Kang Mukhlis ternyata orangnya baik, dia memintaku menginap karena hari sudah petang. Lelaki itu tinggal bersama satu anaknya, Syahid Nurrahman. Isterinya meninggal ketika Syahid masih kecil, sejak itu Kang Mukhlis belum menikah lagi. Dari cerita Syahid yang berumur sepuluh tahun itu, ayahnya disegani di desa Cahaya, jawara desa Cahaya. Segala hal yang berhubungan dengan keamanan, Kang Mukhlislah ketuanya. Rumahnya nomor tiga setelah melewati gerbang cahaya.
Kang Mukhlis bercerita sedikit tentang Geng Sar, kelima gembong perusuh yang mencegatku kemarin. Geng Sar, lima orang; Sarjito, Sarman, Sartono, Sarino, Sariman. Orang-orang yang tidak punya kerjaan, lahir di desa Cahaya dan mengacau pula.
Aku menceritakan maksud kedatanganku ke desa Cahaya, Kang Mukhlis antusias mendengarkan bahwa aku akan melamar menjadi guru di sini. Tapi, face milik Syahid terlihat bingung, dia diam saja hanya seolah hendak berkata, tapi bibirnya terus-terus menerus diam dan diam.
”Kalau begitu, kau berangkat saja ke sekolah Cahaya bersama Syahid,” Kang Mukhlis tersenyum, Syahid telah rapi memakai baju sekolahnya.
”Boleh,” aku juga belum tahu arah jalannya.
”Tapi kita sarapan dulu,” Kang Mukhlis mengangkat kedua alisnya. Kami makan dengan lauk telur bebek. Mereka beternak bebek dan menjual telurnya. Aku makan dengan lahap, sudah lama aku tidak makan telur, penuh gizi, di tambah sayur daun singkong kesukaanku. Kang Mukhlis pintar memasak, aku berkata padanya agar mengajariku memasak suatu hari.
”Jika kau nanti belum punya tempat tinggal, tinggallah bersama kami. Aku akan mengajarimu memasak juga.”
Aku tersenyum. Inikah rasanya memiliki keluarga? Selama lima tahun setelah kipergian Kakek, rasanya ada keluarga, seolah rasa susah di metropolitan hilang tanpa bekas. Kemarin aku masih berjalan membawa map merah, keliling kota, aku masih mengambil barang-barang bekas, mencari di antara tumpukan sampah. Ah! Inilah hidup, terbolak-balik sekehendak-Nya.
Saat Kang Mukhlis masih mengurusi bebek-bebeknya, mengumpulkan dan membersihkan telur-telur untuk dijual, bebeknya mungkin sekitar ratusan jumlahnya, aku berangkat bersama Syahid ke SD Negeri Cahaya, naik sepeda jengki milik Kang Mukhlis, Syahid kubonceng. Tak lupa, Kang Mukhlis meminjamiku baju dan celana, aku tak malu ke sekolah.
Jalanannya meliuk-liuk, batu-batunya besar dan terjal, aku harus memilih tempat menggelindingkan ban secara tepat. Kadang sesekali aku kehilangan keseimbangan, hampir jatuh, ban melindas batu agak besar. Kaki menahan agar tak jatuh. Kulihat Syahid, dia mengeleng sambil tersenyum.
”Maafkan Kakak ya, Kakak lama tidak naik sepeda,” bukan hanya lama, mungkin hanya belajar sekali sewaktu diajari Kakek dulu, itu pun sepeda pinjaman. Tapi dari senyuman Syahid yang sambil memiringkan kepalanya ke kanan, dia maklum. Anak yang baik.
Jalanan kala pagi, segar. Beberapa anak-anak sekolah yang lain membalap kami, ngebut di jalanan terjal seperti ini. Dan semakin banyak yang menyalip kami dan menyenggol kami, kemudi oleng. Kakiku menahan sepeda, hampir jatuh lagi. Anak-anak tak tahu diri, mereka sengaja memepet-mepet. Beberapa anak berpakaian putih merah berjalan menyusuri jalanan ke arah timur seperti kami.
Tapi, kami melaju kembali, kabut tipis terlihat putih demikian indah. Beburung jumpalitan di antara dahan, kadang pindah di kabel listrik yang lurus satu jalur saja. Syahid selalu menyapa orang yang kami lewati; baik yang sedang menyapu, membersihkan cangkulnya, memanjat pohon kelapa. Masyarakat desa Cahaya terlihat ramah.
Tapi, desa ini terlihat sedikit kumuh. Sampah berceceran di mana-mana, trotoar tanah itu penuh dengan sampah dan rumput tinggi, dan kenapa rata-rata rumah, bunga yang berada di depan rumah mereka hanya sebatas bunga pembiaran, atau sejenis bunga yang tumbuh begitu saja. Tidak adakah penyuluhan kesehatan di sini?
Seekor monyet tampak bergelantungan di antara pepohonan, berkejaran dengan sepasang tupai yang tengah memadu cinta. Monyet pengganggu rupanya, daerah ini masih sedikit alami. Luar biasa desa Cahaya.
”Desamu dahsyat, ya?”
”Tentu saja.”
Aku tersenyum, memandang langit dan mengayuh semakin cepat. Kau tahu, Kawan, aku bisa mengayuh sepeda lebih baik dari tadi, sekarang keseimbanganku mulai terjaga. Karena, aku belajar lebih cepat.
”Apakah Kak Arif telah menimbangkan matang-matang?”
”Menimbang untuk apa, Hid?” aku menunggu kalimatnya.
”Menjadi guru di sekolah Cahaya.”
”Tentu saja! Memangnya kenapa?”
”Di sini tidak seperti sekolah pada umumnya, di desa Cahaya ini...”
”Tidak apa-apa,” aku memotongnya cepat. Jika itu alasannya, tidak masalah bagiku, ”Aku akan berusaha sebaik-baiknya, di kota dan di desa bagiku tak ada bedanya. Malah, aku betah dengan keadaan desa ini.”
”Baiklah, kita lihat saja nanti.”
Tantangan pertamaku di desa Cahaya, kudapatkan dari anak kecil berumur sepuluh tahun bernama Syahid Nurrahman. Pasti akan banyak lagi tantangan-tantangan berikutnya, dan aku harus menyiapkan piranti-piranti antisipasi.
”Berhenti!”
Aku berhenti mengayuh.
”Kita telah sampai.”
Mataku mengedar heran. Kulihat sepeda ditata acak-acakkan di bawah gubuk panjang, tempat parkir ini mirip seperti tempat menaruh batu bata, atapnya adalah anyaman daun kelapa. Berbeda dengan kelas-kelas sekolah, disana sudah menggunakan genting walau tak karuan warnanya, memudar. Mataku takjub tak terperikan. Benar-benar dahsyat! Desa Cahaya memang penuh dengan kejutan. Entahlah aku kehabisan kata untuk mengungkapkan ketakjubanku.
Kawan, ini luar biasa.
Bangunan di depanku tua, sangat tua. Cat luntur habis-habisan, hingga warnanya berbeda-beda, kelas terdiri dari enam kelas, rumput ilalang tinggi di depannya. Lapangan kecil di depan kelas-kelas yang bentuknya L, hanya saja di antaranya ada celah untuk lewat, mobil pun bisa lewat di celah yang dibentuk kedua bangunan kelas itu.
Satu bangunan berdiri di samping kelas, saru ruang saja tetapi lebih lebar dari kelas. Kau tahu, Kawan, gentingnya sempurna habis. Rontok ke bawah hampir seluruhnya, itu bukan mirip bangunan, tapi kandang kambing atau sapi. Corat-coretan memenuhi semua temboknya, jendelanya telah pecah semua kacanya. Corat-coretan tidak hanya dengan kapur atau spidol, tapi juga dengan daun-daunan semacam daun jati yang berwarna merah, atau lumpur basah yang dicipratkan ke tembok.
Tidak di situ saja, di bagian utara sekolah yang kupandang, isinya adalah hutan dan pepohonan rindang, tinggi rendah pohon menjulang menimbulkan sedikit kegelapan dan nuansa seram. Di sebelah timurnya, terletak lapangan sepak bola, luas dan ladang terlihat hingga ke sebelah selatannya. Antara selatan dan barat terlihat seperti danau yang luas, bukan... Itu hanya sungai yang lebar. Mungkin tercipta untuk mengaliri sawah atau sumber air di desa ini?
”Kenapa, Kak?”
”Syahid, sungguh dahsyat!” kalimat itu keluar begitu saja. Tak pernah kuduga ada tempat seperti ini dalam anganku. Seumur hidupku banyak dihabiskan di rumah-rumah yang berjejalan. Seperti fatamorgana, arizona baru, sss Cahaya.
”Banyak yang lebih dahsyat dari ini semua, Kak. Kau akan mengetahuinya nanti, tergantung kau bertahan atau tidak. Kemarin guru gendut, baru saja mengundurkan diri menjadi guru, padahal baru seminggu di sini. Katanya hendak pindah ke kota.”
Guru gendut? Apakah yang melemparku dengan brosur yang menuntunku ke sini kemarin?
Tidak peduli, Kawan.
Seorang wanita berjilbab sedang menuntun beberapa siswa-siswi dari arah selatan. Pakaiannya berwarna coklat, tapi sangat-sangat muda coklatnya. Dia pasti seorang guru, wajahnya yang manis membuatku sejenak tersihir. Langkahnya seolah menghentikan dunia untuk beberapa detik.
Kau tahu, Kawan, detakan jantungku terasa lebih cepat. Matanya lentik, seperti buah anggur ungu sewaktu matang, padahal jarak kami sangat jauh. Tapi, mata itu, oh Tuhan, indah nian seperti seluruh taman di dunia ini terkumpul di matanya. Setiap geraknya, seolah mematikan semesta, detak berhenti, aliran menghambat, denyut melambat, api mereda, dan mataku terpaku.
Seorang anak kecil berlari dari arah belakang wanita anggun itu, begitu cepat dan menabrak kuat wanita anggun itu, hingga cekalan tangannya pada kepala siswi yang dituntunnya terlepas.
”Angga!” wanita itu berteriak sambil menggelengkan kepalanya. Lihatlah, Kawan, gelengan kepalanya, senyumnya, sungguh, itulah senyum wanita anggun yang sesungguhnya.
”Ayo, Kak!” Syahid menggoncang-goncangkan tanganku. Lamunanku buyar, wajahku bolak-balik seperti pisang goreng, yang dibolak-balik di wajan penggorengan.
”Ada apa...ada apa!” huff! Kesadaranku kembali.
Syahid menuntun tanganku menuju sekolah negeri satu-satunya di desa Cahaya ini.
”Desamu memang dahsyat, Hid!”