kalau udah punya istri aja!" ledek Meisya yang sudah melepaskan pelukannya lalu berjalan meninggalkan ruang tamu di mana sekarang mereka berada, sang suami mengejar lalu merangkul pinggangnya.
"Punya istri cantik dan sempurna begini masa lupa! Ya enggak mungkinlah," jawab Samuel, kini keduanya berjalan bersama menuju kamar mereka yang berada di sebelah kamar Abraar.
"Enggak ada yang sempurna, tadi Kak Sam sendiri yang bilang." Meisya mengingatkan apa yang suaminya katakan tadi.
"Tapi kamu sempurna untukku," jawab Samuel, ia kembali menarik sang istri ke dalam pelukan lalu mendekatkan bibirnya pada bibir Meisya, nyaris mengecup jika saja tidak mendengar suara sang putra dari atas tangga.
"Mama, Papa, ayo cepetan mandi. Katanya kita mau pergi."
SamSya hanya tertawa melihat putra mereka yang hanya mengenakan handuk melilit perut kecilnya, bocah itu begitu tidak sabar menunggu orang tuanya padahal dirinya sendiri juga belum siap.
"Ayo kita pake baju dulu, biar Mama mandi duluan," ajak Samuel lalu menggandeng tangan Abraar memasuki kamarnya.
Rasa syukur tidak pernah berhenti Meisya ucapkan, walau Samuel mengatakan jika tidak ada manusia yang sempurna tetapi dirinya merasa jika Samuel adalah pengecualian. Jika tidak disebut sempurna maka apa lagi sebutannya?
Sempurna mencintai dirinya yang sempat berkubang di dalam lumpur hina, dan mencintai Abraar yang bukan putra kandungnya sendiri dengan begitu dalam maka bagi Meisya semua itu melebihi dari kata sempurna.
* Dita Andriyani *
"Yyeeeyyy ... Papa menang!" seru Samuel ketika telah berhasil memasukkan semua bola basket ke dalam keranjang di sebuah tempat permainan pusat perbelanjaan yang mereka datangi, belum afdol rasanya jika mendatangi pusat perbelanjaan dan Abraar tidak merengek mengajak bermain.
Meskipun tadi bocah itu mengeluh jika perutnya kekenyangan akibat memakan banyak pizza tetapi nyatanya anak itu bisa dengan gesit dan ceria memainkan beraneka permainan yang ada, seperti biasa, Samuel akan dengan senang hati menemani putranya itu bermain bahkan lelaki itu juga akan turut larut dalam kegembiraan seolah dirinya juga seorang bocah.
Meisya menunggu mereka dengan senyum bahagia, sesekali mengabadikan momen bahagia itu dengan kamera ponselnya.
"Mama Abraar," sapa seorang wanita yang tampak menggandeng seorang anak kecil sebaya Abraar.
"Hei, Bunda Putri," jawab Meisya dengan ramah. "Halo Putri." Meisya juga menyapa seorang gadis kecil manis dengan rambut di kuncir dua.
"Abraar mana?" tanya wanita yang menyapanya, gadis kecil itu adalah teman sekolah Abraar di taman kanak-kanak.
"Itu, lagi main sama Papanya," jawab Meisya sambil menunjuk dua lelaki berbeda usia yang sedang memainkan permainan yang sama.
"Wah, Papa Abraar ini memang juara, ya. Walaupun sibuk selalu meluangkan waktu untuk anaknya," puji wanita itu, Meisya tersenyum dengan rasa syukur terucap dalam hati.
"Iya, Bunda Putri. Kalian cuma berdua?" tanya Meisya sambil menatap beberapa kantung belanjaan yang wanita itu pegang.
"Iya, ayahnya putri mana mau diajak belanja," jawab wanita yang sepertinya lebih tua dari Meisya itu, Meisya hanya tersenyum.
"Ayo, Bunda katanya mau makan es krim," rengek Putri sambil menggoyang-goyangkan tangan sang Ibu.
"Iya, Sayang." Putri terlihat gembira karena jawaban sang ibu. "Mama Abraar, kami permisi dulu. Salam buat Abraar."
"Iya, Bunda Putri," jawab Meisya pada wanita yang sudah melangkah karena sang anak menarik tangannya, Meisya tertawa kecil melihat tingkah bocah perempuan itu.
"Siapa, Sayang?" tanya Samuel yang tiba-tiba sudah berada di belakang Meisya.
"Teman sekolah Abraar," jawab Meisya, tersenyum melihat wajah tampan sang suami. "Abraar mana, Kak?" Meisya tidak melihat sang putra berada di belakang atau samping Samuel.
"Itu, lagi nuker kupon," jawab Samuel, ia menunjuk di mana bocah lelaki itu berada.
"Mainnya udah? Udah capek?" tanya Meisya yang lalu menggandeng tangan sang suami dan mengajaknya berjalan mendekati Abraar.
"Aku belum capek, masih ada permainan yang pengen aku mainin tapi sama kamu," jawab Samuel berbisik.
"Permainan apa?" Meisya mengerutkan keningnya.
"Alah pura-pura enggak tau!" ledek Samuel sambil mengerlingkan sebelah matanya, Meisya hanya tersenyum merasakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.
"Mama, Papa, aku dapet coklat." Abraar berlari mendekati orang tuanya sambil membawa cokelat dengan bungkus berwarna ungu di tangannya.
"Wah ... sini Mama lihat dulu," pinta Meisya, Samuel menggandeng tangan Abraar dan mereka berjalan menuju parkiran, dengan seksama Meisya memeriksa bungkus cokelat itu mulai dari komposisi, informasi alergen hingga tanggal kedaluwarsa, Meisya adalah seorang ibu yang sangat cermat. Suami dan putranya sudah sangat hafal hal itu.
.
Meisya tersenyum saat Samuel mengecup punggung tangannya sementara sang putra tampak sedang menikmati cokelatnya di kursi belakang, meskipun sudah lama menikah tetapi sikap romantis sang suami tidak pernah berubah tetapi malah semakin menjadi-jadi, Samuel selalu bilang ingin menebus semua kesalahan yang ia lakukan saat awal pernikahan mereka dulu dan walaupun selalu bersikap romantis sepanjang waktu tetapi tetap saja semua itu tidak bisa menghilangkannya rasa bersalahnya begitu saja.
Selalu apa yang Samuel telah lakukan pada istrinya terasa kurang bagi lelaki itu.
Mobil yang tengah Samuel kendarai harus berhenti karena lampu merah, seketika di sekeliling mereka terlihat beberapa orang yang sibuk menjajakan dagangan ada juga beberapa pengamen dan orang-orang yang mengecat tubuh mereka dengan warna silver atau emas.
Samuel hanya sekilas melirik saat Meisya membuka jendela dan memanggil seseorang.
"Mbak, aku mau kerupuk udangnya dia bungkus, ya," ujar Meisya sambil mengambil selembar uang berwarna hijau dari dalam dompetnya.
"Silakan, Bu," jawab pedagang kerupuk udang yang selalu menjajakan dagangannya di lampu merah, Samuel menoleh saat mendengar suara itu.
"Ini uangnya." Meisya memberikan uang itu lalu terjadilah pertukaran antara uang dan kerupuk, Samuel masih memperhatikan sang pedagang yang dikenalnya.
"Kenapa, Kak?" tanya Meisya saat menyadari Samuel masih terus mengikuti gadis itu dengan pandangan meski ia telah menjauh, berpindah ke mobil lain untuk menawarkan kerupuk udang yang dibawanya menggunakan plastik besar seperti karung.
"Dia murid SMK yang magang di kantor, deh, kayaknya, baru tadi pagi mulai," jawab Samuel sambil melajukan mobilnya karena lampu merah telah berganti hijau.
"Wah, kalau benar, kasihan sekali dia. Pasti jualan kerupuk buat tambahan biaya sekolah," jawab Meisya, Samuel hanya mengangguk menanggapi ringan.
Lelaki itu diam, berkonsentrasi mengendarai mobilnya tetapi ada sesuatu yang mengusik hatinya.
Tentang Jenar.