Pagi hari Serra terbangun. Dia diam berusaha mengumpulkan nyawa. Menatap ke kiri dan kanan seperti orang linglung.
"Apa aku ketiduran?" Tiba-tiba matanya terbuka. Serra mengingat jelas kemarin dirinya masih dalam perjalanan pulang dengan Max. Dia sangat mengantuk karena beberapa hari bekerja lembur, berpikir memejamkan mata sesaat sebelum sampai rumah, tapi tidak disangka dirinya baru bangun keesokan paginya.
"Jadi apakah dia yang menggendong ku ke kamar?" Terlihat seulas senyum di bibir Serra ketika membayangkan hal itu. Namun ekspresinya tak bertahan lama karena sedetik kemudian raut wajahnya menjadi gusar ketika memikirkan Max saat ini.
Serra berlari dari kamarnya ke lantai satu mencari Bi Yuna. Tampak Bi Yuna yang sedang membersihkan piring dari meja makan.
"Nyonya sudah bangun?" sapa Bi Yuna.
Namun Serra seolah tidak mendengarnya. "Max sudah pergi?"
"Tuan berangkat sepuluh menit yang lalu. Apa Nyonya membutuhkan sesuatu?" tanya Bi Yuna.
"Tidak," Serra kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri kemudian turun ke meja makan.
"Bi Yuna, apa Max menitipkan pesan atau sesuatu?"
Bi Yuna yang sedang membuka wadah selai pun menahan tangannya. "Sepertinya tidak. Setelah turun Tuan sarapan kemudian langsung berangkat."
Mendengar ini Serra semakin cemas. "Apa dia terlihat marah?" Ini kedua kalinya dia tertidur saat Max pulang. Biasanya belum pernah terjadi. Jadi khawatir Max akan marah.
"Tuan terlihat seperti biasa. Sepertinya dalam suasana hati yang terkontrol. Apa Nyonya melakukan kesalahan sehingga bertanya seperti itu?"
"Ha-ha ... Tentu saja tidak. Aku hanya khawatir dia dalam suasana hati yang buruk." Tidak mungkin bagi Serra mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi tidak dapat dipungkiri Serra sangat bersyukur jika Max tidak marah padanya.
"Bi Yuna, aku berangkat ke kantor dulu," Serra mengambil satu lagi roti panggang kemudian membungkusnya dengan tisu.
"Hati-hati Nyonya!"
"Kamu juga Bi Yuna,"
Dengan mengenakan blouse putih, rok berwarna cream serta dasi yang senada membuatnya terlihat elegan. Terlebih saat ini dengan mengikat rambutnya dia terlihat seperti wanita karir yang sempurna.
Serra naik ke dalam mobil, memutar kontak dan bersiap menginjak pedal gas. Namun tiba-tiba datang sebuah telepon dari Direktur Johan, perwakilan Blue Diamond.
Dua hari lalu mereka sudah sempat bicara dan telah membuat janji dua hari kemudian untuk bertemu. Selain membahas beberapa detail, juga untuk menerima laporan juga data yang dibutuhkan.
" ... Baik, jam sebelas. Saya mengerti." Serra menutup telepon. Memegang setir kemudi sambil memandang lurus ke depan lalu menarik nafas cukup panjang.
Harusnya pertemuan dilakukan jam sembilan. Tapi karena satu dan lain hal Direktur Johan ingin pertemuan diundur dua jam.
Itu bukan masalah. Serra hanya perlu reservasi ulang.
"Sudah! Aku akan pergi ke kantor," ucap Serra. Rencananya pagi ini dia akan langsung menuju restoran violet karena khawatir akan terlambat. Tapi karena pertemuan diundur dua jam, jadi Serra akan ke kantor saja melihat apa yang dapat ia lakukan di sana.
Saat sampai di kantor Serra langsung ke divisinya lalu duduk di kubikelnya. Melihat junior-juniornya yang begitu sibuk hingga tak menyadari keberadaannya, dia penasaran dengan apa yang mereka bahas.
"Apa mereka membicarakan Max lagi?" Semakin dekat Serra semakin yakin dengan dugaannya. Mendengar mereka terus menyebut nama Max membuat Serra memutar mata jengah.
Tidak adakah hal lain yang lebih penting untuk dibahas? Kenapa setiap hari selalu membahas suaminya, keluh Serra terlihat dari ekspresinya.
"Sebenarnya apa lagi yang begitu menarik tentang Max?" gumam Serra. Tidak dipungkiri dia juga penasaran, jadi mengintip diam-diam. Saat melihat apa yang mereka lihat, Serra tersentak hingga mulutnya membeku.
"Dari mana mereka mendapat foto itu?"
Itu adalah foto dirinya saat membeli minuman dan akan masuk ke dalam mobil Max.
"Eh Kak Serra, kau sudah datang?" Feronika mengangkat wajahnya lalu membalikkan badan. Cindy dan yang lain pun dengan kompak memutar kepala saat mengetahui Serra datang.
"Kak Serra, bukankah kau ada janji?" tanya Cindy.
"Pertemuannya diundur dua jam. Jadi aku datang ke sini karena tidak ada yang dapat dilakukan."
"Sementara itu, apa yang kalian lakukan? Bukannya bekerja malah bergosip. Ingin dimarahi Pak Denny?" Serra bicara sambil kembali ke tempatnya.
Cindy, Feronika dan yang lain pun mau tidak mau membubarkan diri dan kembali ke kubikel masing-masing.
"Cindy, tapi tidakkah kau merasa sosok wanita ini mirip dengan Kak Serra?" bisik Feronika sambil melihat secara bergantian Serra dan foto di ponselnya.
Cindy ikut memperhatikan Serra. Kemudian matanya yang penuh rasa kepo itu bergerak secara teratur.
"Sepertinya tidak mungkin! Pasti hanya kebetulan saja."
...
Jam sebelas Serra pergi bertemu dengan Direktur Johan untuk menerima data dan laporan yang akan dijadikan bahan. Namun alih-alih bertemu dengannya langsung, Direktur Johan hanya mengirim sekretarisnya.
"Direktur meminta maaf karena tidak bisa hadir secara langsung. Kebetulan Direktur ada hal penting yang harus dilakukan."
Serra tersenyum kecut mendengar kalimat sekretaris ini. Dia tahu sekretaris hanya melakukan apa yang diperintah atasnya, tapi apa yang dilakukan Direktur Johan benar-benar tidak menganggap Starlight sebagai rekan kerja sama yang setara.
"Itu bukan masalah. Kami sebelumnya sudah membicarakan detailnya melalui telepon. Sekarang yang terpenting adalah data dan laporan yang dibutuhkan."
"Saya membawanya. Silakan Anda memeriksanya," ucap Sekretaris Gian sambil menyodorkan berkas dari tasnya.
Serra memeriksanya beberapa kali, ada catatan primer akun-akun, dokumen ringkasan-ringkasan dan laporan-laporan rekonsiliasi dan beberapa data informasi lain.
Setelah memastikannya lengkap Serra memasukkannya ke dalam tas. "Oke, saya sudah menerimanya. Saya akan menghubungi kembali dalam beberapa hari."
Serra tidak menyentuh minumannya dan langsung pergi dari sana. Sikap Direktur Johan yang seperti meremehkannya membuat Serra dalam suasana hati yang buruk. Namun anggap saja hal ini tidak pernah terjadi, semua demi kelancaran pekerjaannya.
Dalam perjalanan Serra merasa perutnya keroncongan. Dia lupa pagi ini hanya beberapa potong roti dan di restoran tidak makan apapun. Ini sudah waktu makan siang, dia tak bisa lagi menahan rasa lapar.
"Entah kenapa aku malah memilih tempat ini dari sekian banyak cafe." Serra berniat menyalakan kembali mobilnya untuk pergi, tapi suara perutnya membuatnya berpikir dua kali sebelum masuk ke dalam sana.
"Hanya makan saja kan? Lagi pula kenangan yang sudah berlalu tidak mungkin datang kembali," gumam Serra kemudian turun dari mobilnya.
Serra masuk ke cafe itu yang sudah sangat lama tak dia datangi. Dahulu dia sangat sering datang ke sini dengan ayah, ibu dan juga Reina. Juga menjadi tempat yang penuh kenangan dengan beberapa orang penting dalam hidupnya.
Namun sekarang ayah dan ibunya sudah meninggal. Reina ada di rumah sakit, sedang mereka yang telah pergi tidak akan pernah datang ke tempat ini lagi.
Serra masuk ke dalam dan mencari meja yang kosong. Dia ingat sekali tempat yang selalu menjadi tempat favoritnya, itu berada di dekat kolam dan dekat juga dengan taman. Namun saat akan memilihnya, tempat itu sekarang ditempati oleh seseorang.
"Permisi, boleh kita bertukar tempat? Saya ingin duduk di sini."
"Maaf, tapi tempat ini adalah milik saya dan teman saya setiap kami datang ke sini. Jadi kamu harus mencari meja lain." Pria itu perlahan mengangkat wajahnya untuk menatap Serra. Saat matanya yang coklat bertatapan dengan mata hazel milik Serra, dia sontak bangun dan menjatuhkan majalah yang semula di tangannya.
Begitu pula Serra. Melihat sosok pria di depannya, dia mundur satu langkah karena tercengang.
"Serra!"
"Nikolas!"