Sore hari Bi Yuna bersiap untuk menyiapkan makan malam. Memeriksa persediaan makanan masih cukup lengkap dia hendak bertanya makanan apa yang diinginkan Serra.
"Nyonya," panggil Bi Yuna sambil mengetuk pintu. Dia menunggu cukup sabar di luar, tapi setelah beberapa lama dan tidak ada jawaban, hal ini membuatnya panik. Terlebih ketika mengingat keadaan Serra saat pulang dari kantor lebih awal.
"Nyonya!" Bi Yuna kembali memanggil.
"..."
Karena tidak ada jawaban Bi Yuna langsung membuka pintu ruangan. Raut wajahnya membeku melihat Serra yang menggigil di atas tempat tidur. Dia segera berlari ke sana kemudian menyentuh keningnya.
"Tubuh Nyonya sangat panas!" Bi Yuna berlari keluar dari ruangan untuk mengambil kompres. Dia menaruh kain basah di kening Serra sambil terus mengusapnya.
Namun karena kondisi yang tidak kunjung membaik Bi Yuna menghubungi Max. Sebelumnya Bi Yuna lebih memilih mengikuti keinginan Serra untuk tidak memberitahu Max. Karena berpikir juga mungkin tuannya itu sedang sibuk bekerja. Sekarang sudah jadi seperti ini. Bi Yuna jadi merasa bersalah.
Max saat itu masih di kantor, tapi begitu mendengar Serra sakit dia langsung pulang meninggalkan pekerjaannya.
"Tuan, kamu sudah datang?"
Max mengabaikan sambutan Bi Yuna dan berjalan ke arah kamar. Melihat keadaan Serra yang pucat dan berkeringat dingin, Max langsung menghubungi dokter pribadinya.
"Cepat datang ke vila!" katanya kemudian langsung menutup telepon.
Lima belas menit kemudian Alfonso, dokter pribadi Max datang.
"Tuan, apa Anda punya keluhan?" tanya Alfonso sembari mengeluarkan stetoskopnya.
"Bukan aku, tapi dia," lirik Max pada Serra.
Sebagai dokter pribadi tentu Alfonso tahu siapa Serra. Dia segera berjalan ke sisi ranjang dan melakukan pemeriksaan. Beberapa menit kemudian dia bangkit setelah meresepkan beberapa obat.
"Sepertinya Nyonya kembali makan makanan pedas. Itu sangat berbahaya baginya. Tapi Tuan tidak perlu khawatir karena keadaan Nyonya sudah membaik."
"Setelah ini asisten saya akan datang membawa obat yang telah diresepkan," tambah Alfonso.
Max mengangguk sekilas kemudian melambaikan tangan memberi izin Alfonso yang berniat kembali. Dia melirik Bi Yuna yang ada di sampingnya dengan tatapan menginterogasi.
"Siapa yang memberinya makanan pedas?"
Sontak Bi Yuna meneguk ludahnya dengan pahit. "Maaf Tuan, Bibi selalu masak tanpa cabai seperti yang Anda katakan. Nyonya seperti ini sejak pulang dari kantor. Mungkin Nyonya memakannya saat di kantor."
Max menatap Serra sekilas, dia melambaikan tangan meminta Bi Yuna meninggalkannya.
Pada saat ini tiba-tiba Stefan menghubunginya. Max mengangkatnya, "Ada apa?"
"Tuan, bagaimana dengan rencana penerbangannya? Jam sepuluh kita sudah harus berangkat ke bandara."
Max diam sejenak mendengar ucapan Stefan. Dia kembali menatap Serra sambil berjalan ke dekatnya. "Jadwal ulang. Aku akan pergi besok pagi."
"Apa? Tapi ...."
Di seberang sana Stefan ingin mengatakan sesuatu, tapi Max sudah mematikan telepon. Max meletakkan ponselnya di atas nakas kemudian berbaring di samping Serra sambil memeluk tubuhnya.
...
Pagi.
Serra menggeliat dalam tidurnya. Dia terbangun saat cahaya matahari menembus jendela dan menyinari wajahnya. Dia mendudukkan tubuhnya lalu mendapati seorang pria yang berdiri membelakanginya sedang mengenakan dasi.
"Kamu pulang?" gumam Serra spontan.
Max melirik dari pantulan cermin tanpa membalikan badan.
Serra merasa konyol dengan pertanyaannya sendiri. Dia ingat Max mengirim pesan akan pulang kemarin malam. Jadi sudah pasti dia pulang sesuai perkataannya.
"Maaf aku ketiduran. Tak menyadari kamu sudah pulang," ucap Serra.
"Aku harus ke luar negeri beberapa hari. Uang belanja dan semua kebutuhan sudah aku kirim ke Bi Yuna."
"Ok. Hati-hati," ucap Serra melihat kepergian Max.
Ternyata ini alasannya datang. Karena tak bisa datang akhir pekan ini jadi sengaja memajukan jadwal.
Sempat Serra berpikir jika Max mulai luluh kepadanya. Tapi ternyata semua itu hanya imajinasinya.
"Jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik aku mandi lalu berangkat ke kantor." Serra masuk ke kamar mandi. Sambil melihat pantulan dirinya di cermin dia berusaha mengingat apa yang terjadi kemarin.
Namun ketika berusaha mengingatnya Serra hanya merasakan kepalanya berdenyut dan cukup sakit. Kemarin dia pulang karena merasa tak enak badan, lalu tidur di kamar seharian.
"Harusnya aku benar-benar tidak makan makanan pedas kemarin," sesal Serra. Dia merutuki kebodohannya sendiri dengan melawan kehendak tubuhnya. Dapat terlihat pula raut wajah tidak senang yang ditunjukkan Max. Itu pasti karena dirinya tidur saat dia pulang.
"Aku berjanji tidak akan makan makanan pedas lagi!" tekad Serra.
Sepuluh menit kemudian Serra turun ke lantai satu, dia mencari keberadaan Max tapi sepertinya dia pergi tanpa sarapan.
Saat itu Bi Yuna sedang menata menu makanan di meja makan. Melihat Serra turun dari lantai dua dia segera menghentikan pekerjaannya. "Nyonya sudah bangun? Apa keadaan Nyonya lebih baik?" sapanya.
Serra tersenyum. "Sudah lebih baik. Itu karena Bibi yang sudah merawatku kemarin. Terima kasih Bibi."
"Ha-ha ... Nyonya sangat sungkan. Bibi hanya mengambilkan kompres saja, selebihnya Tuan yang merawat Nyonya, bahkan menjaga Nyonya semalaman."
Serra yang baru duduk di kursi seketika menahan tangannya yang sudah memegang piring.
"Apa maksud Bibi?" tanyanya.
Bi Yuna tersenyum tidak enak. "Karena demam Nyonya sangat tinggi Bibi sangat khawatir dan mengabari Tuan. Tuan pulang lalu memanggil Dokter Alfonso untuk memeriksa keadaan Nyonya. Setelah Dokter Alfonso pulang Tuan masih di kamar dan menjaga Nyonya. Bahkan menyuap obat dan mengompres Nyonya."
Serra tak bisa menyembunyikan keterkejutan ketika mendengar cerita Bi Yuna.
Kenapa dia jadi begitu perhatian seolah mereka adalah pasangan.
Serra merasa bingung. Namun memikirkan hal itu lagi, mungkin Max melakukannya secara spontan. Meski mereka hanya suami istri kontrak, tapi sudah bersama satu tahun pasti juga punya kepedulian kan? Melihatnya begitu terpuruk dia tentu merasa kasihan.
Serra mengangkat wajahnya melihat jam dinding. Menyadari sudah cukup siang dia pun mengurungkan niatnya untuk sarapan. "Bi Yuna, taruh saja makanan ini dalam kotak makan. Aku akan sarapan di kantor."
"Apa?" Bi Yuna tercengang. Dia berkata, "Nyonya baru saja membaik. Apa tidak sebaiknya mengambil izin?"
"Tidak apa. Aku baik-baik saja. Bi Yuna siapkan saja bekalnya, aku akan turun setelah berganti pakaian." Setelah itu Serra langsung kembali ke kamarnya.
...
Serra mengendarai mobilnya memasuki halaman kantor Starlight. Dia bertemu dengan Lilya di parkiran yang kebetulan juga baru datang.
"Serra! Aku dengar dari Pak Denny kau kemarin pulang lebih awal karena sakit. Sekarang kenapa kau susah kembali bekerja?" Lilya bicara begitu cerewet seperti ibu kos. Dia membalikkan tubuh Serra sambil menyentuh keningnya berusaha memeriksa.
Serra menipis tangannya pelan. "Kemarin memang agak kurang enak badan. Tapi sekarang sudah sehat."
Cih!
Lilya berdecak. "Kau sungguh membuat orang khawatir. Tapi alangkah baiknya kau meminta izin, Pak Denny pasti mengerti," ucapnya.
Namun Serra hanya menggelengkan kepala. "Aku tidak berpikir untuk libur. Masih ada begitu banyak pekerjaan yang belum selesai. Bagaimana mungkin aku bisa duduk santai di rumah?"
"Kau ini sepertinya hidup hanya untuk bekerja. Kau harus segera mencari suami yang kaya lalu menjadi ibu rumah tangga agar suamiku saja yang bekerja," canda Lilya.
Serra tidak mengatakan apapun dan ikut tertawa bersama Lilya. Tidak tahu saja jika dirinya memang sudah menikah dan mendapat suami kaya. Namun karena pernikahan ini hanya akan bertahan dua tahun jadi dia juga harus bekerja untuk hidup kedepannya.