Wajahnya Mirip Ustadz

2396 Words
Aku menyerahkan surat lamaran yang telah kugubah tadi malam di rumah Kang Mukhlis, sekalian aku menyerahkan sebuah amplop surat, yang harus kusampaikan dari Kang Mukhlis untuk kepala sekolah. Pak Danu Ramajasa, dialah kepala Sekolah Dasar Negeri Cahaya. Orangnya telah tua dan berkacamata teramat tebal kurasa, atau aku terlalu berlebihan... Kumisnya tebal, dan wajahnya teramat tirus, kurus tubuhnya bahkan terlihat sangat kurus seperti orang sebulan tak makan. Tapi, dari sorot matanya, kau tahu Kawan, matanya seperti mata seorang bayi, ada harapan yang tersimpan di dalamnya. Pak Danu membuka amplop itu, aku duduk diam saja. Dikeluarkannya kertas terlipat di dalamnya, dibukanya pelan di hadapanku. Tulisan itu sedikit tembus, tidak banyak baris dalam kertas itu, tapi tak mungkin aku bisa membacanya. Pak Danu kusyuk membacanya, sambil sesekali menggerak-gerakkan kacamata super tebalnya, sesekali pula melirik padaku seolah memastikan sesuatu, lalu kembali lagi menekuri kertas itu. ”Baiklah, kamu diterima.” Begitu mudahnya, lunas setelah membaca surat itu. Aku jadi penasaran apa isinya? Tapi biarlah, mungkin suatu saat nanti aku tahu. ”Tapi Pak Arif, gaji sebagai guru di sekolah ini tidaklah besar. Lima ratus ribu perbulannya. Kuharap kau tidak keberatan, jika kau telah betah dan bisa lebih dari tiga bulan, gajimu akan dinaikkan.” ”Bapak tidak perlu memikirkan itu, tentang gaji saya tidak terlalu memperhitungkannya,” benar, Kawan, ini jawaban jujur dariku. Karena, aku merasa telah menemukan jiwaku di sini. Pak Danu berdiri, ”Akan kukenalkan dengan guru-guru yang lainnya. Ayo.” Aku berdiri mengikutinya keluar dari ruangannya, ruangan kepala sekolah teramat kecil dan dipenuhi dengan buku-buku yang ditata di rak, sepertinya arsip-arsip, hingga terlihat semakin sempit. Keluar ruangan itu, tiga orang guru tengah duduk di kursinya masing-masing. Dua wanita dan satu pria, mereka semua tersenyum padaku. Begitupun aku, ”Ini guru baru di sini, namanya Arif Maulana,” dia memperkenalkan aku lebih dulu pada mereka bertiga. Pak Danu memperkenalkan mereka satu persatu, dari wanita pertama, berambut lurus pendek sebahu. Namanya Ria Katsirawati, guru kelas satu dan dua, senyumnya simetris. Sopan. Pak Danu kembali menunjuk, ke arah sebelahnya, wanita bermata lentik anggur ungu. Tuhan, jantung berdetak lebih kencang saat mataku berjarak dekat dengannya, tidak sejauh tadi. Kawan, satu pelajaran kudapatkan saat ini, ’Ternyata ketika wanita dilihat dari dekat, keindahannya semakin bertambah!’ ”Namanya Bu Siska, Siska Wulandari,” aduhai! Dia melihatku sekilas lalu menekuri kembali buku-buku yang bertumpuk di depannya, kukira pasti tugas-tugas para siswa. Senyumnya teramat kecil, tercipta di ujungnya saja, mungkin hanya satu atau dua milimeter. Tapi cukup membuatku tergetar. Siska, adalah guru untuk kelas lima dan enam, tapi sering kewalahan, karena pastilah semakin besar anak sekolah dasar di kelas terakhir, tergambar bandel-bandel. Yang terakhir, namanya Yusuf Manshur. Namanya tak beda jauh dari wajahnya, tampan, walau wajahnya terlihat lugu dan polos. Bukan itu pula yang membuatku tertarik, jenggotnya terjuntai tipis, tapi terlihat semakin tampan. Rambutnya rapi di belah sedikit pinggir dari tengah. Senyumnya tampak meneduhkan. Pak Yusuf berdiri dan menyalamiku, ”Senang bisa bekerja sama.” ”Sama-sama.” Pak Yusuf dipercaya, setidaknya untuk memberikan kepadaku training awal. Hari ini aku belum mengajar, tapi mulai besok. Terlalu cepat bagiku, padahal setahunan aku melamar pekerjaan di Ibukota, tak satu pun menerima kertas lamaranku. Di sini, desa Cahaya kawan, hari ini melamar besok mulai bekerja. Kawan, tolonglah, bagaimana dunia dapat berkata. Aku lulusan Fakultas Ekonomi, menjadi guru? Di mana jalurnya? Tapi, aku cukup lega kawan. Karena, Bu Ria Katsirawati adalah lulusan SMA, desa ini kekurangan sumber daya manusia. Bu Siska, si mata lentik anggur ungu itu adalah lulusan PGSD, sedangkan Pak Yusuf adalah lulusan SMA. Sebenarnya secara standar, Sekolah Dasar Negeri Cahaya, guru yang mengajar minimal harus enam, tiap kelas satu orang wali murid. Itulah alasan kenapa aku diterima langsung, karena banyak guru telah datang dan pergi, silih berganti, tidak kerasan di desa Cahaya, begitulah cerita Yusuf kala mengantarku berkeliling di Sekolah Cahaya. ”Anda, Bu Siska dan Ria. Sudah berapa lama menjadi guru di sini?” ”Kami belum lama sebenarnya, mungkin tiga tahunan. Kami bertiga berjarak sedikit, aku empat tahun, Bu Siska sudah tiga tahun dan Bu Ria juga tiga tahun. Kalau Pak Danu, dia..., ah! Sudahlah.” ”Lalu, kenapa kalian bisa betah bertahan di sini? Pak Yusuf menatap hutan belantara di arah utara, dia membelakangiku. ”Karena aku, Bu Siska dan Bu Ria adalah anak desa ini. Dan, begitu pun Pak Danu. Pak Danu pun ingin mengundurkan diri sebenarnya, tapi dia tidak tega melihat sekolah ini mati.” Aku terdiam, jadi ini sebenarnya kenapa guru-guru di Sekolah ini muda-muda, orang tua hanyalah Pak Danu. Ada rahasia apa yang disimpan di Sekolah ini, apa yang disimpan desa ini sebenarnya, hingga seolah jiwaku terpanggil ke sini, dan ingin bermuara labuhnya kapal. Aku turut menatap hutan di sebelah utara sekolah, sejajar dengan berdirinya Yusuf. ”Aku pun tidak yakin kau akan betah di sini, Pak Arif.” Tegas, lunas, singkat. Aku menengok ke arahnya, aku tersenyum. Kita lihat saja nanti Pak Yusuf, semuanya tak akan terbukti jika belum dijalani. Aku semakin penasaran. Akan ada petualangan seru pastinya. Oya Kawan, ketika aku melihat wajah Pak Yusuf. Persepsimu akan pasti sama denganku, lelaki itu memiliki wajah seorang ustadz. Bicaranya pun seperti ustadz, lembut dan fasih, dia pasti pintar mengaji. Aku yakin itu. Dendang Suara Terindah Selama aku belum memiliki tempat menetap, aku menetap di rumah Kang Mukhlis. Dia dengan senang hati menampungku. Tapi, aku tahu diri, aku menahan Kang Mukhlis memasak, dan aku memasak bersama Syahid. Syahid dan aku memecahkan tiga telur, menggorengnya menjadi telur mata sapi. Aromanya semerbak, menggoda air ludah yang hampir menetes. Aku dan Syahid memasak dengan seru, Kang Mukhlis tersenyum ke arah kami sambil memberi makan bebek-bebeknya. Aku tahu arti senyum itu, sama seperti senyum Kakekku saat menatapku dulu. Senyum, bahagia dan doa agar orang yang ditatapnya menjadi yang terbaik. Aku mengusap rambut Syahid, ah! Nasibnya kurang lebih sama denganku. Dia tersenyum menatapku, kami selanjutnya memasak sayur kesukaan Kang Mukhlis, sayur bung. Malam itu malam jumat, setelah makan sehabis shalat Isya’. Kang Mukhlis mengajari Syahid silat, aku ikut serta sekalian berlatih silat pula pada Kang Mukhlis. Siapa tahu berguna suatu saat. Sediakan payung sebelum hujan, berlatih sebelum bertanding. Kami berlatih di lapangan SD Negeri Cahaya, suasana terang bulan menunjukkan tanggal 12 walau tak sempurna penuh, tetapi cahayanya cukup terang terlihat. Mulai dengan pemanasan, gerakan peregangan awal, mulai dari tangan, kepala sampai kaki. Lemas dan enak terasa, keringat mulai menyembul. ”Pasang kuda-kuda!” Syahid langsung sedikit menurunkan tinggi tubuhnya, kedua kakinya menginjak kuat tanah, dan kedua tangannya mengepal di pinggangnya. Aku mengikutinya saja, lama, Kang Mukhlis juga melakukan hal sama di depan kami. Kakiku kesemutan, pegal rasanya. ”Aduh!” aku terjatuh, Syahid menendang mata kaki kananku, tanpa persiapan aku terjatuh. Syahid tersenyum. Matanya terangkat ke atas semua, seolah menantang. Kang Mukhlis membantuku berdiri, lalu mengajariku posisi kuda-kuda yang menurutnya kuat. Aku mengikutinya, posisi sejajar kedua telapak kaki amat menentukan kekuatan pijakan dan kokohnya persiapan p*********n. Jaraknya juga tidak boleh terlalu dekat atau terlalu jauh, tekukan lutut juga harus membentuk 75 derajat. Ah, seperti perhitungan matematika saja. Setelah dirasa cukup, gerakan-gerakan dasar diperagakan. Aku menirukan. Gerakan Kang Mukhis cekatan, mengajari kami teknik-teknik dasar melumpuhkan, bertahan, melukai, melepaskan diri, hingga refleks yang sering terjadi ketika berkelahi. Yang paling penting katanya, adalah tekun berlatih. Aku dan Syahid manggut-manggut. Bintang yang tak seberapa terlihat tertutup cahaya rembulan yang terang, memerhatikan kami yang kelelahan dan terduduk beristirahat di dekat tiang gawang, yang terbuat dari bambu betung; bambu betung memang kuat serta bentuknya besar, biasanya digunakan untuk membuat ’bom bambu’ atau ’long’, juga untuk penyangga jemuran, atau dibuat jembatan bambu karena warnanya hitam mengilat dan halus. Kang Mukhlis dan Syahid asyik berbincang tentang masa depan Syahid. Mereka sedikit ribut. Kang Mukhlis ingin agar anaknya itu menjadi tentara, polisi atau mungkin pejabat. Tapi, Syahid ingin menjadi arsitektur, atau dokter, atau penulis katanya. Ah! Tak kompak. Dalam keributan itu aku menatap bulan, seolah wajah Kakek tersenyum di sana. Aku ingat Kakek, dia tidak pernah menyarankan aku untuk menjadi apa pun ketika kelak merenda masa depan. Dia sangat percaya padaku, ”Jadi apa pun asalkan kau suka,” katanya. Duhai Kakek. Semakin malam, jangkrik-jangkrik membunyikan rik-riknya dari sayap-sayapnya yang bergetar. Beberapa suara musik terdengar jelas dari arah timur, tidak hanya satu. Pastilah anak-anak muda yang menyetel radio atau tape-nya. ”Ayo pulang.” Kang Mukhlis berdiri mendekati sepeda dan menegakkannya. Kami berangkat tadi berjalan kaki walaupun dengan sepeda, karena tak muat untuk tiga orang. Kakiku berjalan agak pincang, tak pernah tahu-tahunya belajar silat. Kang Mukhlis dan Syahid tertawa melihatku berjalan pincang. ”Kalian duluan saja, saya ingin jalan-jalan sebentar.” ”Tidak takut kesasar, Kak?” Aku mengangkat jempolku pada Syahid, mengedipkan satu mataku. Kau tak tahu, aku telah lama menyusuri lorong yang lebih padat dari lorong mana pun, sudah kukelilingi ibukota negeri ini. g**g-g**g tersempit di seluruh penjuru Indonesia, rumah-rumah padat dan kelokan semeter menjadi jalan. Kau belum mengerti, wajah kecil yang teramat polos. Mereka pulang, mengendarai sepeda, lampu sorotnya lumayan terang kala dikayuh demikian cepat dan disetel dinamonya. Desa yang teduh, tapi mungkin nama desa ini belum cocok dengan keadaannya. Lihatlah, Kawan, semuanya masih terlihat gelap, cahaya di setiap rumah redup. Di sini belum ada listrik, hanya ada diesel dari salah seorang penduduk dan disalurkan. Tiap lampunya lima ribu perbulan, itupun hanya hidup dari sore hingga paginya. Desa Cahaya, angin dingin berhembus menerpa rambutku. Terlihat bintang jatuh, teramat indah. Kata Kakekku jika ada bintang jatuh pertanda ada golongan setan yang mencuri dengar pembicaraan Tuhan Semesta Alam. Pasti sekarang setan itu sedang dikejar habis-habisan dan lari terbirit-b***t. Kulebarkan kedua tanganku menyamping, aku bersyukur pada-Mu Allah. Aku belum pernah menemukan tempat yang begitu sejuk seperti ini di seluruh penggal hidupku. Telingaku mendengar bisik-bisik suara, lamat-lamat masih bisa kudengar. Kutajamkan dan semakin kutajamkan. Semakin lama, suara itu mendekatiku, aku semakin merunduk dari tempat dudukku. Dua orang tepatnya, berjalan teramat pelan. Aku jadi penasaran, dan mereka melewatiku sekitar lima meter. Mereka tak melihatku. Mereka berjalan ke arah sekolah, mengendap-endap, mencurigakan. Aku mengikuti mereka, mereka berdua mendekati sebuah rumah yang berada di belakang sekolah. Rumah bercat hijau, mereka menuju rumah itu. Mengendap di tembok sampingnya. Salah satu dari mereka merunduk, satunya naik di pundaknya. Mereka mau membuka jendela kecil di tembok di atas mereka. ”Kalian sedang apa!” aku berjalan mendekati mereka. Lelaki yang berada di bawah kaget dan berlari, seorang yang masih di atas terjatuh. Aku berusaha lebih cepat, tapi kakiku masih sakit. Lelaki yang terjatuh berdiri lagi dan terbirit-b***t melarikan diri. Kakiku sakit, sampai di rumah itu kedua orang itu telah menghilang. Aku kelelahan. Dua orang keluar dari rumah itu, masih gelap, aku tak bisa mengenalinya. Tapi, salah satunya masih kecil. ”Pak Arif. Kenapa malam-malam begini?” Aku menghirup napas, samar terlihat sorot cahaya dari rumah di seberang jalan. Wajah wanita itu? Ya, sepertinya aku mengenalnya. Samar, dan benar dugaanku, dia si jelita lentik bermata anggur ungu. Aku gelagapan. ”Ma..maaf, tadi ada dua orang yang mengendap-endap di sini. Aku menegur mereka, dan mereka lari.” ”Mereka lagi rupanya,” Bu Siska mengalihkan wajahnya dariku. Mereka lagi? ”Maksud Bu Siska mereka lagi siapa?” ”Geng Sar.” Geng Sar lagi? ”Sebaiknya Anda segera pulang, Pak, kau belum banyak tahu tentang desa ini,” tanpa reaksi lagi, Bu Siska langsung masuk beserta anak kecil itu ke dalam rumah. Saat kakiku mulai melangkah pergi, sebuah suara kriut membuatku terhenti dan menoleh ke belakang. ”Oya Pak, berhati-hatilah esok dengan para siswa,” matanya yang lentik menolehku sejenak, samar, ”banyak yang telah mengundurkan diri, sangat banyak!” dan menutup pintu kembali. Aku berbalik, tersenyum, mengundurkan diri. Aku heran tentang misteri Geng Sar, penasaran, tetapi akhirnya aku pulang. Menurut Kang Mukhlis, sedari dulu Geng Sar selalu meneliti rumah Bu Siska. Bu Siska bahkan sudah menyuruh mereka menggeledah rumah itu, tapi mereka tak menemukan apa yang mereka cari. Tapi mereka yakin, Bu Siska menyembunyikan apa yang sedang mereka cari. Kang Mukhlis juga tak tahu apa itu, tapi semua ini bermula dari Mbah Mustaqim, kakek Bu Siska, pemimpin pertama kelompok yang pindah ke desa Cahaya ini ketika membuka hutan, dan akhirnya desa Cahaya inilah jadinya. Menarik! Kawan, jika kau melihat hal-hal unik dan aneh. Bisa dipastikan pikiran kita sama, kita ingin menjadi penyelidik. Malam itu aku susah tidur, aku berpikir keras. Geng Sar mencari sesuatu dari Bu Siska? Apa itu? Kenapa berhubungan dengan mendiang kakek Bu Siska yang menjadi pemimpin pertama desa Cahaya. Ini pasti hanya rahasia kecil, akhirnya mataku terpejam, biarlah pendam mimpi mengendapkannya. Kakiku juga masih pegal. ”Ayo ke masjid?” Kang Mukhlis membangunkanku, pagi sudah menjelang rupanya. Syahid berdiri di belakang Ayahnya, memakai peci. ”Aku di rumah saja, Pak. Badanku pegal-pegal.” Sesudah shalat, kakiku lumayan sembuh tapi masih senut-senut, akhirnya aku keluar rumah. Kebiasaanku sewaktu kuliah dulu kuulangi, jalan pagi-pagi, maraton. Bertelanjang kaki, rasanya ngilu menapak di batu-batu besar nan terjal. Akhirnya hanya pelan-pelan ku melangkah. Aku ingin mengitari desa Cahaya, setidaknya sebatas sekolah dan lewat jalur memutar di sebelah utara. Kabut terlihat temaram, lampu-lampu yang samar menerawang bagai sinar-sinar putih yang memburam. Kelebatan kalong, kelelawar dan sebangsanya, menyingsing menyambut pagi. Udara desa Cahaya, tidak pagi, siang atau malam, semuanya sejuk dan segar. Di pojok sekolah itu, kakiku terhenti. Sebuah rumah bercat hijau, di belakang sekolah dekat tempatku berdiri. Rumah yang diincar Geng Sar tadi malam. Dan bukanlah karena hanya misteri itu aku berhenti, ada tembang yang begitu syahdu mengetuk hatiku. Saat dendang itu mengalun dari oktafnya, dari rimanya, dari jedanya semuanya sunyi. Suara itu teramat merdu, seperti suara jernihnya air danau yang belum dijamah polusi. Tak kedap yang menghambatnya, sungguh bersih dan fasih. Alam terdiam, seolah isi dunia hanya terisi suara dendangan itu. Tubuhku lengkap terdiam, hatiku kuat tergetar. Kau tahu kawan, dendang apa itu? Suara wanita yang lembut tengah membaca Kitabullah. Halus menyusup ke dalam jiwaku terdalam. Walau jujur, aku tak bisa membaca al-Qur`an, Kakek dulu pernah mengajariku hanya sebatas hafalan huruf-hurufnya saja. Alif Laam Raa. Tilka aayaatul kitaa bilmubiin. Innaa anzalnaahu qur`aanan ’arabiyyal la’allkum ta’qiluun. (Alif Laam Raa. Ini adalah ayat-ayat Kitab (al-Qur`an) yang nyata (dari Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur`an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya). Kawan, walau aku belum bisa mengaji, tapi, dadaku bergetar. Selama ini, dalam pikiranku hanya sains, ilmu pengetahuan, motivasi-motivasi konvensional. Tapi, berhadapan dengan ayat-ayat Allah, hatiku tergetar. Aku tak tahu maksudnya ayat-ayat itu, tapi getaran dendang itu bagaikan mengajakku menyelam dalam palung lautan, mengajakku meraba kedalaman hatiku. Dan pagi beranjak menggantikan peran malam. Siluetnya mulai terlihat dari balik pepohonan tinggi di sebelah timur. Indah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD