12. Kotak Hadiah

1010 Words
Serra sekarang berada di rumah sakit. Beberapa hari ini dia sangat sibuk hingga tak punya waktu untuk datang menjenguk Reina. Hari ini, meski harus bekerja dia masih punya waktu satu jam sebelum berangkat ke kantor. "Dokter Carl, bagaimana keadaan Reina?" tanya Serra setelah dokter memeriksa keadaan Reina. "Sangat baik. Kondisinya terus membaik belakangan ini. Saya berharap Nona Reina menunjukkan perkembangan yang lebih baik, hal itu mungkin dapat meningkatkan persentase kesembuhannya." Seketika Serra memandang Reina yang terbaring dengan selang infus menancap di tubuhnya. Air matanya menetes melihat Reina yang terlihat kurus dan menyedihkan. Padahal Reina dulu adalah gadis yang ceria dan selalu membawa kehangatan di manapun dia berada. Tapi setelah divonis menderita penyakit jantung koroner, jangankan tertawa, untuk bangun saja dia tidak mampu melakukannya. "Rei, Kakak akan menyembuhkanmu bagaimana pun caranya. Kakak tidak punya siapapun lagi selain kau. Jadi bertahanlah!" Serra menggenggam tangan Reina dengan emosional. Andai Reina bisa mendengarnya, dia ingin bicara panjang lebar dan mengatakan betapa dirinya sangat merindukannya. "Nona Serra, bukankah Anda harus pergi bekerja? Anda akan telat jika masih di sini." Serra langsung melihat ke arah jam dinding mendengar ucapan Dokter Carl. Tidak terasa sudah cukup lama berada di rumah sakit. Sekarang dia harus pergi untuk bekerja. "Rei, Kakak pergi dulu ya. Kakak akan datang saat ada waktu." Serra mengelus kepala Reina kemudian beranjak dari tempatnya. "Dokter Carl, tolong jaga Reina." "Saya akan menjaga dan merawat Nona Reina. Anda bisa serahkan pada saya." Setelah itu Serra meninggalkan rumah sakit pergi menuju kantor. Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan empat puluh km/ jam dan sampai di depan kantor tiga puluh menit kemudian. "Kak Serra! Kak Serra!" Cindy berseru seperti anak kecil begitu melihat kedatangannya. Di tangannya membawa sebuah kotak kado yang berukuran cukup besar. "Kenapa ada kado di sini? Siapa yang ulang tahun?" tanya Serra. Cindy dan yang lain diam. "Ini bukan kado. Ada seseorang yang mengirimnya ke sini untukmu." "Apa?" Serra tertegun sejenak sambil menatap kotak tersebut. "Dari siapa?" tanyanya. "Tidak tahu. Tidak ada nama pengirimnya. Bagaimana jika kau membukanya," kata Cindy yang langsung diangguki teman kerja lainnya. "..." "Aku sudah membawa gunting. Serra, gunakan ini untuk membukanya." Lilya datang dari belakang dan sangat bersemangat untuk melihat kadonya. Serra menjadi ragu. Dia yang akan menggunting pita kembali berhenti. "Ah, bagaimana jika ada orang iseng yang ingin mengerjai ku? Aku tak mau membukanya." Lilya menahan tangan Serra yang akan melepaskan gunting itu. "Ayolah Serra, tidak mungkin ada orang yang begitu tidak punya kerjaan. Bahkan jika ini orang iseng, tidak mungkin isinya adalah bom. Jadi cepat buka dan jangan buat yang lain penasaran." Serra tetap bergeming. Matanya berkedut samar lalu melirik Lilya, "Bagaimana jika kau saja yang membukanya?" "Ck ... Kau ini benar-benar. Baiklah, aku saja yang membukanya." Lilya memegang gunting dan menghadap kotak kado. Dia terlihat begitu yakin saat menggerakkan gunting, tapi saat akan memotong pita, tangannya mendadak berhenti. "Kak Lilya, cepat buka kadonya." Cindy bersorak. Namun Lilya masih diam dengan keraguannya. "Bagaimana jika isinya tikus? Bagaimana jika isinya ulat, kecoa?" Lilya bergidik geli membayangkan hal ini. Dia lalu menarik Cindy dan memaksanya menggantikan dirinya. "Cindy, kau saja yang buka." Cindy tercengang. Serra yang ada di belakang menertawakannya. "Ku pikir kau berani, ternyata sama saja." Lilya hanya tersenyum sambil menggaruk tengkuk kepalanya yang tak gatal. "Sudah terbuka!" Feronika dan yang lain berseru cukup kencang saat Cindy membuka kotak kadonya. Mereka berkerumun dan menjadi sangat antusias. "Wah, bukankah ini sepatu keluaran terbaru yang belum tersedia di dalam negeri?" "Benar-benar. Sepatu ini keluaran terbaru dan hanya ada lima belas di seluruh dunia." "Kak Serra, bagaimana kau mendapatkannya?" Semua langsung menatap Serra dengan tatapan penuh tanya. Serra yang tak tahu hal ini hanya bisa diam dalam kebingungannya. "Sepatu ini, ... Apakah itu Max?" Serra tak bisa memikirkan orang lain untuk kado ini. "Eh.. Di sini ada surat," Cindy langsung menyerahkannya pada Serra. Serra pun membuka lipatan kertas itu lalu membaca isinya. "Ini hadiah yang kamu mau, aku akan pulang hari ini jadi tunggu aku di rumah. Suami tersayang," Pipi Serra bersemu merah setelah membaca surat tersebut. Dia ingin menyembunyikan surat itu agar tak seorang pun tahu, tapi terlambat karena sembilan gadis kepo sudah berdiri di belakangnya. "Kak Serra, kakak ipar romantis sekali. Aku jadi ingin bertemu dengannya." "Aku ingin hadiah juga." "Aku ingin suami," Serra tak menghiraukan Cindy yang merengek minta suami. Dia berjalan kembali ke kubikelnya sambil membawa kado dari Max. Matanya sesekali menatap surat darinya. "Aku hampir lupa jika ini sudah hari kelima. Jadi dia akan pulang malam ini?" Serra tiba-tiba memikirkan persiapan apa yang harus dia lakukan untuk menyambut kepulangan Max. Ini aneh. Padahal biasanya Max akan datang sekali setiap akhir pekan dan dia tak repot repot memikirkan hal ini. Namun entah kenapa ini terasa berbeda. "Kak Serra, sebenarnya kakak ipar ini siapa?" Cindy tiba-tiba muncul di belakang dan melontarkan pertanyaan. "Kenapa bertanya seperti itu?" tanya Serra kembali. Cindy terlihat ragu, setelah diam beberapa lama akhirnya dia bicara. "Entah kenapa aku merasa kau adalah istri rahasia Presdir Max." Deg! Jantung Serra seperti akan berhenti mendengar ucapan Cindy. "Sepatu ini termasuk limited dan belum dijual di dalam negeri. Hanya orang-orang tertentu yang dapat membelinya. Itulah kenapa aku berpikir Presdir Max adalah suami Kak Serra. Tapi sepertinya bukan, karena menurut pemberitaan Presdir Max adalah orang yang dingin. Dia mungkin bisa membelikan hadiah, tapi pesan romantis seperti itu, aku bahkan tak berani membayangkannya." Serra menghela nafas diam-diam dengan kalimat terakhir yang dikatakan Cindy. Dia berpikir identitasnya akan terungkap, ternyata gadis ini tidak sepintar yang dia pikirkan. "Memang bukan. Sudah beberapa hari lalu pertanyaan ini ada, apa kau masih curiga?" sarkah Serra. Cindy mengerucutkan bibirnya lalu mengambil surat itu dari tangan Serra. "Makanya ajak aku bertemu dengan kakak ipar agar tak lagi berpikiran macam-macam." "Tidak untuk sekarang. Aku akan memikirkannya," ucap Serra sambil mengambil kembali surat itu. "Hanya memikirkannya saja?" "Itu kamu tahu." Serra tertawa puas melihat Cindy kesal. "Sudah-sudah, kembali bekerja. Jangan sampai Pak Denny tahu kamu bermalas-malasan saat jam kerja." Mau tak mau Cindy kembali ke kubikelnya karena tak ingin Pak Denny memarahinya. Serra memastikan Cindy benar-benar telah pergi sebelum mengeluarkan ponsel lalu mengambil foto surat itu sebagai kenangan dalam memorinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD