Hari sudah menjelang malam saat taksi yang ditumpangi Cindra tiba di belakang rumah yang berpagar tembok tinggi. Melompat turun, ia lalu melambaikan tangan pada kamera pengawas yang terletak di atas sebuah pintu kecil besi berukir. Pintu yang diperuntukan khusus untuk karyawan rumah. Seketika pintu pun terbuka. Meski sebenarnya ia tidak dilarang untuk melalui pintu depan, tapi ia lebih suka melalui jalan belakang karena jaraknya yang lebih dekat dengan paviliun.
Dari kejauhan Cindra melihat sebuah mobil Van mewah terparkir di halaman. Ia mengerutkan kening. Seingatnya tidak ada jadwal kunjungan tamu hari ini. Karena memang Hari Minggu adalah hari bebas tamu keluarga Atmaja. Kecuali untuk kerabat dekat. Atau jangan-jangan yang datang itu memang kerabat keluarga?
Cindra tersenyum gembira. Kalau dugaannya itu benar, berarti ia akan benar-benar bebas menikmati sisa harinya semalaman tanpa diganggu Leo. Ia akan menonton Drama Korea sampai puas sambil ngemil keripik di dalam kamarnya. Dan ia juga akan chat-an dengan Andra. Ah! Baru sebentar berpisah ia sudah merasa kangen lagi. Cindra tersipu dalam hati.
Namun harapannya seketika sirna, saat dilihatnya Pangeran Leo sudah berada di dalam kamarnya. Duduk di atas kasur sambil menonton televisi dan menghabiskan keripik kentangnya.
"Ke mana aja, sih? Pergi gak bilang-bilang?" Sungut Leo kesal seraya beranjak dari duduknya. Kedua matanya menatap Cindra dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Cindra menghela nafasnya. Drama Koreanya kini berganti menjadi Drama Pangeran Leo dan Cinderella.
"Aku enggak perlu bilang, karena ini hari liburku. Aku mau ke mana juga hak aku. Kalau aku perginya di jam kerjaku baru kamu boleh marah-marah!" Sahut Cindra tak kalah kesal.
"Tapi kamu itu tinggal di rumahku. Berarti tanggung jawab aku juga. Aku mesti tahu kamu pergi ke mana dan sama siapa. Selama ini kan, kamu selalu kasih tahu aku?"
Cindra kembali menghela nafas. Biasanya ia memang selalu bilang jika bepergian ke luar rumah bersama teman-temannya. Bukan untuk meminta ijinnya, tapi agar Pengeran Leo tidak perlu repot-repot menelepon satu persatu temannya hanya untuk mengetahui keberadaannya. Dan ia pernah melakukan itu beberapa kali. Membuat teman-temannya pun kini ikut memanggilnya Cinderella.
Tapi kali ini ia tidak mungkin memberi tahukannya. Leo akan mengacaukannya kalau sampai tahu. Dua kali berpacaran, dua kali pula ia diputuskan kekasihnya tanpa alasan yang jelas tepat setelah ia mempertemukannya dengan Leo. Ia yakin Leo pasti mengancam mereka. Dasar pangeran sirik!
Dan kini ďia kembali curiga. Cindra berusaha untuk tetap tenang. "Aku kan, sudah dewasa, Leo. Kamu enggak perlu khawatir. Lihat! Aku pulang dalam keadaan baik-baik saja." Diputarnya tubuhnya di hadapan Leo. Memastikan padanya bahwa ia tak sedikit pun terluka.
"Kok, tumben pakai dress? Kamu punya pacar baru?"
Ah, sial! Rutuk Cindra menyadari pakaian feminim yang dikenakannya malah membuat Leo semakin curiga. "Acara ulang tahun, Leo..." Sahutnya lagi. Ditunggunya beberapa saat hingga Leo melepaskan tatapan matanya. Risih sekali rasanya diinterogasi seperti seorang penjahat. "Udah ya, interogasinya? Aku mau ganti baju. Kamu juga harus balik ke rumah, nanti dicariin Mami Papi. Lagi ada tamu, kan?"
Mendadak wajah Leo berubah. "Aku malas ketemu keluarga Om Delon. Anak-anaknya berisik!" Sungutnya sambil kembali duduk di atas kasur.
Pupus sudah harapan Cindra untuk melanjutkan 'me time' nya.
Dipandanginya wajah Leo yang cemberut. Ia pasti kesal sekali berada di sana. Om Delon adalah adik satu-satunya Papi Marlon. Dan Leo tidak menyukainya. Karena dia menganggap Om Delon telah memengaruhi Papi dan Mami untuk memaksanya mengambil studi bisnis di Amerika seperti dirinya. Karena Leo sudah harus di persiapkan untuk masuk ke dalam manajemen perusahaan keluarga mereka.
Tapi masalahnya Leo tidak menyukai bisnis. Katanya bisnis itu rumit dan membosankan. Ia lebih suka balapan mobil. Sejak kecil ia sudah bercita-cita menjadi seorang pembalap. Tapi Mami dan Papi tidak pernah mendukungnya. Apalagi Mami. Dia takut jika anak semata wayangnya itu akan mengalami kecelakaan. Jangankan balapan, bawa mobil sendiri saja dilarang. Karena memang Leo selalu saja mengendarai mobilnya dengan ngebut hingga beberapa kali ditilang polisi. Bahkan ia sudah beberapa kali menabrak trotoar jalan, pohon dan pagar rumah orang. Dan dia beralasan semua itu dilakukannya untuk menguji kekuatan mobilnya. Dasar cowok absurd.
Suara interkom yang tiba-tiba terdengar mengagetkan Cindra. Ia segera berlari mengangkatnya. Dan sesaat kemudian ia menutup telepon sambil tersenyum. "Ehm... Mami panggil kamu," ucapnya. "Cepetan! Mereka nungguin kamu," ucapnya lagi melihat Leo malah menjatuhkan tubuhnya di atas kasur sambil memeluk guling.
"Aaah!" Dengan kesal Leo pun membanting guling lalu beranjak bangun.
Cindra tak kuasa menahan senyum melihat Leo yang berjalan enggan keluar dari dalam kamar. Ia hampir saja bersorak kegirangan saat tiba-tiba Leo kembali masuk lalu menarik tangannya.
"Leo, kamu apa-apaan?" Cindra berusaha melepaskan tangannya. Tapi Leo sudah mengantisipasinya dengan cengkaraman tangannya yang kuat.
"Kamu harus bertanggung jawab!"
"Hah!" Cindra membelalakan mata.
"Udah, ikut sebentar aja. Ribet banget sih!"
Cindra tambah melongo. Ia tidak mengerti maksud Leo sama sekali. Apa yang direncanakannya dengan melibatkan dirinya? Tapi akhirnya ia hanya bisa pasrah mengikuti langkah Leo masuk ke dalam ruang keluarga. Tampak Mami Renata, Papi Marlon dan Om Delon beserta istri dan kedua anaknya tengah mengobrol santai.
"Cindra?" Mama yang tengah menyiapkan kopi dan makanan kecil di ruangan itu pun terkejut melihat kehadiran Cindra.
"Cindra mau ikut gabung juga?" Mami Renata menyambutnya dengan gembira.
Papi Marlon bahkan memintanya untuk bergabung bersama Leo. Dan Cindra hampir saja menurutinya saat tiba-tiba tangan Leo menariknya kembali.
"Cindra lagi minta tolong Leo, Pih. File tugas dari dosennya itu kena virus. Padahal harus diserahkan besok pagi. Jadi Cindra minta tolong Leo buat bantuin dia. Karena enggak akan kekejar waktunya kalau 'ngerjain sendirian."
Sambil membulatkan mata lebar-lebar Cindra menatap bingung wajah Leo. Tapi Leo bergeming. Wajahnya tampak serius. Ia bahkan tidak menoleh sama sekali padanya.
"Betul begitu, Cindra?" Mami Renata menatapnya dengan wajah iba.
Kini Leo menatap Cindra dengan tajam.
"Hmm... Iya... Mih," sahut Cindra dengan gugup lalu tertunduk sambil menahan geram karena Leo selalu saja memperalatnya. Ia bahkan tak berani memandang wajah ketiganya yang percaya begitu saja semua perkataan Leo. Diliriknya wajah Leo dari samping. Lihat saja nanti ia akan membalasnya, rutuknya di hati.
Dan setelah berpamitan, Leo kembali menarik tangan Cindra masuk ke dalam elevator menuju kamarnya.
Sambil tersenyum penuh kemenangan Leo menjatuhkan tubuhnya di atas sofa panjang. "Beres, kan?" Ucapnya tanpa rasa bersalah.
"Kamu kelewataaaan!!" Dengan geram Cindra meraih bantal sofa lalu memukuli Leo bertubi-tubi.
Tapi Leo malah tertawa senang. Ditariknya kembali tangan Cindra untuk duduk di sampingnya.
"Kamu mau beli apa? Pilih sendiri!" Ujarnya sambil membuka sebuah aplikasi belanja online langganannya. Ia selalu merasa uang bisa menebus segala kesalahannya.
"Enggak perlu!" Jawab Cindra ketus sambil beranjak bangun dari duduknya. Tapi sekali lagi tangan Leo kembali menariknya.
"Tunggu sampai Om Delon pulang!" Pintanya.
"Enggak bisa! Aku mau..."
Cindra tak jadi melanjutkan ucapannya. Karena kalau ia bilang alasan sebenarnya, Leo malah akan menganggapnya ingin bersenang-senang sendirian tanpanya. Dia kan, selalu iri dengan kebahagiaannya.
"Aku mau menyiapkan kuliah besok. Kamu juga kan, ada jadwal kuliah pagi?" Cindra berusaha tetap tenang.
Leo tak menjawab. Ia lalu mengendurkan cengkraman tangannya.
"Dan jadwal tugas kelompok sama teman-teman kamu di sini?"
Kini Leo melepaskan tangannya. Wajahnya kembali cemberut. Ia selalu saja tak bersemangat jika membicarakan kuliahnya.
"Leo..."
"Iya, aku tahu!" Sahutnya kesal sambil berjalan ke sudut ruangan dan meyalakannya konsol permainan online. Bermain game online adalah satu-satunya alternatif selain mengganggu hidupnya.
Ditunggunya beberapa saat hingga Leo larut dalam permainannya dan tak menyadari lagi keberadaannya. Lalu diam-diam Cindra pun melangkah keluar kamar.
Mama tengah duduk di atas kursi panjang sambil meluruskan kedua kakinya saat Cindra masuk ke dalam rumah.
"Maafin Cindra, Ma... Leo yang memaksa." Dipeluknya Mama lalu bersandar di bahunya.
Mama tersenyum. "Mama tahu..." Sahutnya, sambil membelai rambut Cindra.
Mama memang paling mengerti anaknya. Bahkan ia bisa berbicara dengan Mama hanya dengan tatapan mata. Kata Mama itu adalah bahasa kalbu. Dan hanya orang yang memiliki cinta yang tulus yang bisa melakukannya.
"Gimana kencannya tadi?"
Pertanyaan Mama membuat Cindra mengangkat wajah sambil tersipu. "Andra itu baik, Mah. Mandiri, enggak ribet, pintar dan menyenangkan."
"Hati-hati... kamu baru dua bulan dekat dengannya. Jangan mudah percaya begitu saja. Siapa tahu dia baik karena mengira kamu benar-benar keluarga Atmaja."
Cindra tersenyum. Ia mengerti kekhawatiran Mama. Mama tidak ingin ia kembali bernasib sama seperti dua hubungannya yang lalu. Tapi yang Mama tidak tahu, mereka memutuskannya karena Leo. Ia selalu jujur pada setiap lelaki yang mendekatinya, tapi Leo yang malah membuatnya seperti ia yang berdusta. "Enggak kok, Ma. Andra sudah tahu. Cindra udah jujur sama dia," jawabnya sambil mengusap-usap tangan wanita yang sangat dicintainya itu. Tangan yang kuat dan keras. Seperti kehidupan yang dijalaninya.
Mama memang jarang sekali beristirahat. Hanya di waktu tidur malamnya saja. Karena selama Mami Renata belum tidur, maka Mama pun tidak akan bisa beristirahat dengan tenang. Tapi Mama tidak pernah mengeluh sekali pun sangat lelah dengan pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktunya itu.
Ingin sekali rasanya ia menyelesaikan kuliah secepatnya agar bisa bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri. Ia akan mengajak Mama berjalan-jalan ke tempat-tempat yang disukainya. Hanya berduaan saja. Biar Mama bisa benar-benar menikmati liburan tanpa harus sibuk mengurus Mami Renata seperti yang selama ini dilakukannya saat mereka berlibur bersama.
Mami Renata memang sangat bergantung hidupnya pada Mama. Ia hampir tidak bisa melakukan apa pun tanpa Mama. Seperti Leo, yang tak pernah bisa jauh darinya. Entah sampai kapan ia harus menemaninya.