Penyihir Merah

1252 Words
Di sebuah kedai kecil yang padat pengunjung, seorang pria paruh baya, berlari luntang lantung ke salah satu meja dengan nafas yang memburu, menatap teman-temannya dengan misterius dan berkata lantang, "Apa kalian mendengarnya?" "Ada apa, mendengar apa?" "Seorang pemburu yang menghilang beberapa hari yang lalu setelah masuk ke Dark Forest sudah ditemukan." Pria pembawa berita menunduk dengan raut wajah penuh kengerian. "Kepalanya tidak ditemukan," bisiknya, namun suaranya masih bisa didengar oleh orang-orang di dalam kedai yang sempit itu. Tarikan nafas terkejut dan ketakutan terdengar di mana-mana. Kasak-kusuk mulai terjadi, beberapa orang mulai bergetar ketakutan sedangkan para wanita berlari pulang dengan panik. "Mengerikan sekali, ini adalah kematian kelima tahun ini." Pelayan dengan pakaian lusuh memeluk dirinya di dapur "B-bagaimana jika penyihir itu keluar dari Dark Forest? Apakah kita semua akan di bantai?" Gadis itu hampir menangis. "Ssttt jangan mengatakan hal yang mengundang kesialan." Pemilik toko yang merupakan pria paruh baya dengan perut gembul memukul meja dengan kipas jeraminya. "Ayo tutup tokonya, hari mulai gelap." Dia kemudian beranjak dan menghampiri tamu yang masih memadati kedainya. Mengusir tamu yang seharusnya di layani sebaik-baiknya memang terkesan tidak sopan, namun di sini, di desa terpencil yang berdampingan langsung dengan Dark Forest yang terkenal berbahaya, kondisi itu cukup wajar. Bagaimana tidak, penduduk yang masih bertahan di desa itu kurang dari 200 orang dengan hanya paling banyaknya 10 toko dan setiap tahun memiliki potensi untuk berkurang. Seorang pria dengan topi jerami yang menutupi wajahnya berjalan dengan tegap menyusuri jalanan sepi yang berdebu, rumah-rumah kosong yang di tinggalkan pemiliknya mulai bobrok dan berjamur. Matahari sore yang membias dari lubang-lubang gubuk itu seperti mata monster mengerikan yang menatap satu-satunya manusia yang berani berjalan di waktu menjelang petang itu. Tepat setelah matahari benar-benar menutup cahayanya, pria itu masuk ke dalam sebuah penginapan tua yang bahkan di beberapa bagiannya miring dan hampir roboh. "Sangat berani untuk keluar di waktu matahari hampir tenggelam, karena inilah aku tidak suka orang asing. Tidak tau aturan tapi jika terjadi masalah malah menuntut kami." Begitu dia masuk, pria tua yang menjaga pintu menggerutu sambil mengibas-ngibaskan tangannya agar pria yang baru saja datang itu cepat menutup pintu, lantera yang dibawa pria tua itu berkedip hampir padam ketika dia berbalik dan pergi dengan ketukan tongkatnya. Demien, pria berseragam hitam itu berjalan dalam kegelapan, melintasi lorong sempit ditemani decitan lantai yang terdengar seperti teriakan melengking di malam yang sepi. Hingga dia mencapai pintu di ujung koridor, Demien akhirnya menghentikan langkahnya, berdiri diam selama beberapa detik sebelum mengetuk pintu sebanyak tiga kali dengan irama yang teratur. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan menampakkan pria lain dengan seragam yang sama, namun dengan tubuh lebih pendek. Demien mengangguk sekali lalu masuk. di langkah ketiganya, dia berlutut, meletakkan tangannya di d**a sebelah kiri dan membungkuk dalam. "Aku kembali yang mulia," ujarnya penuh rasa hormat. Di hadapannya, duduk seorang pria muda dengan jubah brokat biru yang indah, rambut hitamnya tertata rapi, duduk dengan anggun membaca perkamen yang terbentang di meja persegi. "Kemarilah dan ceritakan berita apa saja yang kau temukan hari ini." Pria itu, eksistensi yang tidak akan penduduk desa itu sangka akan menginjakkan kaki di tanah terbuang mereka, Azure Brixton Van Seir Nine, seorang putra mahkota kerajaan timur. "Suatu kehormatan Yang Mulia." Demien berdiri tegap kemudian duduk di hadapan pria itu. Dia meletakkan pedang yang tersembunyi di pinggangnya kemudian mulai bercerita. "Kondisi desa ini lebih berbahaya daripada berita yang mencapai telinga kerajaan, paling sedikit setiap tahunnya tiga korban ditemukan dengan kondisi tak utuh, entah itu kepala, lengan, kaki ataupun hanya menyisakan kulit dan tulang. Setiap tahun korban terus bertambah dan tahun ini, hanya dalam lima bulan, lima korban telah jatuh. Kondisi terparah adalah korban ketiga tahun ini, yang tulang belulangnya masih mengguyurkan darah segar ditemukan tergantung di depan Dark Forest." Dia berhenti sejenak dan mengeluarkan beberapa lembar rambut hitam panjang yang terbungkus di dalam kain percah, helaian itu lengket dan menguarkan bau amis darah. Demien meletakkannya di ujung meja, tempat paling jauh dari jangkauan Pangeran Azure, takut bau darah yang kuat itu mengotori udara di sekitar Sang Putra Mahkota. "Rambut ini digenggam oleh pria yang di temukan tanpa kepala di pinggir sungai Dark forest." Azure menatap rambut berdarah itu dengan raut wajah yang tenang "Sejak kapan fenomena ini terjadi?" "Sejak 20 tahun yang lalu, Dark Forest awalnya bernama Mother Forest, hutan lebat yang menyediakan banyak pangan di dalamnya, penduduk desa pada masa itu menjadikan Dark Forest sebagai lahan berburu. Saat korban pertama jatuh, orang-orang berpikir bahwa korban pertama diSerang binatang buas dan tulang-belulangnya di temukan hancur di sebuah bukit, lalu hari berganti hari dan bulan berganti tahun, orang-orang yang menghilang di Dark forest semakin banyak dan puncaknya adalah ketika sekelompok pemburu juga menjadi korban, hingga pada akhirnya mereka sadar ada yang salah di dalam hutan itu. Namun rumor tentang penyihir, baru beredar 10 tahun yang lalu." Azure mengangkat alis, jemarinya memainkan gagang cangkir porselennya yang berlapis emas "Penyihir?" "Ya, Yang Mulia." Kali ini Demien mengeluarkan kertas dari lengan bajunya dan menyerahkannya pada Azure dengan kepala tertunduk. Azure meletakkan kertas itu di meja."Boo, siapkan air minum untuk Demien," perintahnya "Baik, Yang Mulia." Boo, pria berseragam hitam lainnya yang sejak tadi berdiri diam di sisi Azure membungkuk lalu beranjak dengan pelan, berharap decitan lantai tidak mengganggu percakapan kedua orang di meja. Azure perlahan membuka kertas yang sedikit kecoklatan itu. Di dalamnya dia melihat sosok tinggi bungkuk dengan gaun compang-camping, memakai topi runcing dan hidung panjang yang bengkok. Di tangannya, dia memegang tulang berdarah, di wajahnya ada kain merah darah yang menutupi matanya. Benar-benar tidak terlihat seperti manusia. "Orang-orang di desa menyebutnya The Red Witch." Demien menunjuk kain merah di mata sang penyihir. "Beberapa mengatakan bahwa jika kain ini terlepas dari mata si penyihir, bencana akan terjadi." Azure bersandar santai di kepalan tangannya. "Lalu apakah orang desa mengatakan bahwa penyihir inilah yang membunuh orang-orang?" Demien mengangguk. "Lalu..." Pangeran muda itu mengetukkan jarinya pada wajah pucat si penyihir. "Jika dia begitu berbahaya, dari mana semua berita tentangnya berasal?" Dengan kata lain, siapa orang panjang umur yang berhasil lolos dari si penyihir berbahaya ini, dan menyebarkan berita ke penduduk desa. "10 tahun yang lalu, Seorang anak berusia 12 tahun pulang dengan selamat dan menceritakan semuanya tentang penyihir merah ini," jawab Demien. Azure terkekeh pelan. "Luar biasa, mereka mempercayai semua perkataan seorang anak berusia 12 tahun. lalu bagaimana dengan anak itu? Dia seharusnya sudah dewasa sekarang." Demien menghela nafas dan menggeleng. "Dia memang keluar hidup-hidup dari Dark Forest namun dua hari kemudian dia tersandung dan jatuh ke dalam sungai dan kehilangan nyawanya. Orang-orang percaya itu adalah hukuman penyihir yang marah karena anak itu membongkar identitasnya." "Menarik." Azure tersenyum tipis dan beranjak, dia berjalan pelan ke arah jendela dan sebelum dia menggerakkan tangannya, Boo yang baru saja datang meletakkan air mineral di depan Demian lalu cepat berlari dan membukakan pintu jendela untuk Sang pangeran. Pemandangan di balik jendela adalah deretan pepohonan tinggi dari Dark Forest. "Bersiaplah, besok pagi kita menuju ke hutan itu." Azure memerintah tanpa menoleh, rambut gelap nan lebatnya mulai teracak diterpa angin. Demien dan Boo saling melirik "Yang Mulia, aku akan... Azure memotong ucapan Demien dengan lambaian tangannya. "Ini adalah tugas dari Ayahanda Raja, jika hal ini tidak bisa aku selesaikan, maka takhtaku akan terancam." Dia menautkan jari di belakang punggung. "Menantang bahaya atau kehilangan takhta, aku memilih poin pertama." Demien dan Boo kembali saling memandang rumit lalu menghela nafas tanpa suara "As you wish, Your Highness." Keduanya memberi hormat secara bersamaan. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD