Sepatu Membawa Luka

1732 Words
Mama memandang Cindra dengan senyum penuh bangga. "Anak Mama cantik sekali," ucapnya membuat Cindra tersipu malu. "Sebentar lagi kamu akan menjadi wanita dewasa," ucapnya lagi seraya kembali merapikan riasan di wajah Cindra. "Cindra kan, memang sudah dewasa, Ma. Sudah sembilan belas tahun," sahut Cindra sambil memutar tubuhnya di depan cermin. Membuat gaun sifon panjang yang dikenakannya berkibar seperti tertiup angin. Mama tertawa kecil. "Sudah selesai. Sekarang kamu pakai sepatumu lalu temui Leo. Mungkin dia sudah menunggu." Cindra pun mengeluarkan sepasang sepatu berhak tinggi yang masih baru dari dalam kotaknya. Sepatu berwarna pink keemasan itu merupakan hadiah ulang tahun dari Mami Renata tahun lalu yang belum pernah dipakainya. Sambil tersenyum Cindra mengenakan sepatu itu, lalu dicobanya untuk berdiri tegak, tapi tiba-tiba saja ia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya mendadak limbung lalu jatuh tanpa bisa dikendalikannya. Untung saja Mama dengan sigap berhasil menahan separuh tubuhnya sambil menahan tawa. "Huuuh!" Cindra melempar sepatu itu dengan kesal. "Cindra?!" Mama menatap Cindra dengan mata melotot. "Lain kali aja deh, Ma pakainya. Cindra latihan dulu. Sekarang pakai sepatu Cindra yang biasa aja," pintanya memelas. Tapi Mama menggeleng. "Sudah hampir satu tahun kamu biarkan sepatu itu di dalam kotaknya tanpa pernah kamu pakai. Hargai orang yang memberinya, Cindra. Sepatu itu mahal sekali. Hampir separuh gaji Mama." "Tapi ini terlalu tinggi, Cindra enggak bisa, Ma..." Mama menghela nafasnya. "Cindra, kamu harus percaya diri. Kamu harus berdiri dengan proporsional, kalau tidak tubuhmu tidak akan seimbang," ucapnya seraya mengulurkan kembali sepatu itu pada Cindra. "Dan lagi pula gaun kamu itu memang harus dikenakan dengan sepatu berhak tinggi, karena terlalu panjang. Bisa keserimpet kalau kamu pakai sepatu datar," sambung Mama lagi. Dan akhirnya setelah dua puluh menit berlatih, Cindra pun bisa berdiri dengan tegak di atas sepatunya. Lalu dengan bersusah payah melangkah ke Istana Atmaja. Menunggu pangeran kodok keluar dari dalam kamarnya. Leo baru saja akan menuruni anak tangga saat dilihatnya Cindra berdiri dengan anggunnya di tengah ruangan. Di bawah gemerlap lampu kristal yang menyala. Lama ia tertegun memandanginya. Ia memang jarang sekali melihat Cindra berpenampilan feminim dengan riasan wajah dan rambut yang ditata sangat serasi. Ia benar-benar seperti Putri Cinderella yang tengah menunggu pangerannya. Diam-diam Leo mengambil gambar Cindra dengan kamera ponselnya. Cindra mengatur nafasnya. Ia merasa lelah sekali harus menahan tubuhnya agar seimbang. Untung saja Mami Renata belum pulang. Kalau tidak, ia pasti akan me... "Cindra?!" Tiba-tiba Mami Renata sudah berdiri di hadapannya dan menatapnya dengan takjub. Dan Papi Marlon yang tengah sibuk berbicara di ponsel pun ikut mengacungkan jempol sambil melempar senyum. Ternyata mereka baru saja pulang. "Kamu cantik sekali!" Mami Renata menghampiri Cindra. Menyentuh wajah, gaun dan rambutnya yang ditata bergelombang oleh Mama. Cindra mendadak canggung. "Makasih, Mi... Cindra pakai sepatu dari Mami..." Cindra mengangkat sedikit ujung gaunnya dan memperlihatkan sepatu yang dipakainya itu. Wajah Mami Renata pun semakin terkejut. "Mami sudah menduganya sepatu itu akan indah di kakimu. Karena setiap sepatu akan menemukan sendiri pemiliknya. Dan akan menjadi sempurna saat ia sudah menemukan pemiliknya yang tepat." "Hmm..." Cindra mengerutkan kedua alisnya, mencoba untuk mengerti kata-kata Mami Renata. Namun akhirnya ia hanya bisa tersenyum tanpa tahu harus berkata apa. Ia memang sering tidak mengerti dengan ucapan Mami yang selalu menganggap baju, sepatu dan tas mahal itu punya jiwa, dan hanya akan sempurna saat menemukan orang yang sempurna. Cindra hanya mengerti semua akan terlihat sempurna saat kita mampu membelinya. Begitu kata Mama. "Leo, kamu ke sini. Mami mau foto kalian berdua," pinta Mami saat melihat Leo menuruni anak tangga. "Mami tidak menyangka kalian sudah sebesar ini. Kalian sangat serasi," ucapnya lagi lalu mengambil gambar keduanya. ... Sambil menggandeng erat tangan Leo, Cindra masuk ke dalam hotel mewah itu. Mengikuti langkah Leo yang berhati-hati. Ia memang sudah mewanti-wanti Leo untuk selalu menggandengnya saat berjalan. Dan dia tidak boleh meninggalkannya. Atau ia akan pulang sendirian. Di Ballroom besar itu nuansa kemewahan sangat kental terasa. Seluruh ruangan dipenuhi hiasan dan ornamen berwarna pink dan emas. Dan ternyata acara sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Ah! Gara-gara sepatunya, mereka jadi terlambat. Tapi sepertinya Leo tak perduli. Ia tidak memarahinya. Karena sebenarnya Leo memang tidak menyukai pesta dalam bentuk apa pun. Ia menghadirinya karena yang berulang tahun adalah teman perempuan satu kelasnya, Sherry. Setelah berbasa-basi menyapa teman-temannya, dan memberi ucapan pada Sherry, mereka pun diantar untuk duduk di sebuah meja bundar dengan empat kursi yang ditata elegan untuk jamuan makan malam. Beberapa teman Leo sudah duduk di sana dan menyambut mereka dengan ramah. Dan tak lama kemudian sekelompok teman wanitanya yang berpenampilan bak selebriti memintanya untuk bergabung bersama di meja mereka. Tapi Leo menolaknya. Entah apa yang dikatakannya, tapi dari gerak-gerik mereka yang kerap mencuri pandang ke arahnya, ia yakin Leo memakai dirinya sebagai alasan. Teman-teman Leo memang sudah tahu semua mengenai dirinya. Biarpun Leo selalu mengenalkannya sebagai adik, tapi mereka tetap menganggapnya sebagai 'Cinderella' yang menumpang hidup di rumahnya dan harus pulang sebelum tengah malam, atau ia akan berubah menjadi upik abu. Tapi ia tak pernah marah atau tersinggung. Karena memang itulah kenyataannya. Andaikan saja mereka tahu betapa inginnya ia pergi meninggalkan pangeran kodok yang mereka kagumi itu. Cindra tersenyum geli saat membayangkan dirinya menjadi Cinderalla sungguhan. Ia memang sering membayangkan itu sejak tinggal dalam Istana Atmaja. Dan ia benar-benar berharap suatu saat nanti seorang pangeran tampan berkuda putih akan datang menjemputnya pergi dari istana itu. Karena Cindra tak perlu istana. Ia hanya butuh pangeran yang mencintainya sebagai Cindra Estella, bukan Cindra Atmaja. Suara musik yang lembut dari permainan piano salah seorang teman Leo menemani santapan makan malam. Ah, tiba-tiba saja Cindra teringat Andra. Ia merasa sangat bersalah. Harusnya mereka juga tengah menikmati makan malam bersama saat ini. Tapi Andra memang laki-laki dewasa. Ia bisa menerima alasannya, dan menggantinya dengan besok malam. Cindra tersenyum. Ia semakin mencintai Andra. "Kenapa senyum-senyum? Suka ya, aku ajak ke sini?" Ternyata Leo memperhatikannya sejak tadi. "Ge-er!" Cindra mencebikan kedua bibirnya. "Habis ini kita pulang," bisik Leo di telinga Cindra. "Memangnya acaranya sudah selesai?" Bisik Cindra juga. Leo menggeleng. Dan Cindra pun tak bertanya lagi. Dan saat jamuan makan malam selesai suara piano yang lembut tiba-tiba berganti dengan sebuah suara merdu seorang wanita yang bernyanyi diiringi musik dari grup band teman-teman Leo. Sherry keluar dari balik panggung dengan mikrofon di tangannya. Ah, sempurna sekali wanita itu. Cantik, kaya raya dan pintar bernyanyi, gumam Cindra di hati. Tapi kenapa Leo mengajaknya pulang? Dan saat Leo akan menggandeng tangannya untuk beranjak dari kursi, tiba-tiba terdengar suara Sherry dari mikrofon yang memanggil nama Leonardo Marlon Atmaja dan memintanya untuk naik ke atas panggung. Seketika keriuhan pun pecah. Mereka menyoraki Leo untuk segera naik ke atas panggung. Dan kini Cindra mengerti alasan Leo mengajaknya pulang. Leo menatap Cindra sesaat dengan wajah yang menahan kekesalan. Dan Cindra pun berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawa dan menunjukan rasa empati mendalam. Dengan senyum yang dipaksakan Leo pun akhirnya naik ke atas panggung. Dan Cindra pun tak bisa lagi menahan tawa saat Sherry meminta Leo untuk bernyanyi bersamanya. Dan tawanya baru berhenti saat kedua mata Leo memandangnya dari jauh. Ia tahu Leo pasti benci sekali dengan teman-teman yang 'mengerjai' nya itu. Karena Leo tidak bisa bernyanyi. Ia hanya sering mendengarnya bersenandung di kamar mandi. Dengan hati berdegup kencang Cindra memandangi Leo yang mulai mengeluarkan suara. Sesaat kemudian keriuhan terjadi. Dan tak berapa lama, suasana menjadi hening saat lagu melankolis yang dibawakan keduanya terdengar begitu indah. Cindra berdiri dengan tertegun. Tak percaya apa yang dilihat dan didengarnya. Suara Leo terdengar begitu merdu. Sejak kapan ia bisa bernyanyi? Mengapa ia tak pernah mengetahuinya? Rasa terkejut bercampur takjub memenuhi hati Cindra. Ia terus menatapnya hingga lagu selesai dan Leo turun dari atas panggung dengan terburu-buru. Tak digubrisnya teriakan teman-temannya yang memintanya untuk kembali bernyanyi. Dan Cindra masih memandanginya dengan tatapan tak percaya saat Leo kemudian menarik tangannya dan mengajaknya pulang. "Kenapa? Enggak percaya aku bisa nyanyi?" Tanya Leo sesaat mereka masuk ke dalam mobil. Cindra menggeleng. "Sejak kapan? Kok, aku enggak tahu?" Tanyanya sungguh-sungguh. "Waktu kecil kan, kita sering nyanyi bareng?" Sahut Leo. "Ya, tapi waktu itu kan suara kamu enggak bagus, sama kayak suara aku?!" Sahut Cindra membuat Leo tertawa. "Ya, karena dulu aku sengaja ngimbangin suara sumbang kamu," jawab Leo dengan cueknya. "Jadi dari kecil kamu sebenarnya bisa nyanyi bagus? Kok, bisa?" Leo mengangkat kedua bahunya. "Mungkin bakat," sahutnya. "Bakat dari mana?" Cindra mengerutkan keningnya. Seingatnya tidak ada keluarga Leo yang suka bernyanyi. "Bakat dari tetangga rumah kita yang penyanyi itu." Leo pun tergelak. Dan Cindra lalu mencubitnya dengan gemas. "Kamu benar-benar suka ya, lihat aku nyanyi?" Tanya Leo lagi melihat Cindra yang masih memandanginya. Cindra mengangguk. "Nyanyi lagi dong, Leo buat aku," pintanya dengan wajah memohon yang meluluhkan hati Leo. Dan ia pun mulai menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal Cindra. Lagu yang selalu diputarnya setiap malam sebelum tidur. "Sign of The Times" nya Harry Styles. Dan kini, Leo tertegun saat mendapati tatapan mata Cindra yang berbinar. Dibiarkannya mata indah itu menatapnya. Ia tidak ingin mengganggunya. Karena baru kali inilah ia melihat sesuatu dalam mata itu. Yang membuat hatinya tiba-tiba menjadi hangat. "Oh, maaf!" Ucap Cindra saat disadarinya suara itu sudah berhenti dan wajah itu tersenyum padanya. "Gak pa-pa. Aku tahu kamu kagum sama aku," ucap Leo, kembali dalam mode cueknya. Cindra tertawa. "Kali ini aku gak bisa bohong. Tapi suara kamu memang bagus. Kalau Mami Renata tahu..." Tiba-tiba Leo menutup mulut Cindra. "Kalau Mami sampai tahu aku enggak akan mau nyanyi lagi," ancamnya sambil melotot. Membuat Cindra langsung mengangguk. Ah, betapa bangganya Mami Renata seandainya tahu Leo bisa bernyanyi. Dia pasti akan langsung diminta bernyanyi di hadapan teman-teman Mami. Oh, jangan-jangan itu yang ditakutkan Leo? Cindra memandang Leo yang sudah kembali sibuk dengan ponselnya. Ia pun Lalu menyandarkan kepalanya di kursi, dan mencoba memejamkan mata. Makan malam tadi membuat kedua matanya sangat mengantuk. Leo menoleh dengan terkejut saat dirasakan bahunya mendadak berat. Ternyata kepala Cindra jatuh tepat di bahunya dengan wajah terlelap. Ditatapnya sesaat wajah itu, lalu ditekannya tombol kursi hingga Cindra dapat berbaring nyaman. Dan ia kembali menatap wajahnya. Lalu tersenyum saat melihat sepatu pink keemasan berhak tinggi yang dikenakannya. Ia tahu, betapa sulitnya Cindra memakai sepatu itu. Ia bahkan beberapa kali hampir terjatuh saat menggandengnya tadi. Perlahan Leo membuka kedua sepatu itu dari kaki Cindra. Namun sesaat kemudian ia tertegun. Dipandanginya bekas kemerahan dan luka lecet di sepanjang jemari dan tumit kakinya yang mungil. Perlahan diusapnya kedua kaki yang terluka itu. Matanya tiba-tiba saja berair. Dari kaca spion di atasnya Pak Toto tersenyum melihat Leo yang menghapus air matanya sambil mengusap-usap kedua kaki Cindra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD