Vinicius mengelap keringat di wajahnya lalu mengikat rambut coklatnya yang panjang. Kemudian berjalan menghampiri asistennya yang kembali dengan membawa koleksi pakaian terbaiknya.
"Kakak ipar, bagaimana dengan yang ini?" Vinicius mengambil gaun slip dress berwarna navy yang sangat cantik.
Serra menatapnya sekilas lalu melirik Max yang duduk di sofa. Dia pun mengambil gaun itu dari tangan Vinicius kemudian mencobanya.
Beberapa menit kemudian Serra keluar dari ruang ganti sudah dengan gaun tersebut. Max mulai memperhatikan. Harus diakui tubuh dan paras Serra sangat sempurna untuk dipadukan dengan pakaian itu.
Tapi Max mengangkat tangannya pada Vinicius untuk menunjukkan gaun yang lain.
"Apa-apaan orang ini. Datang-datang mengganggu orang yang sedang bekerja," gerutu Vinicius. Namun, meski dirinya cukup kesal, tetap tidak berani untuk mengatakannya secara langsung.
Siapa yang tidak tahu Max Ricard? Pria paling kaya yang terkenal dingin dan kejam. udah banyak pebisnis yang jatuh karena telah berani mencari masalah dengannya. Beruntung karena mereka berdua adalah teman. Jika tidak, maka habislah sudah.
"Bagaimana dengan gaun ini?" Vinicius mengambil gaun bertipe backless dress berwarna cream. Dia menyerahkannya pada Serra dan memintanya untuk mencoba dress tersebut. Tapi pada saat itu Max langsung menolaknya.
"Yang lain!"
Serra pun terdiam. Matanya menelisik backless dress di tangannya kemudian melirik Max yang masih bergeming di tempat.
"Tidak ada yang salah dengan dress ini. Apa mungkin karena terlalu terbuka?" gumam Serra dengan ragu.
Jenis backless dress memang agak terbuka di bagian punggung. Tapi apakah Max menolak gaun ini karena mempedulikannya? Tidak ingin tubuhnya dilihat pria lain?
Ketika memikirkan hal ini suasana hati Serra menjadi lebih baik. Dia memilih sendiri sebuah gaun bertipe A-line dress. Dengan penampilan sederhana tapi elegan, gaun ini tidak kalah cantik dengan gaun-gaun lainnya.
"Bagaimana dengan yang ini?" tanya Serra pada Max.
Max pun perlahan mengangkat matanya untuk memperhatikan gaun pilihan Serra. Meksi tidak mengatakannya, dia cukup puas dengan hal itu.
Serra mengerti dan dia langsung menggantinya dengan gaun tersebut. Setelah beberapa menit dia keluar dan menunjukkan penampilannya.
Serra sangat cantik sehingga mampu memukau belasan pasang mata yang ada di ruangan itu. Vinicius berdehem lalu melambaikan tangan meminta karyawannya mengembalikan koleksi karyanya ke tempat semula.
"Kakak ipar sangat cantik, aku ...."
"Ayo pergi."
Max tidak memberi Vinicius kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. Dia berdiri dari sofa lalu mengajak Serra pergi dari sana.
Tentu saja Vinicius merasa diabaikan. Dia mengejar keluar tapi Max begitu cepat sudah masuk ke dalam mobilnya.
"Hei! Kau belum membayarnya, bagaimana bisa kau pergi begitu saja? Aku dapat melaporkanmu dalam kasus pencurian berencana!" Vinicius berteriak, bahkan melompat dengan marah.
Stefan yang duduk di kursi kemudi melirik dari kaca spion dan merasa kasihan. "Tuan, apa saya perlu membayarnya?"
"Tidak perlu, suruh saja dia datang ke kantor besok untuk bertemu dengan ku."
Stefan langsung menghela nafas dengan pasrah ketika mendengar hal ini. Dia ikut prihatin dengan nasib Vinicius setelah ini.
"Kita akan pergi kemana?" tanya Serra yang masih penasaran.
Stefan melirik tuannya dari kaca spion, lalu duduk dengan tenang seolah tidak mendengar pertanyaan tersebut.
"Kita akan bertemu Oma,"
Mata Serra membulat.
Oma?
Satu tahun menikah Serra tak pernah bertemu dengan keluarga Max. Serra hanya tahu keluarga Max berada di Kota J dan merupakan keluarga terkemuka.
Jam tujuh malam mereka sampai di sebuah restoran. Karena sudah dipesan restoran bintang lima ini kosong melompong tidak ada pelanggan. Benar-benar tenang tapi sangat berkelas.
Max membawa Serra ke lantai dua. Rania, dokter pribadi yang selalu menemani oma berdiri di pembatas pintu dan langsung memberi hormat begitu melihat kedatangan Max.
"Selamat malam Tuan Muda, Nyonya Tua sudah menunggu di meja," sapanya seraya memberitahu keberadaan Oma.
Max mengangguk, lalu berjalan sambil menggandeng tangan Serra.
Sebenarnya Serra cukup gugup dalam situasi ini. Walau mereka sudah satu tahun menikah, hampir tidak ada kontak selain kontak seksual di dalam kamar. Ini situasi baru dan cukup membuat jantung Serra berdegup kencang.
Wanita tua yang duduk di atas kursi roda menatap kedatangan Max dan Serra. Wajahnya yang keriput dan rambutnya yang putih sepenuhnya tak lagi dapat menyembunyikan usianya.
Dialah Oma Berta, nenek buyut Max yang sudah berumur 93 tahun. Gaya hidup sehat serta menjaga otaknya terus aktif dengan berbagai hal membuatnya dalam keadaan yang cukup bugar untuk usia senja sepertinya. Tentu saja tidak terlepas dari penyakit umur yang menjadi agenda rutinnya setiap bulan.
"Malam, Oma!" Max memeluk Oma Berta dari belakang. Dia bersikap begitu lembut seolah ini bukan dirinya.
Serra yang menyaksikan pun dibuat terkejut. Tidak menyangka Max yang dikenal sebagai pria dingin dan arogan bisa bersikap begitu hangat dan penuh kasih di depan nenek buyutnya.
Oma Berta sengaja mengalihkan pandangannya dengan membuang muka. "Sepertinya kamu sudah tidak menyayangi Oma lagi. Ini sudah dua tahun dan kamu tidak pernah pulang ke rumah. Bahkan sudah menikah pun tidak membawa istri pulang ke rumah. Oma pikir kamu hanya mengada-ngada tentang pernikahan itu untuk menghindari kencan buta."
Max hanya berdehem canggung mendengar keluhan Oma. Dia menggeser tubuhnya lalu memperkenalkan Serra.
"Ini Serra, Oma. Istri Max."
Oma Berta dengan cepat mengubah raut wajahnya. Dia menatap Serra dan harus mengakui pilihan Max sangat sempurna. "Dia mirip ibumu saat pertama kali bertemu dengan Oma. Cantik dan sederhana," bisik Oma Berta pelan.
Dengan ini Max secara naluri melirik Serra.
Di waktu yang sama beberapa pelayan datang. Max segera duduk setelah menarik kursi untuk Serra.
Makan malam pun berlangsung. Namun itu juga tidak berjalan begitu kaku. Ada saat di mana Oma Berta mengajak bicara, entah bertanya tentang Serra atau cerita tentang masa kecil Max.
Serra menjadi pendengar dan teman bicara yang baik. Dia juga menunjukkan sikap yang begitu peduli pada Oma. Tak ayal sikapnya yang hangat dengan cepat membuat Oma sangat menyukainya.
Bahkan ketika makan malam berakhir, Oma Berta masih ingin mengundang Serra datang ke rumah untuk bertemu dengannya.
"Oma sangat menantikan kedatanganmu. Jika ada kesempatan pulanglah bersama Max. Dia sudah tidak pulang dua tahun, dia tidak memikirkan keluarganya di rumah yang begitu ingin melihatnya, mungkin jika kamu yang membujuknya dia akan pulang."
"Ini sudah waktunya mengenal lebih dalam keluarga besarnya," tambah Oma Berta.
Serra hanya mengangguk sambil melambaikan tangan ketika Oma Berta pergi bersama Rania. Setelah bayangan mereka tidak lagi terlihat, Serra mengangkat wajahnya memandang Max. "Apa aku bekerja dengan baik?" tanyanya.
"Cukup baik," balas Max yang kemudian pergi ke tempat mobil terparkir.
Serra tersenyum kecut. Selama satu tahun ini dia terus bertanya-tanya alasan Max menikahinya. Apa itu karena terpikat dengan kecantikannya? Atau karena merasa bersalah telah mengambil keperawanannya.
Tapi ternyata dia menikahinya karena ingin menghindari kencan buta yang diatur keluarganya. Bisa dikatakan dirinya hanya tameng yang bisa digunakan dalam kondisi tertentu.
Serra jadi merasa konyol ketika mengingat bagaimana ia sempat berpikir Max mengajaknya pergi untuk berkencan. Sungguh konyol dan tak masuk akal.
Serra, kau harus ingat posisimu. Ini bukan pernikahan sungguhan, ini hanya pernikahan kontrak dan setelah batas waktu tercapai kalian akan segera berpisah. Kau harus mengingatnya, batinnya.