8. Emoticon Hati

1169 Words
Serra masuk ke departemennya. Dia berjalan dengan hati-hati sambil menahan rasa nyeri di bagian intinya. Tepat saat itu Cindy juga baru datang. "Hai Kak Serra, kenapa jalanmu seperti itu?" tanyanya penasaran. Tentu saja Serra langsung menegakkan tubuhnya lalu berbalik menghadap Cindy. "Tidak apa-apa." "Tidak apa-apa? Tapi kau berjalan begitu aneh seperti ...." "Jatuh. Aku baru saja terjatuh. Ha-haha ...." Serra panik dan langsung memotong ucapan Cindy. Cindy pun dengan polos mempercayainya. "Owh seperti itu. Sungguh aneh Kak Serra yang biasanya sangat hati-hati bisa ceroboh seperti itu." Serra tersenyum canggung. "Namanya juga manusia biasa. Kadang dapat melakukan kesalahan dan kecerobohan." "Eh, bagaimana dengan pesta rumah barunya? Semua berjalan lancar kan?" tanya Serra mengalihkan topik pembicaraan. Hal itu benar-benar berhasil. Cindy dengan semangat menceritakan semua yang terjadi kemarin malam di rumahnya. "Sayang sekali Kak Serra tidak ada. Andai Kak Serra ikut, mungkin akan semakin meriah," tambahnya. "Haha ... Mungkin lain kali." Setelah itu Serra berjalan menuju kubikelnya dan membuka halaman pesan berharap ada notifikasi dari Max tentang tender yang mereka bicarakan semalam. Namun hasilnya nihil. Tidak ada pesan ataupun jejak telepon di sana. Ini membuat Serra agak frustrasi. "Bukankah dia keterlaluan? Suami mana yang tidak mau membantu istrinya sendiri, sepertinya itu hanya dia," keluh Serra, mematikan ponselnya lalu meletakkan kepalanya di atas berkas. Bukannya Serra tidak percaya diri dengan presentasinya. Dia yakin proposalnya cukup layak. Namun dengan latar belakang perusahan Starlight yang tergolong baru, bagaimana mungkin dapat dibandingkan dengan sembilan pesaingnya yang lain. Terlebih presentasi mereka juga sangat baik, ini membuat Serra ragu bisa berhasil memenangkan tender tersebut. Serra berpikir dapat membujuk Max dan mengerahkan beberapa usaha. Namun Max sangat licik hingga membuatnya tidak mendapatkan apapun kecuali rasa sakit di sekujur tubuhnya. "Serra! Pak Denny memanggilmu," kata Lilya yang baru saja datang. Pada saat itu Serra seperti memiliki ketakutan untuk datang menemui bos-nya. Menurut informasi sebelumnya, hasil tender tersebut akan diberitahukan sebelum jam delapan pagi hari ini. Pak Denny memanggilnya pasti karena tendernya gagal. Meski Pak Denny sendiri tidak menaruh beban bagi Serra untuk berhasil mendapatkan tender tersebut, Serra merasa tak bisa mengingkari kepercayaannya. "Serra! Pak Denny memanggilmu!" Karena Serra masih bergeming di tempat, Lilya sengaja meninggikan suaranya. Saking kencangnya Serra spontan menutup kedua telinganya lalu memukul tangan Lilya untuk memperingatkannya. "Aku sudah dengar. Tidak perlu begitu berisik!" Lilya mendesis meski itu tidak sakit. Secara pasti mengerucutkan dengan kesal. "Lagian kau diam saja seperti tidak mendengarnya. Aku kan hanya menyampaikan pesan," ucapnya. Serra tidak lagi menghiraukan Lilya kemudian pergi ke ruangan Pak Denny. "Pagi Pak Denny, Anda memanggil saya?" Serra berdiri di ambang pintu menunggu dipersilakan. Dia terus meremas pakaiannya untuk memenangkan kegelisahannya. "Masuklah Serra," Mendengar ini Serra masuk ke dalam. Dia berdiri di depan Pak Denny yang kini masih terlihat sibuk menandatangani beberapa berkas kerja sama. Setelah dua menit Pak Denny mengangkat wajahnya untuk menatap Serra. Pada saat ini Serra menelan ludahnya dan segera meminta maaf. "Maaf karena telah mengecewakan Anda. Saya akan berusaha lebih giat pada kesempatan berikutnya." Pak Denny yang akan mengatakan sesuatu spontan menahan bibir dengan heran. Dia kemudian tertawa lirih sambil meminta Serra menegakkan tubuhnya. "Serra, saya baru tahu kamu ini sangat pesimis," lontar Pak Denny yang membuat kening Serra mengerut. "Maaf, ...." "Saya tidak membutuhkan ucapan maaf." Kalimat Pak Denny membuat jantung Serra seakan berhenti beberapa detik. Wajahnya pucat dan telapak tangannya berkeringat. "Pak Denny, mohon beri saya kesempatan. Tolong pertimbangkan apa yang sudah saya lakukan beberapa tahun ini. Saya janji akan berusaha lebih baik lagi. Tolong jangan pecat saya," Serra sudah memohon seperti ini tapi Pak Denny malah tertawa. Tentu saja Serra menjadi heran dan merasa dirinya sangat bodoh. "Kamu ini bicara apa? Begitu melantur tidak jelas. Siapa yang akan memecat kamu?" Pak Denny masih tak bisa menahan tawa melihat ekspresi Serra. "Eh... Jadi Anda tidak akan memecat saya?" "Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin saya akan memecat kamu yang sudah memenangkan tender sebesar ini? Saya tidak mungkin menyia-nyiakan karyawan seperti kamu." Eh... "Tender Besar?" Pak Denny menjadikan sangat antusias. "Ya, Blue Diamond telah memutuskan memilih Starlight untuk mengaudit laporan tahunan. Semua ini berkat kamu, Serra. Kamu bintang keberuntungan ku!" Serra terkejut mendengar penjelasan Pak Denny hingga tak bisa bereaksi. Pak Denny sudah berdiri dari kursinya lalu mengajak Serra pergi. "Dengan kabar bahagia ini aku akan mentraktir divisi assurance dan secara khusus memberi waktu istirahat lebih awal." Bahkan Pak Denny sudah berjalan keluar dari ruangan untuk pergi ke divisinya. Serra masih mematung masih mencerna berita ini. Serra berpikir Max tidak setuju untuk membantunya karena sampai saat ini belum menemukan pesan darinya atau Stefan. Selain itu juga pada saat mengantarnya tadi dia masih bersikap begitu dingin dan keras. Siapa yang menyangka di balik sifatnya itu masih memiliki hati nurani. Diam-diam Serra mengulum senyum di bibirnya. Dia membuka ponselnya lalu mengirim pesan pada Max. (Terima kasih, aku sangat menyayangimu) Tak lupa Serra menambahkan emoticon love dan gambar seorang penari. Serra menutup ponselnya dan mengayunkan kaki mengikuti Pak Denny. ... Blue Diamond. Max berada di ruangannya sedang menjamu tamunya yang datang sesuai arahannya kemarin malam. Vinicius. Namun sudah setengah jam berada satu ruangan tapi tidak ada kata di antara mereka. "Ck! Kenapa pria ini sangat dingin. Dia bahkan tidak mengatakan apapun sejak aku datang," gerutu Vinicius dalam benaknya. Dia mencoba menatap mata Max, tapi ekspresinya yang suram membuatnya langsung mengalihkan pandangan. Pada waktu itu Max hanya mengutak-atik ponselnya. Dia sedang menunggu pesan yang tak kunjung datang hingga membuat suasana hatinya memburuk. Tiba-tiba bunyi notifikasi terdengar dari ponselnya. Melihat ada sebuah pesan baru Max buru-buru membukanya. Ketika dia membaca pesan itu, ekspresi dinginnya menjadi luluh. Senyum yang tipis itu menghiasi bibirnya, dia menutup ponselnya dan masih tersenyum. Vinicius yang melihat dibuat heran dengan sikapnya. "Apa dia sudah gila? Satu detik yang lalu masih muram dan sekarang sudah begitu senang? Bahkan orang menang lotere pun tak bisa berubah ekspresi secepat dirinya," batin Vinicius. "Ambil ini dan pergi." Kalimat Max mengejutkan Vinicius. Entah sejak kapan terdapat goodie bagian berwarna silver di hadapannya. Vinicius segera mengambilnya. Dia mengeluarkan sebuah kartu bank yang membuat wajahnya berseri senang. Akan tetapi raut wajahnya dengan cepat berubah saat memeriksa gaun hasil karyanya hanya tinggal potongan potongan kasar. Bahkan tidak termasuk permata dan berlian. "Dalam kartu itu ada dua ratus juta. Anggap saja aku membeli gaun itu darimu," kata Max dengan tenang. Namun itu seperti anak panah yang menusuk jantung Vinicius. Dia berdiri dan wajahnya terlihat marah. "Keterlaluan! Bagaimana kau bisa menghargai karya desainer sepertiku asal-asalan? Sudah kubilang aku tidak menjual gaunnya. Kau harus mengembalikannya ...." "Aku akan suruh Stefan mentransfer dua ratus juta lagi setelah kau pergi." Max langsung memotong sebelum Vinicius menyelesaikan kalimatnya. Wajah Vinicius seperti ditampar dengan sandal. Tanpa basa-basi membanting kartu bank itu ke meja Max. "Sudah ku bilang aku ...." "Tiga ratus juta," Mendengar ini Vinicius lalu terdiam. Dia menegakkan tubuhnya lalu secara perlahan melangkah keluar. "Jangan lupa untuk mentransfernya. Akan kuperiksa setelah sampai di rumah," ucapnya sebelum pergi. Max yang melihat tingkah Vinicius hanya mendengus palu menghubungi Stefan. Setelah itu dia kembali melihat pesan dari Serra yang disertai dengan emoticon hati. Sudut bibirnya sedikit terangkat yang membuat aura dinginnya benar-benar menghilang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD