Negosiasi

2221 Words
Setelah membersihkan diri di kamar mandi kampus Vario juga meminta Alex untuk membawakan pakaian ganti untuknya dan setelah itu Dia memutuskan untuk menemui sang rektor guna membicarakan perihal kelas bimbingannya, juga apa yang baru saja dia dapatkan sebagai sambutan dari para mahasiswa itu. "Aku yakin Bapak sudah tahu apa yang ingin aku sampaikan kali ini! Ini tidak lain dengan aksi kelas bimbinganku!" Ucap Vario membuka topik pembicaraan dengan sang rektor. Vario tahu dan yakin 100% jika sang rektor sudah mengetahui bagaimana sifat, karakter, perilaku para mahasiswa yang dia pegang saat ini. Meskipun kenakalan semacam ini memang kerap terjadi di beberapa universitas, tapi tentu ini tidak bisa dibiarkan secara terus-menerus atau berkepanjangan atau turun-temurun karena itu artinya satu kegagalan untuk sebuah nama besar Universitas. "Apa maksud Anda, nona Vega?" Tanya sang rektor seolah ingin menutup mata dengan apa yang baru saja berusaha Vario sindirkan untuknya. "Jangan berlaga tidak paham dengan kenakalan kelas spesial yang aku bimbing tiga minggu ini!" Ucap Vario masih dengan memfokuskan tatapannya pada wajah sang rektor universitas itu. "Sudah berapa banyak dosen yang menjadi korban kelas tersebut? Dan langkah apa saja yang kampus ini lakukan untuk mencegah generasi ke generasi kenakalan semacam ini? Dan sanksi apa saja yang pernah dikeluarkan kampus untuk para mahasiswa dengan kenakalan tingkat tinggi seperti ini?" Tanya Vario untuk satu hal yang sedari tadi mengganjal di otak dan pikirannya, tapi lihat saja rektor itu hanya tersenyum seolah meremehkan apa yang baru saja Vario tuturkan sebagai bentuk protesnya. "Kelas itu diberi nama kelas spesial karena mahasiswa dan mahasiswinya memang spesial!" Jawab sang rektor terlihat santai. "Jadi ini artinya belum ada sanksi apapun yang diberikan pada para mahasiswa di kelas special itu? Dengan begini Aku ingin menanyakan kredibilitas kampus megah ini? Prestasi apa yang telah kampus ini raih jika hal semacam ini masih berlanjut dari generasi ke generasi?" Tanya Vario dengan sangat berani. "Jangan mengajariku hal semacam ini. Kelas itu memang sudah menjadi kelas spesial karena para mahasiswa dan mahasiswi di kelas tersebut adalah mahasiswa di kalangan atas. Orang tua mereka merupakan investor di kampus ini. Jadi memberikan kelas sesuai keinginan mereka adalah hal yang memang harus kampus lakukan!" Jawab sang rektor yang justru terdengar semakin tidak masuk akal untuk seorang Vario yang berasal dari keluarga menengah ke bawah. Meskipun selama ini Vario tidak pernah merasa kekurangan sedikitpun materi tapi Vario berani mengatakan dirinya berasal dari kelas menengah bawah karena ayahnya hanya seorang pengangguran. Kenapa Vario berpikir ayahnya seorang pengangguran karena selama ini Vario tidak pernah melihat ayahnya pergi bekerja seperti kebanyakan para ayah-ayah lain di luar sana. Sesekali ayahnya memang bepergian ke luar kota tapi itu hanya untuk mengunjungi kerabat kerabatnya tidak lebih. Lalu dari mana sumber penghasilan Ayah Vario? Vario tidak pernah tahu, karena selama ini Karisma , ayahnya sudah menjadi seorang ayah yang sangat baik sekaligus ibu dan sahabatnya, maka hal yang sangat tidak adil jika dia menanyakan hal semacam ini karena takut menyinggung perasaan ayahnya, Karisma. "Oh jadi Anda ingin mengatakan jika sebuah gelar bisa didapatkan hanya dengan uang?" Kutip Vario menyimpulkan apa yang baru saja sang rektor ucapkan. "Bukan itu konsepnya Nona Vega,,," "Lalu apa?" Potong Vario buru-buru. "Oh bagaimana Indonesia sepuluh tahun kedepan jika mahasiswa yang diandalkan sebagai generasi cendekiawan malah mendapat pendidikan seperti ini? Dan aku yakin akan ada rektor-rektor selanjutnya yang berpikir sama seperti Anda dan itu harus dihentikan!" Tegas Vario dengan sangat berani, bahkan kali ini Vario sudah berdiri di hadapan sang rektor, meninggalkan segala rasa hormatnya kepada sang rektor karena ternyata cara berpikirnya bertentangan dengan apa yang saat ini Vario pikirkan. Vario dibesarkan di jalanan, dia sudah mengenal pergaulan bebas, banyak kenakalan atau yang bersifat kriminal di lingkungan masyarakat dan pendidikan tapi kali ini Vario mendapatkan satu kesimpulan jika ternyata tidak hanya pelajar yang bisa di diskriminasi tapi para pengajar juga. "Jaga batasan Anda Nona Vega! Ini tidak semudah mulut berbicara!" Tolak sang rektor lagi. "Berapa nominal sumbangan yang Anda butuhkan, agar aku punya kuasa atas mereka, klas spesial itu. Dalam artian aku ingin bebas memberikan materi dengan cara dan aturan aku sendiri. Seperti cara Anda yang memberi tempat spesial untuk mereka?" Tantang Vario dengan sangat berani. Bukankah saat ini dia seorang Vega K Dwayne? CEO muda dari tiga perusahaan raksasa dengan loga M, si jenius dan billionare, dan tentu uang bukanlah hal yang sulit untuk Vario berikan selama dia berganti peran dengan Vega K Dwayne, maka bolehkah dia membeli harga diri sang rektor itu hari ini, jika materi lah yang dia anggap berkuasa. "Jangan terlalu sombong Nona Vega. Sumbangan orang tua mereka bukan puluhan juta, tapi,,," "Apa segini cukup!" Potong Vario buru-buru setelah menulis satu lembar cek dengan dua belas digit angka nol di belakang angka dua lalu menyodorkan cek itu pada sang rektor sebagai bentuk negosiasi untuk satu keinginan Vario saat ini. Sang rektor memperhatikan lembaran cek itu lalu menghela nafas saat melihat loga M di kertas cek yang Vario berikan. Tentu rektor itu tau apa arti logo M di lembar khusus cek tersebut karena sebelumnya dia juga pernah mendapatkan sumbangan berupa cek seperti itu, dari salah satu investor dermawan yang bahkan waktu itu tidak mau menyebut namanya. "Siapa Anda sebenarnya?" Tanya sang rektor itu terlihat bingung, menatap manik mata Vario yang terlihat tajam dan menusuk. "Aku bukan siapa-siapa! Aku hanya anak dari seorang wanita yang di besarkan dengan pendidikan keras, dan seperti yang Anda ucapkan sebelumnya, aku tidak berhak mengajari Anda hal semacam ini, tapi inilah cara ku bernegosiasi. Aku bisa bernegosiasi dengan cara apapun selama apa yang aku inginkan bisa aku dapatkan. Dan sepertinya ini lah cara Anda ingin bernegosiasi dengan aku!" Jawab Vario lagi. "Jadi apa yang Anda inginkan?" Tanya sang rektor lagi. "Aku ingin mendapat kebebasan dalam memberi materi di klas itu. Aku ingin punya kuasa untuk mengeluarkan atau memberi sangsi pada mereka yang tidak patuh mengikuti materi klas dariku! Apa itu terlalu berlebihan?" Tegas Vario saat menumpukan kedua tangannya di atas meja dan menundukkan tubuhnya di hadapan sang rektor yang masih duduk di kursi meja kerjanya agar wajah mereka sejajar. "Oke. Aku akan memberikan kuasa itu pada Anda. Anggap ini sebagai jaminan. Aku akan mengembalikan cek ini jika Anda benar-benar bisa membuat klas spesial itu bisa lulus dan wisuda dengan nilai murni tahun ini! Namun jika sampai Anda gagal, maka itu artinya aku juga gagal, dan Anda tau resiko dari semua ini? Itu artinya aku dan Anda akan keluar dari universitas ini." Ucap sang rektor benar-benar mencoba menaruh harapan pada wanita yang belum genap satu bulan menjadi dosen di kampus itu, atas rekomendasi salah satu sahabatnya, yang juga merupakan investor di universitas merah putih. "DEAL." Jawab Vario lalu mengulurkan tangannya di hadapan sang rektor. "Aku mungkin tidak bisa membuat mereka lulus dengan nilai murni atau sempurna tapi aku akan usahakan membuat mereka tertib mengikuti mata kuliah yang lain!" Sambung Vario karena sejatinya dia tidak bisa melakukan ini sendiri. Harus ada dosen mata kuliah lain yang juga wajib membantunya dan ini adalah satu kerjasama tim antar para dosen dan Vario akan berusaha agar klas spesial itu mau bekerja sama untuk nilai mereka masing-masing. Tidak perlu dengan nilai cumlaude, tapi setidaknya ini murni nilai atas kerja keras mereka masing-masing, bukan nilai special seperti yang selama ini dosen berikan sukarela pada mereka. Setelah mendapatkan kesepakatan dengan sang rektor Vario akhirnya kembali ke klas itu, namun sayang saat Vario sampai di klas itu ternyata kelasnya sudah membubarkan diri meskipun jam mata kuliahnya masih tersisa sembilan puluh lima menit lagi. Tentu Vario tidak mau melewatkan aksi pembalasannya, maka saat dia mengetahui mahasiswa bimbingannya sedang bermain basket di halaman belakang kampus, Vario murka. Dan mulai saat itu juga Vario langsung melakukan penyerangan. Prinsip Vario, dia tidak akan menunggu karma yang bertindak, karena itu akan memakan waktu yang lama. Selama ini, dia sudah mandiri dengan segala aksi dan tindakannya, jika satu yang berbuat tidak baik padanya maka jangan menunggu karma membalaskan nya untukmu, sesekali lakukan secara manual, balas dengan cara yang sama dan jangan mau terus tertindas. Setelah aksi penyerangan di lapangan basket, kini para mahasiswa itu sudah kembali masuk ke klas mereka. Hanya Jupiter yang enggan untuk kembali masuk ke klas tersebut karena dia benar-benar tidak ingin di perintah oleh siapapun, termasuk oleh seorang wanita meskipun gelarnya saat ini adalah dosennya. "Klas ku seharusnya berlangsung seratus lima puluh menit, dan kalian membuat enam puluh menit berlalu dengan sia-sia, maka sangsinya klas akan aku tambah di pertemuan berikutnya, dan jika sekali lagi kalian membuat pesta penyambutan norak seperti tadi, akan ku buat kalian menyesal telah bertemu denganku!" Ucap Vario saat para mahasiswa itu terlihat duduk meskipun belum sepenuhnya tertib karena ada di antara mereka yang bahkan masih duduk di atas meja dengan pakaian yang berantakan seolah mereka bukan mahasiswa. "Kau,,," tunjuk Vario pada salah satu mahasiswa yang duduk di kursi paling depan. "Ambilkan daftar hadirnya!" Ucap Vario meminta mahasiswa itu untuk mengambil daftar hadir yang ada di mejanya. Vario masih belum yakin jika ruangan itu sudah benar-benar bersih dari serangan-serangan kotor yang dibuat oleh para mahasiswanya maka dari itu Vario harus benar-benar hati-hati saat ini atau resikonya dia akan kembali mendapat kejutan tidak menyenangkan itu. Mahasiswa itu bangkit dari duduknya lalu mengambil kertas yang berisi daftar hadir mahasiswanya, mengabsen satu persatu mereka seperti anak sekolahan karena Vario harus benar-benar mengenali mereka secara menyeluruh. Opan, Reyza, Destia, Noy Doris, hingga ke nama Jupiter, dan saat Vario membaca nama Jupiter, tidak ada jawaban dari penggilan itu. "Jupiter!" Panggil Vario lagi tapi tetap saja tidak ada jawaban atas panggilannya itu hingga membuat darah Vario kembali naik karena kesal dan marah. "Kemana Jupiter?" Tanya Vario pada para mahasiswa di sana tapi tak satupun dari mereka yang berniat untuk menjawabnya. "Apa tidak satupun dari kalian tau di mana Jupiter saat ini?" Tanya Vario lagi dengan menatap manik mata Reyza dengan tatapan mengintimidasi, tajam dan membunuh hingga Reyza terlihat menghela napas lalu menunjuk dengan dagunya ke arah pintu ruangan itu karena Jupiter sedang berdiri di antara pintu itu, dan Vario mengerti isyarat yang Reyza berikan padanya, namun enggan untuk menoleh ke belakang punggungnya, guna melihat sosok Jupiter yang baru saja dia sebut namanya lebih dari satu kali. Jupiter berjalan ke arah kursi yang dia duduki sebelumnya, dan berniat untuk duduk di sana dengan melewati Vario yang duduk di kursi meja paling depan, tanpa menyaut atau melirik ke arah Vario, sang dosennya. Dia benar-benar mengacuhkan dosennya, bahkan tak ada rasa hormat yang Jupiter tunjukan di sana, karena saat Vario berbalik untuk duduk di kursi meja kerjanya, Jupiter malah langsung menaikan kakinya ke atas meja di depannya lalu merebahkan tubuhnya untuk merileksasikan tubuh itu dari rasa penat dan muak. Ruangan itu terasa sangat sunyi, bahkan tak ada suara sedikitpun yang bisa Vario tangkap dengan indera pendengarannya, dan Vario menghela nafas sejenak untuk mengendalikan amarah dalam darahnya. Baru sehari dia menjadi dosen, tapi lihat , dia benar-benar menggunakan stok kesabaran yang selama ini dia kumpulkan untuk sampai di titik ini. Kembali Vario menghela nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya dengan sangat lembut berharap cara itu benar-benar bisa melonggarkan rasa muak dan rasa marah di dadanya. Vario memilih duduk pada kursi meja kerjanya lalu membuka tablet yang sebelumnya dia bawa, melirik ke arah tumpukan tepung dan cairan oli yang sebelumnya mengguyur tubuhnya, melihat dua buku materi yang sebelumnya juga dia bawa berserakan di lantai bercampur dengan cairan dan bubuk warna-warni tersebut. Kelas itu masih terasa tenang , bahkan ini terlalu tenang untuk ukuran kelas spesial yang jauh dari kata tenang, dan hal ini juga mengingatkan Vario dengan sederet aksi yang dulu pernah dia lakukan semasa menjadi seorang mahasiswa seperti mereka saat ini, jika klas yang biasanya gaduh, ribut dan bikin masalah, tiba-tiba tenang , maka itu artinya ada dua perkara! Satu, kelas itu sedang masa sadar atau yang kedua, kelas itu sedang menunggu atau merencanakan sesuatu yang kiranya akan membuat dia selaku dosen kembali celaka. "Oh sial." Ucap Vario dalam hati ketika menyadari jika dia tidak bisa mengangkat tubuhnya dari kursi yang saat ini dia duduki, dan Vario yakin jika dia sudah kembali masuk dalam jebakan para mahasiswanya. Tapi meski begitu Vario tetap terlihat tenang dari duduknya sambil membaca satu materi untuk dia jelaskan di depan para mahasiswanya. Ini adalah pengalaman pertama Vario menjadi seorang dosen pengajar dan dia tidak ingin jika dia sampai gagal di hari pertamanya. Dengan sangat santai Vario membuka laci di meja kerjanya, dan beruntung sekali Vario menemukan gunting kecil di laci itu. Vario buru-buru menggunting rok itu dari arah perut hingga ujung rok nya, hingga rok itu terbelah menjadi dua, lalu menarik dua ujung taplak meja di depannya dengan posisi menyerong untuk menutup tubuh bagian bawahnya karena roknya sudah terbuka sepenuhnya dan Vario tidak mengantisipasi hal ini akan terjadi. "Kalian boleh berpikir sudah mengalahkan ku, tapi aku bukan lawan yang mudah mengaku kalah dalam urusan apapun!" Batin Vario saat bangkit dari duduknya dengan rok yang menempel di kursi sementara saat ini dia sudah berganti rok dengan taplak meja. Cieaah,,, Terdengar suara decapan kecewa dari beberapa mahasiswa di ruangan itu, bagaimana tidak, mereka baru saja gagal membuat Vario menghentikan materi belajar kali ini. Vario tersenyum sinis ke arah papan tulis, karena menyadari kekecewaan para mahasiswanya karena gagalnya jebakan mereka bahkan kali ini terdengar ada bisik-bisik di belakang punggung Vario saat Vario menuliskan beberapa kata di depan papan tulis menggunakan spidol merah dan keheningan terjadi sepersekian detik lagi dan Vario fokus dengan indera pendengarannya juga pada spidol di tangannya. Duuk,,, Satu tembakan bola kasti dari sudut ruangan itu baru saja di lepaskan ke arah Vario, dan,,,,
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD